Jun 1, 2009

Wolfgang Widmoser, Penerus Realisme Fantastik

Wolfgang Widmoser, Penerus Realisme Fantastik
Oleh : Amir Sodikin

Begitu mendekati ruang pamer Bentara Budaya Jakarta, dari luar ruangan, lukisan Wolfgang Widmoser terlihat memancarkan warna-warni keindahan wajah perempuan. Terkesan seperti gambar digital hasil olahan atau montase perangkat lunak komputer.

Wajah-wajah yang misterius, tampak memiuh, tertarik ke dimensi lebar. Seperti hasil jepretan kamera berlensa superwide 10 milimeter. Wajah-wajah itu dideformasi, direka ulang hingga menciptakan wajah yang terasa dekat dengan kita.

Semua lukisan itu tak ada yang menggunakan komputer. "Saya melukis dengan perspektif berbeda dari penglihatan kasatmata," kata Wolfgang Widmoser, pemilik lukisan itu.

Tiap lukisan ia kerjakan layer by layer, lapisan demi lapisan warna. Satu warna muncul setelah beberapa warna dibentuk.

Bisa dimaklumi, pameran Venus Rising yang disiapkan Agustus 2006 itu baru bisa dipajang di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) pada 20-30 November 2007. "Pada satu lukisan ada tujuh hingga delapan layer warna, ada yang bisa selesai dalam satu bulan, tetapi ada pula yang sampai enam bulan," ucapnya.

Kekuatan menggunakan layer- layer ini adalah gambar lebih dinamis dan tiga dimensi. "Seperti melihat wajah orang itu menjadi lebih dekat dan lebih intensif," tuturnya.

Dengan teknik pencahayaan alami, ia memfokuskan ekspose wajah pada bagian yang diperlukan. Jika fotografi biasa memanfaatkan semua sumber cahaya, ia menekankan ekspose pada bagian tertentu.

Pelukis yang sudah 25 tahun tinggal di Bali ini mengakui, teknik yang dia sodorkan adalah realisme fantastik, bukan surealisme. Masih ada obyek biasa, tetapi obyek itu didistorsi cahaya dan perspektif baru.

Ikon-ikon Bali mengentalkan yang spiritualitas Timur itu diramu, memancarkan daya magis. Girl With Blue Planets dan Girl With Red Flower contoh karya dia yang dipajang dari 24 lukisan. Dalam Girl like the Sad Earth, ia ikut menorehkan keprihatinan akan dampak pemanasan global.

Dalam setiap lukisan selalu ada hiasan seperti bintang dan planet. Wajah-wajah perempuan itu jadi tampil figuratif.

"Planet dan bintang menggambarkan dunia kosmos. Karena kita sudah begitu dekat dengan wajah-wajah itu, elemen yang ingin saya hadirkan spiritualitasnya. Planet dan bintang menimbulkan ketegangan," ungkapnya.

Berguru

Wolfgang yang keturunan Austria ini mulai mengenal tokoh realisme fantastik sekaligus pendiri Vienna School of Fantastic Realism, Ernst Fuchs, saat berumur 18 tahun. Fuchs adalah pelukis Austria yang menetap di Perancis.

Wolfgang mengagumi karya Fuchs yang dilihatnya di toko buku secara tak sengaja. "Setelah melihat buku itu, saya memutuskan untuk melukis. Saya tak mau lukisan abstrak atau surealis. Saya ingin realis," ujarnya.

Dia lalu berguru kepada Fuchs dan diberi kesempatan menjadi asistennya selama 10 tahun. Fuchs dianggap generasi terakhir yang mempertahankan aliran yang hampir hilang itu. Setelah menimba ilmu dari Fuchs, Wolfgang belajar pada maestro surealisme Salvador Dali dari Spanyol. Fuchs pula yang memperkenalkannya pada Dali.

Kekhasan

Dalam lukisan-lukisannya, Wolfgang hanya memanfaatkan ikon-ikon Bali untuk memperkaya lukisan, tanpa mengeksploitasi Bali itu sendiri. "Saya tidak terlalu Bali," ucapnya.

Wayan Kun Adnyana, pengajar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, dalam katalog pameran itu memaparkan, kekhasan Wolfgang adalah pada ekspose permukaan obyek alam benda secara tak lazim. Misalnya, ia lebih memihak rupa tiang bendera daripada lambaian bendera berornamen Bali.

"Perupa ini memiliki skill mumpuni dalam teknik melukis realis. Dalam skala makro sejarah seni rupa Bali, sepertinya belum pernah ada perupa Barat yang sempat menyinggahi Bali, sepiawai dia dalam hal teknis realis," papar Wayan.

Arif Bagus Prasetyo, kurator serta kritikus seni rupa dan sastra yang tinggal di Denpasar, memaparkan, Wolfgang berbeda dari kebanyakan pelukis ekspatriat yang mabuk kepayang pada Bali. Ia tak tertarik merepresentasikan Bali dalam karyanya secara harfiah.

"Citra Bali sesekali tampil dalam simbol-simbol dan tak memburu keindahan eksotis kasatmata. Ia lebih mengejar spirit universal yang bersemayam di balik panorama keindahan kasatmata," tulis Arif.

Memilih Bali

Memulai karier bukan dari melukis, melainkan lewat musik. Wolfgang sempat bermain dengan beberapa grup band. "Main band itu terlalu makan waktu di jalan, saya ingin aman di rumah, kontemplasi. Makanya, saya pilih lukis," katanya.

Tahun 1983 ia memulai perjalanan mencari jati diri. "Waktu itu targetnya mencari tempat yang paling jauh dari Jerman. Baru sampai di Bali, saya sudah yakin akan tinggal di sini," kenangnya.

Saat itu ia masih bekerja di perusahaan konstruksi Swiss di Jerman. "Liburan satu bulan di Bali, saya pulang ke Jerman dan balik lagi ke Bali hingga sekarang. Saya malah dapat istri orang Sunda," ujarnya.

Awalnya ia lebih tergila-gila pada arsitektur bambu. Wolfgang sampai ke Tana Toraja, Sulawesi Selatan, selama lima tahun untuk mengejar impian sebagai arsitek bambu. Dari profesi arsitek inilah, ia memiliki dasar kuat mempelajari perspektif yang merupakan konsep dasar dalam teknik lukis renaissance.

Anak Agung Bagus Tony Hartawan dari Tonyraka Art Gallery yang menjadi sponsor Wolfgang bercerita, "Sekitar 10 tahun lalu ketemu dia, saya mengagumi lukisannya di luar konteks komersial."

"Dulu saya susah jual lukisan. Tony senang lukisan saya dan memberi tempat untuk lukisan saya," sahut Wolfgang.

"Waktu di Bali, dia masih menggarap arsitektur bambu modern. Setiap dapat proyek, ia ikut mendanai karena dia sendiri terobsesi dengan bangunan bambu. Jadinya ia malah rugi karena sering ditipu," kata Tony.

Di Tana Toraja, Wolfgang membuat bangunan bambu berlantai tiga, tetapi usahanya tak mendapat dukungan luas. "Dia menyerah dan konsentrasi lagi pada lukisan," ujar Tony. *

Sumber : Kompas, Kamis, 29 November 2007

No comments:

Post a Comment