Jun 1, 2009

Holif Immamudin : Holif Hadirkan Taman Sakura di Cibodas

Holif Hadirkan Taman Sakura di Cibodas
Oleh : Ahmad Arif dan Try Harijono

Melihat sakura mekar, kini tidak perlu pergi jauh-jauh ke Jepang. Cukup datang saja ke Kebun Raya Cibodas di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Di sini, keindahan bunga sakura berwarna merah menyala dan putih kemerahan terhampar di areal seluas 2 hektar.

Jika di Jepang bunga sakura (Prunus serrulata) hanya mekar setiap April, di Taman Sakura Kebun Raya Cibodas, bunga sakura justru bisa mekar setahun dua kali, yakni setiap April dan September.

"Iklim di Cibodas ternyata cocok untuk sakura, terbukti bisa dua kali berbunga dalam setahun," kata Holif Immamudin (57) yang menghadirkan Taman Sakura dengan 225 pohon di Kebun Raya Cibodas itu.

Di tangan Holif, pensiun sebagai Kepala Kebun Raya Cibodas (KRC) September lalu, kebun raya seluas 1.200 hektar ini tak hanya menjadi areal konservasi dan penelitian di bawah payung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tetapi, tempat ini juga menawarkan keindahan aneka tanaman dari berbagai belahan dunia dan pelosok negeri.

Pada awal menjadi Kepala KRC tahun 2002, Holif melihat puluhan pohon sakura—yang berasal dari daerah subtropis itu—berbunga lebat di KRC. Sayang, lokasinya jauh di dalam kebun sehingga tak bisa menarik pengunjung KRC. Padahal, sebanyak 35 pohon sakura itu dibawa Pemerintah Belanda langsung dari habitat aslinya di lereng Himalaya pada 1938.

Holif kemudian terobsesi untuk membuat Taman Sakura di KRC. Bibitnya diperoleh dengan mencangkok tanaman induk sakura yang sudah ada, ditambah bantuan biji sakura dari temannya, sesama konservatoris di Jepang. Dia juga mendapat sumbangan biji sakura oleh-oleh dari mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dari Jepang. Obsesi menghadirkan taman sakura pun terwujud pada 2004.

Taman Lumut

Selain sakura, inovasi yang dikembangkan Holif adalah Taman Lumut yang diresmikan 2006. Tak kurang dari 125 spesies berada di taman ini, menjadikan KRC satu-satunya yang memiliki taman lumut di luar ruangan dalam skala besar. "Di Jepang memang ada taman lumut, tapi kecil. Di Jerman dan Singapura ada juga, di dalam rumah kaca," kata Holif.

Di KRC, aneka jenis lumut tumbuh subur di sela-sela batu atau pepohonan yang lembab. Lumut dipadu dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan penataan bebatuan. Taman Lumut ini menyempil di kawasan kebun raya seluas 125 hektar yang berada di lereng Gunung Gede-Pangrango itu. Kehadiran Taman Lumut juga tak lepas dari bantuan anak buah Holif, Herdi, yang justru sarjana agama.

Lumut, menurut Holif, mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, di antaranya sebagai pengikat air dan menjaga kelembaban udara dan porositas tanah. Dari beberapa jenis lumut, marga Usnea dapat dimanfaatkan dan mempunyai potensi untuk obat-obatan dalam bentuk jamu atau godokan. Dari marga Spaghnum juga sudah lama dikenal sebagai pengganti kapas, obat penyakit kulit, obat penyakit mata, serta sebagai media anggrek yang mahal harganya.

Dari marga Polythrichum dapat dipergunakan sebagai penutup kasur, penutup tanaman hias, dan taman. "Dari marga Marchantia (lumut hati) oleh masyarakat atau penduduk dipergunakan untuk obat penyakit hepatitis," papar Holif seraya menambahkan, beberapa jenis lumut yang sudah atau belum dikenal untuk obat-obatan itu masih perlu diuji secara klinis.

Indonesia, ia perkirakan, memiliki sekitar 1.500 jenis lumut yang hidup tersebar dan subur di antara rerumputan, tanah, cadas, dan daerah gambut. "Taman ini diharapkan bisa menjadi jendela untuk meneliti lumut lebih jauh," tuturnya.

Holif tak hanya berinovasi dengan menanam aneka tanaman dalam KRC. Panggilan hatinya sebagai pelestari lingkungan menggerakkan dia untuk menanam aneka tanaman di lahan-lahan kosong dan telantar di luar tempat bekerja.

Di bawah kepemimpinan Holif, KRC aktif mendatangi sekolah-sekolah dan menanam aneka tanaman di 220 sekolah di enam kabupaten/kota, yaitu Cianjur, Purwakarta, Kota Bandung, Sukabumi, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor. "Anak-anak harus dikenalkan untuk mencintai tanaman sejak dini," ungkap Holif.

Ia juga diminta menanami lahan kosong seluas 1,5 hektar di daerah aliran sungai Ciliwung, Jakarta. Sedikitnya 1.000 tanaman penghijauan dia tanam di lahan itu secara cuma-cuma.

Selama menjabat, Holif membebaskan lahan konservasi milik KRC seluas 3 hektar yang sebelumnya diserobot warga, dan ditanami tanaman-tanaman semusim. Padahal, lahan itu berada di tebing sehingga rawan menyebabkan longsor. "Selama hampir setahun, kami melakukan pendekatan kepada warga untuk menanamkan kesadaran konservasi hutan. Akhirnya warga menyerahkan kembali lahan itu," tuturnya.

Cinta tanaman

Holif memang terobsesi menanami setiap jengkal tanah dengan tanaman. "Waktu kecil, saya bisa minum di mana saja karena kualitas air masih baik, hutan masih baik. Tetapi, sekarang, ke mana-mana kita bawa sebotol air minum. Jika kerusakan lingkungan terus terjadi, tak mustahil suatu saat ke mana-mana kita membawa tabung oksigen," tutur pria kelahiran Cirebon, 28 November 1950, ini.

Setelah menamatkan sarjana muda pada Akademi Pertanian Tanjung Sari, Sumedang, tahun 1976, Holif menjadi penyuluh pertanian selama setahun. Pada 1977 ia mulai bekerja di LIPI. Kecintaannya kepada tanaman mulai menemukan ruang, terutama setelah 1978 ia menjadi kurator tanaman anggrek di Kebun Raya Bogor (KRB).

Pengalaman bertahun-tahun bertugas di KRB menjadi bekal Holif membuat banyak terobosan saat bertugas sebagai Kepala KRC dari 2002 hingga September 2007.

Kini, pada masa pensiun, Holif tetap tak bisa jauh dari dunia tanaman. Dia aktif dalam Yayasan Kebun Raya Indonesia dan menjadi konsultan pembentukan Taman Raya Kuningan. Ia juga rajin datang ke KRC sebagai supervisor penelitian tanaman buckwheat, bahan baku mi hijau, sumbangan Jepang yang diberikan pada akhir masa jabatannya.

Obsesi dia yang belum tercapai adalah menghijaukan Jakarta dengan memadukan nama daerah dengan jenis tanaman. Misalnya, di kawasan Gambir ditanami pohon gambir (Uncaria gambir), kawasan Menteng ditanami pohon menteng (Baccourea dulcis), Bintaro ditanami pohon bintaro (Cerbera manghas), atau kawasan Kelapa Gading ditanami kelapa gading (Cocos nucifera).

"Kami siap menyediakan tanamannya, tinggal menunggu respons pemerintah DKI," ujarnya. Langkah ini sekaligus untuk menambah wawasan masyarakat tentang jenis-jenis tanaman yang merupakan kekayaan Indonesia.

Sumber : Kompas, Senin, 8 Oktober 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks