Dr Hadi, Antara Bolot dan Bodoh...
Oleh : Bre Redana
Bicara dengan dokter Hadi Puspita, Kepala Puskesmas Kepanjen, serasa lupa bahwa lingkup permasalahan yang dibicarakannya cuma Kepanjen, kota kecamatan kecil di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Masalah yang digelutinya dengan sungguh-sungguh di wilayah pedesaan itu sebenarnya mengungkapkan problema amat luas negeri ini. Pantaslah dia menyandang gelar Dokter Teladan Nasional 2006.
Dia membuka laptopnya. Ia tipe yang selalu bicara dengan data. Ia menunjukkan kegiatan surveillance (pengawasan, pemantauan): suatu proses—Anda boleh tanya sendiri kalangan dokter—yang jarang dilakukan kalangan medis. "Di luar negeri, surveillance dilakukan di semua bidang. Di Indonesia, kalau toh dilakukan, itu pun dilakukan dengan cara tidak benar sehingga hasilnya tidak tajam," kata dokter Hadi. "Surveillance atau pengamatan yang dilakukan sehari-hari bisa membuat kita mampu melakukan pencegahan dini. Kalau ada wabah baru ada laporan, itu namanya terlambat...."
Maka, dia pun menceritakan proses sehari-hari dari kegiatan pemantauan yang dilakukan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas)-nya bersama para stafnya. Dari laptopnya ia tunjukkan sebuah gambar grafik yang diberi nama "grafik maksimum-minimum harian". Grafik itu merupakan gambaran yang didapat dari sensus harian penyakit (SHP) per telepon.
"Setiap hari, antara pukul 11.00-12.00 kami menerima telepon atau SMS dari para tenaga medis setempat. Pukul 02.00 siang, kami sudah bisa membikin grafik seperti ini, dan langsung bisa melihat, terjadi wabah atau tidak," katanya.
Kotoran telinga
Seperti dosen, ia jelaskan secara rinci proses pengamatan kuantitatif itu yang kemudian ia jabarkan dalam berbagai matriks, dari tabel, grafik, sampai ke peta yang disebutnya geomedic mapping (peta geomedik). Dengan peta geomedik itu, segera terlihat kondisi kesehatan di 18 desa di Kecamatan Kepanjen yang dibawahinya. "Ini peta yang sederhana. Para pegawai di puskesmas kami dengan gembira melakukan pemetaan seperti ini. Mereka bisa memberikan presentasi yang meyakinkan dengan data-data seperti ini," ujar dokter Hadi sambil tertawa.
Ia menceritakan, Desember 2005 terjadi peningkatan kasus tifoid di daerahnya. Dari pemetaan geomedik itu, tergambarlah mana desa yang dikategorikan merah (parah), kuning (cukup parah), dan seterusnya. "Dari peta itu terlihat, semua daerah yang parah dilewati oleh aliran sungai yang sama. Desa yang tak bersentuhan dengan sungai itu sama sekali tak tersentuh tifoid. Dengan itu kita bisa berasumsi, sumber tifoid adalah air sungai berikut resapan air yang dikonsumsi penduduk lewat sumur-sumurnya. Begitu kita teliti, asumsi tersebut terbukti. Sehingga pemecahannya menjadi sederhana. Air penduduk kita beri kaporit. Bulan berikutnya, angka tifoid itu langsung merosot drastis," ujarnya.
Bekerja sama dengan unit kesehatan sekolah (UKS), dia pernah mendapati, sekitar 56 persen murid kelas I sekolah dasar/madrasah di kecamatannya mengidap cerumen obturan (kotoran telinga). "Selama dua bulan kami bekerja untuk membersihkan telinga anak-anak itu dengan ekstraktor, atau yang terlalu keras dengan disuling," katanya. "Yang tidak terduga, begitu kotoran telinga mereka dikeluarkan, indeks prestasi anak-anak itu meningkat semua," katanya.
Jadi ada hubungan antara "bolot dan bodoh"? Dokter Hadi cuma menjawab dengan tertawa.
Masih banyak lagi kasus dicontohkannya. Mengikuti paparannya yang didasarkan metode pengamatan yang menghasilkan angka-angka yang kelihatan sangat sahih itu, seperti melihat antitesa: jangan-jangan angka-angka hasil laporan para birokrat yang serba beres selama ini adalah angka kebohongan belaka.
"Di Jawa Timur, ada laporan angka pelayanan imunisasi (terhadap bayi) mencapai 103 persen. Itu bayinya siapa...?" ujarnya tertawa. Ketidakberesan laporan kesehatan masyarakat, angka pelayanan imunisasi, sampai angka pertambahan penduduk, ia curigai terjadi sejak zaman Soeharto. Awal tahun 1990-an, di sebuah daerah di Jawa Timur ia pernah menemukan ribuan pil KB (Keluarga Berencana) ditanam di kandang sapi. "Mungkin karena tak bisa mendistribusikan lalu dikubur saja. Tapi angka laporan mereka, pelayanan KB 103 persen...," ujarnya menceritakan ironi tersebut.
Queen dan Genesis
Dokter Hadi Puspito, kelahiran Malang, 20 Agustus 1958, tampaknya masih membawa semangat Pramuka-nya di masa sekolah dulu, serta aktivis Pelajar Pemuda dan Pelajar Turen—kota kecil di Malang Selatan. Semangat seorang aktivis cukup tampak pada dirinya. Selain itu juga semangat kemudaan, di mana ke sana-ke mari ia sering diikuti teman-temannya bermain band. Hadi Puspito, atau Kapit—begitu teman-teman dekat memanggilnya—adalah "eksponen rock 1970-an". Kasih dia gitar, maka dari lagu Queen sampai Genesis akan mengalir.
Dia lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali. Selama kuliah di Bali itu pula dia mendapat jodoh wanita Denpasar, Ni Wayan Ekawathi, yang telah memberinya tiga putri: Aurora, Ghea, dan Tabitha.
Ia tidak pernah mengklaim kondisi kesehatan di masyarakat di bawah puskesmasnya selalu beres, apalagi dengan "angka 100 persen". "Semakin jujur kita, semakin banyak kasus. Atau sebaliknya, semakin tidak jujur, semakin kelihatan beres..." ujarnya.
Sumber : Kompas, Senin, 28 Agustus 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment