Jun 4, 2009

Jazimah, Kemandirian Petani Lahan Kritis

Jazimah, Kemandirian Petani Lahan Kritis
Oleh : AB2

Puluhan tahun hidup pas-pasan sebagai petani sawah tadah hujan agaknya tak membuat Jazimah (53) putus asa. Demi perubahan kesejahteraan hidup warga Mojolegi, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jazimah pun nekat mengolah lahan kritis di lereng bukit.

Awalnya saya ragu, apa ada tanaman pertanian yang bisa hidup di tanah tandus kayak gitu?" tanya Jazimah sambil memanaskan mesin motor.

Suatu pagi sekitar pertengahan Juni lalu, Kompas diajak Jazimah menengok lahan garapannya di bukit Dusun Mojolegi, Karang Tengah, Imogiri, Bantul, DIY. Lahan itu terletak sekitar lima kilometer arah tenggara dari pusat Kecamatan Imogiri.

Sesampainya di tempat tujuan, sembari merapikan rambut yang diterpa angin kencang, Jazimah mulai bercerita.

Semua berawal pada tahun 2000. Saat itu, pihak Kelurahan Karang Tengah berencana mengolah lahan berstatus Sultan Ground (SG) di perbukitan Mojolegi, seluas 40 hektar.

Setengah dari luas lahan tersebut dipakai untuk lokasi permukiman transmigrasi lokal, sedangkan sisanya tidak jelas penggunaannya. Jazimah yang saat itu menjabat sebagai penyuluh pertanian swakarsa Imogiri, lalu mengusulkan agar sisa lahan ini dikelola petani.

Saat itu kondisi kehidupan petani di Karang Tengah bisa dikatakan kurang baik. Hasil panen padi sawah tadah hujan selalu buruk sehingga tak cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Akibatnya, banyak petani jatuh miskin.

Dengan membuka lahan baru di bukit itu, Jazimah berharap akan ada perbaikan hidup bagi petani. Bermodal harapan, ia pun memulai perjuangan.

Namun, kondisi tanah bukit sempat membuat Jazimah geleng-geleng kepala. "Lapisan tanahnya amat tipis, di bawahnya langsung batu padas. Tidak ada tanaman lain di bukit ini selain akasia dan rumput," katanya sambil meraba tanah.

Tak gentar

Terlahir dalam keluarga petani, Jazimah tak gentar dalam mengolah lahan. Ia segera membabat pohon-pohon akasia dan rumput di lahan itu hingga ke akarnya. Lalu, ia mengukur luas lahan guna dibagi-bagikan kepada 150 petani. Ada yang mendapat lahan seluas 1.000 meter persegi, ada yang 2.000 meter persegi, tergantung dari kemampuan masing-masing petani untuk mengolahnya.

Setelah lahan siap tanam, Jazimah kembali kewalahan. Tak ada petani yang mau mengolah lahan kritis tersebut.

Ia lalu mengeluarkan trik jitu agar para petani mau "bergerak". Jazimah lalu mengancam, jika dalam setahun lahan dibiarkan telantar, petani akan kehilangan hak guna lahan. "Padahal, yang menentukan lahan SG boleh dipakai atau tidak, ya, pihak keraton, bukan saya, ha-ha-ha," ujar perempuan tamatan SMA ini.

Ancamannya itu berhasil. Para petani mau mengolah bukit. Mumpung masih bisa "mengancam", Jazimah mengarahkan petani untuk menerapkan metode yang dia rencanakan, yakni membuat sistem terassering berparit.

Lereng bukit dibuat berundak-undak dengan dikelilingi parit sedalam 10 sentimeter. Setiap selang jarak 5-10 meter, Jazimah memberi batas tumpukan batu padas di dalam parit itu. Untuk ini, Jazimah punya alasan khusus.

Menurut dia, tingkat erosi di bukit Karang Tengah amat tinggi. Pengikisan dinding bukit saat hujan inilah yang membuat lapisan tanah kian menipis. Keberadaan parit akan berguna untuk mengalirkan air limpasan dan tumpukan batu padas bisa menahan laju materi tanah yang terbawa air. "Tanah yang mengendap tertahan batu bisa dikembalikan lagi ke ladang oleh petani," paparnya.

Tanpa disadari, Jazimah telah memperkecil kemungkinan terjadinya tanah longsor di bukit itu. Hal ini diketahuinya saat tim penilai Kalpataru dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DIY berkunjung awal Juni lalu.

Pupuk kompos

Untuk menambah volume tanah, Jazimah menyarankan petani membawa pupuk alami (kompos dan kandang) setiap berangkat kerja ke bukit. Lewat cara itulah, lingkungan Mojolegi semakin bersih dari kotoran hewan dan sampah dedaunan.

Pada tahun pertama penggarapan lahan, Jazimah sempat kecewa karena hasil panen jagung yang ditanam petani tak baik. Bonggolnya kecil dan bulir-bulirnya pun tidak penuh.

Namun, Jazimah tetap memotivasi petani untuk terus menambah pupuk alami pada lahan garapan. Ia pun meminta petani membuat pestisida alami sebagai pengendali hama, yang terbuat dari campuran daun munggur dan cabai merah.

"Saya yakin sesuatu yang berasal dari alam akan mendatangkan hasil yang lebih baik," ucap Jazimah.

Upaya itu berbuah manis. Tahun 2003 panen jagung dan kacang hijau mulai normal. Bahkan, produksi jagung Mojolegi juga telah dilirik beberapa pengusaha pakan ternak di DIY ataupun daerah lain. Dengan demikian, petani tidak lagi kesulitan memasarkan hasil panen.

Tujuh tahun lebih bergelut dengan lahan kritis membuat Jazimah sadar bahwa tidak selamanya bukit itu bisa ditanami palawija. Sulit menjaga kestabilan unsur hara di lokasi itu. Kalaupun harus mengandalkan pupuk alami, akan ada kenaikan ongkos produksi yang cukup tinggi.

Jazimah kemudian mencoba menanam tanaman keras, seperti jambu mete dan sirsak, yang lebih mudah tumbuh di atas lahan tersebut. Ini selaras dengan program Pemerintah Kabupaten Bantul yang akan menjadikan perbukitan Imogiri dan Dlingo sebagai kawasan agropolitan khusus tanaman buah.

Untuk membudidayakan tanaman keras ini, lagi-lagi Jazimah mencetuskan ide cemerlang. Ia menyarankan petani membuat lubang berukuran satu meter persegi sedalam 20 sentimeter di sekitar lokasi penanaman bibit pohon.

"Lubang ini untuk menampung air saat musim hujan. Jadi, petani tidak perlu repot menyirami tanaman," ungkapnya.

Lubang-lubang serupa juga dia buat di sekitar kaki bukit, dengan kedalaman sekitar 1-2 meter. Dengan begitu, sawah tadah hujan bisa memiliki cadangan air saat musim kemarau.

Ia berharap dalam tempo 3-4 tahun ke depan, tanaman keras ini sudah berproduksi. Selain buah, tanaman tersebut akan menghasilkan komoditas lain seperti serat benang sutra dari ulat di pohon jambu mete.

Atas semua yang telah ia perbuat, Jazimah menyimpan satu harapan "sederhana", yakni memandirikan petani dengan cara mengubah perilaku. Dengan demikian, petani bisa bertahan tanpa bergantung pada ketersediaan pupuk, obat, atau benih, meskipun harus hidup di atas lahan kritis.

"Selain itu, senang rasanya melihat bukit gersang itu kembali hijau," tutur Jazimah. (AB2)

Sumber : Kompas, Jumat, 29 Juni 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks