Jun 8, 2009

Ketut Sirsa, Simbol Petani Mandiri

Ketut Sirsa, Simbol Petani Mandiri
Oleh : Benny Dwi Koestanto

Ketut Sirsa (37) adalah satu dari sedikit perkecualian tentang gambaran umum petani negeri ini. Di saat ketergantungan petani terhadap pupuk kimia begitu besar, petani asal Pucak Sari, Busungbiu, Singaraja, Bali, ini mengandalkan pupuk organik 100 persen sejak belasan tahun lalu.

Sejak tiga tahun terakhir ia mengaplikasikan penuh bio urine (pupuk cair) yang diolah dari air kencing dan kotoran kambing peranakan ettawa peliharaannya. Enam belas kambing peranakan ettawa (PE) itu merupakan sahabat-sahabat Sirsa, sekaligus pemberi kehidupan bagi dirinya, sang istri Ketut Suwardhati (35), serta dua putra- putrinya, Ery Santi Permana (13) dan Kadek Dian Adi Kusuma (6).

Berkat kambing-kambing itu, sekitar empat hektar lahan garapannya yang ditanami 1.500 batang pohon kopi jenis robusta, 100 batang kakao, 100 pohon pisang, serta 1.150 batang jeruk kintamani tumbuh hijau dengan kesuburan terjaga.

"Akrab dengan kambing peliharaan, termasuk kotoran dan kencingnya, adalah bagian keseharian tiyang (saya) dan keluarga. Berkat mereka, kami bisa tetap hidup dan berkarya," kata Sirsa.

Integrasi ternak dengan tanaman pertanian maupun industri di beberapa kawasan di Bali sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, dan diwariskan turun-temurun. Keberadaan ternak (sapi, kambing) dapat menekan biaya pemupukan, sekaligus mempermurah pemeliharaan di kawasan pertanian atau perkebunan karena kebutuhan pakan (hijauan) dapat diperoleh dari hasil pangkasan tanaman penaung, seperti gamal, lamtoro, kaliandra, dan dadap.

"Sejak jadi petani tidak pernah terpikirkan untuk menggunakan pupuk kimia, dan memilih menggunakan pupuk kandang. Bali banyak peternak sapi, sehingga dulu sebelum punya kambing, kami biasa beli pupuk kandang," ujar Sirsa, lulusan SMP di Singaraja ini.

Konsep Tri Hita Karana yang menjadi landasan pertanian di Bali, yang diwujudkan dalam bentuk harmoni dan kebersamaan antara manusia, Sang Pencipta, serta alam lingkungan, dihidupi Sirsa secara nyata. Penggunaan bahan-bahan kimia, menurut dia, dipercayai akan merusak alam, mengganggu keharmonisan antara ketiganya.

Lebih tinggi

Pertemuan dengan sejumlah peneliti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali pada awal 2003 semakin membuka kesadarannya terhadap pertanian ekologis/organik. Saat itu, peneliti BPTP mulai gencar menyosialisasikan pengolahan dan penggunaan pupuk organik cair (bio urine) daripada menggunakan pupuk kandang secara langsung karena lebih menghemat uang dan tenaga. Kebetulan, banyak penduduk di Busungbiu memelihara kambing PE.

Dari pengalaman saat menggunakan pupuk kandang, Sirsa mencatat, biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk kandang tidak sebanding dengan aplikasinya di lapangan. Untuk lahannya, setidaknya ia membutuhkan 60 sak kotoran kandang seharga Rp 180.000 per enam bulan. Ia juga harus membayar orang. Ia mengaku, sekali pemupukan butuh tenaga 2-3 orang dengan bayaran Rp 10.000-Rp 15.000 per orang per hari. Biasanya ia menyewa tenaga mereka paling lama tiga hari, sehingga harus mengeluarkan total biaya hingga Rp 135.000.

"Hati saya berbunga-bunga ketika akhirnya bisa menyerap ilmu terapan yang diajarkan BPTP. Praktis, tidak ada lagi biaya yang dikeluarkan untuk membeli kotoran ternak maupun menyewa tenaga. Semua dapat kita lakukan sendiri dan hasilnya juga efektif," tutur Sirsa.

Berdasarkan penelitian BPTP Bali, penggunaan pupuk organik cair pada tanaman kopi dan kakao dengan dosis enam liter per pohon per tahun dapat menghasilkan produksi 30-40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan kompos. Sementara pada tanaman padi dapat menurunkan penggunaan pupuk buatan hingga 60 persen.

Meski belum diperoleh data peningkatan produksi (karena penelitian masih berlangsung), tapi tercatat jumlah anakan rata-rata 27 per rumpun, atau lebih banyak dari tanaman padi yang menggunakan pupuk kimia yang rata-rata hanya menghasilkan 16 anakan per rumpun.

Bentuk kelompok

Saking senangnya dengan kondisi itu, ia mengajak 20 rekannya sesama petani di Pucak Sari untuk membentuk sebuah kelompok tani. Kelompok itu dinamai Werdi Gopala.

Sebagai ketua, Sirsa pun menjadi sponsor tempat pengolahan pupuk organik cair, termasuk penggunaan listrik untuk memutar air kencing kambing PE sehingga kadar amonianya berkurang. Kadar amonia yang terlalu tinggi tidak bagus untuk tanaman.

Pihak BPTP Bali melihat apa yang dilakukan Sirsa dan kawan- kawannya sebagai suatu keberhasilan. Maka, kelompoknya pun sering kali menjadi tempat rujukan bagi petani lain, maupun otoritas pertanian beberapa provinsi di Tanah Air yang diarahkan BPTP Bali.

Sejak setahun terakhir, BPTP Bali menjadikan rumah Sirsa sebagai tempat uji coba pembuatan dan pengolahan konsentrat dari kulit kopi yang hasilnya langsung diterapkan sebagai makanan tambahan bagi kambing- kambing peliharaan Sirsa maupun kambing anggota kelompoknya.

Bersama kelompoknya, Sirsa juga mencoba terus berinovasi, antara lain, mengembangkan pembuatan kerupuk maupun es krim dari susu kambing PE. Produksi susu kambing PE dari kambing Sirsa dan kelompoknya pun sudah dipasarkan hingga beberapa kawasan di Singaraja.

Prinsip keselarasan dengan alam, sesama, dan Sang Pencipta terus digeluti dan dihidupi Sirsa dalam usaha pertaniannya.

Sumber : Kompas, Jumat, 2 Februari 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks