Gesang yang Terus Mengalir
Oleh : Sonya Hellen Sinombor
Walau orang menyebutnya sebagai maestro keroncong, Gesang selalu mengaku dia bukanlah siapa-siapa. Ia tetap merasa sebagai orang kampung yang tidak berilmu, tetapi mendapat penghargaan begitu besar. Dia bersyukur dalam usia 90 tahun, tepat pada 1 Oktober 2007, sebagian orang tetap ingat padanya.
Nama Gesang Martohartono memang sangat populer jika dikaitkan dengan lagu Bengawan Solo. Namun, lebih dari itu, di antara seniman musik yang pernah ada di Indonesia, Gesang sesungguhnya tergolong langka karena hingga usia 90 tahun ini ia masih menerima royalti atas hak cipta karya-karyanya.
Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-90, bos Gema Nada Pertiwi (GNP) yang menerbitkan album Tribute to Gesang dan Gesang: Platinum Collection (2005), Hendarmin Susilo, menggelar acara yang cukup mewah di sebuah gedung megah di Solo. Dalam kesempatan yang sama, di rumah keluarga tempat dia tinggal, di Singosaren Lor, Kelurahan Kemlayan, Solo, Gesang juga dipertemukan dengan sejumlah penyanyi keroncong seperti Mus Mulyadi hingga Tuti Maryati—dulu Tuti Trisedya.
"Saya merasa tersanjung dan bangga," ucap Gesang, yang oleh kalangan penyanyi muda disapa dengan Mbah Gesang.
Pada malam perayaan itu Gesang meniup lilin dan memotong kue tar. Ia juga mendapat kado antara lain berupa royalti sebesar Rp 90 juta. Sebagian dari royalti yang diterima dia serahkan kepada 90 anak yatim piatu dari beberapa panti asuhan di Solo. Dia memberikan sendiri satu per satu amplop berisi uang kepada anak-anak yang sengaja datang malam itu.
Dengan mengandalkan royalti yang dia terima, Gesang bisa hidup dengan kesehariannya yang sangat sederhana. Ia tergolong orang yang tak ingin menyusahkan orang lain. Saat dalam kondisi sakit dan dirawat di rumah sakit, Gesang berujar, "Saya cuma susah makan. Ya, beginilah kalau orang sudah tua."
Maka, ketika ia mendengar Pemerintah Kota Solo akan memberikan santunan kesehatan baginya, menurut pihak keluarga, semula ia sempat marah. Ia tak ingin dianggap sebagai orang yang kekurangan gizi.
Meski tak berkelebihan, dari lagu-lagu karyanya Gesang memperoleh penghasilan "tetap". Tahun lalu, misalnya, Benny Panjaitan dari Yayasan Karya Cipta Indonesia menyebutkan, Jepang termasuk negeri yang rajin membayar royalti atas lagu Bengawan Solo.
Pada ulang tahun Gesang ke-89, Penerbit Musik Gema Pertiwi menyerahkan royalti sekitar Rp 78 juta untuk lagu-lagu gubahannya. "Saya gembira karena royalti ini bisa untuk ongkos hidup saya," ungkap Gesang, yang mencipta sekitar 44 lagu, saat menerima royalti tersebut.
Tahun 1981 dia mendapat hadiah rumah dari Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Rustam. Pada 1988 ia pergi ke Osaka, Jepang, dan mendapat 5.000 dollar AS dari masyarakat Jepang.
Popularitas
Selain uang, popularitas Gesang pun seakan tak ada "matinya". Pada usia 89 tahun, dia masih mampu menjadi magnet bagi sebagian wisatawan asal Jepang dalam acara temu kangen yang berlangsung di Ndalem Wuryaningratan, Solo.
Ketika dia berulang-tahun ke-85 pada tahun 2002, Gesang masih mampu merekam suaranya untuk album Keroncong Asli Gesang. Dari 14 lagu dalam rekaman CD, enam di antaranya belum pernah direkam, yaitu Seto Ohashi, Tembok Besar, Borobudur, Wurung, Pandanwangi, dan Swasana Desa.
Lewat album Gesang: Platinum Collection terbitan GNP tahun 2005, lagu-lagu yang digubahnya pada 1940 hingga 1970-an dimunculkan kembali. Lagu-lagu itu seperti tak lekang oleh zaman, seperti Jembatan Merah (1943), Sebelum Aku Mati (1963), dan Caping Gunung (1973).
Pada 1 Oktober 2007, bertepatan dengan 90 tahun usia Gesang, muncul lagi album berisi lagu-lagu ciptaannya dalam Tribute to Gesang. Ini merupakan album kompilasi yang dibawakan oleh sejumlah penyanyi dan grup yang menginterpretasikan lagu-lagu Gesang. Di antaranya Bengawan Solo versi rock dari Farid Hardja, gaya country dari Tantowi Yahya, juga lewat gesekan biola Idris Sardi.
Sejak jatuh sakit pertengahan April 2007, Gesang mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Tak hanya dari komunitas seniman keroncong atau seniman seangkatan dia yang datang menjenguk, tetapi juga penyanyi yang usianya jauh lebih muda darinya, seperti Katon Bagaskara, Lusy Rahmawati, Iwan Fals, sampai Tantowi Yahya.
Keramahannya tak hilang meski dalam kondisi sakit. Ketika orang datang dan memintanya melantunkan Bengawan Solo, misalnya, Gesang pasti memenuhinya. Ini antara lain terjadi saat Titiek Puspa dan beberapa penyanyi lain mengajaknya menyanyi. Dengan suara gemetar, Gesang melantunkan lagu legendarisnya itu.
Cintanya pada keroncong dan Kota Solo membuat Gesang rela datang malam hari di Stadion Manahan Solo untuk acara pencanangan Kota Solo sebagai Kota Keroncong, 9 September 2007. Demi keroncong pula dia menyempatkan diri muncul di tepian Bengawan Solo, mendampingi Mus Mulyadi dan Tuti Maryati, untuk rekaman gambar acara musik keroncong pada 2 Oktober lalu.
"Pada usia 90 tahun Mbah Gesang masih lancar berbicara, tidak pikun," ungkap Tuti Maryati.
Kalimat yang berulang-ulang dikatakan Gesang setiap kali dia bertemu orang yang lebih muda darinya adalah, "Jangan sampai keroncong mati, dan Indonesia tetap jaya."
Kocak, Patriotis, Melankolis
Gesang menggubah 44 lagu dengan tema variatif. Bengawan Solo tak sekadar berbicara tentang sungai besar, akan tetapi juga tentang pasang surut hubungan bengawan dengan hidup manusia. Hal itu dikatakan Gesang dalam wawancara yang direkam pada album Gesang: Platinum Collection terbitan GNP, 2002.
Gesang bicara tentang tempat pelesiran seperti Tirtonadi (1942). Ia bisa bermain-main dalam lagu Jawa Andheng-andheng (1960) atau tahi lalat. Andheng-andheng cedak alis jarene/ Klilipen wae kok manis: Tahi lalat di dekat alis mata katanya/ Mata kemasukan debu saja kelihatan manis.
Ia juga bisa bicara soal patriotisme dalam Sebelum Aku Mati (1963), atau tentang perdamaian dunia lewat lagu Bilamana Dunia Berdamai (1942). Lagu itu ditulis ketika dunia dilanda Perang Dunia II dan Republik Indonesia belum lahir.
Dia bisa menjadi romantis dan melankolis ketika berbicara tentang putus cinta, seperti pada Saputangan (1941), Jembatan Merah (1943), Kecewa (1950), dan Pamitan (1971). Suasana hati hampa dan sia-sia karena putus cinta tak jatuh pada sikap cengeng. Simak penggalan lirik Kecewa:
"Betapa ku kecewa/ Merpati kekasihku hilang/ Lepaslah dari genggaman/ Ku tak bersayap/ Tak mungkin mengejar/ Teriakan panggilanku jauh/ Sudah tiada lagi terdengar..."
Suasana kecewa dan kehilangan kuat disampaikan tanpa nuansa merintih atau mengiba- iba. Gesang menggunakan metafora burung merpati yang kebetulan dekat dengan kesehariannya yang sederhana: ia memang hobi memelihara burung. (XAR)
Sumber : Kompas, Jumat, 12 September 2007
Jun 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment