Deddy, Kesetiaan Si "Nagabonar"
Oleh : Susi Ivvaty
Tahun 1987 Deddy Mizwar memperoleh penghargaan aktor terbaik pada Festival Film Indonesia lewat perannya dalam film garapan almarhum Asrul Sani, Nagabonar. Dua puluh tahun berlalu, Deddy kembali hadir sebagai Nagabonar lewat film yang juga disutradarainya, Nagabonar Jadi 2.
Film ini menceritakan Nagabonar tua—diperankan Deddy Mizwar—yang masih bersemangat. Selama hidup, ia tak pernah beranjak jauh dari rumah serta kuburan ibu, istri, dan adiknya, di antara rimbunnya perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara.
Suatu saat, ia diajak anaknya ke Jakarta. Dari sini konflik demi konflik pun digarap. Dengan balutan komedi yang kental, film ini mampu menjembatani perbedaan cara berfikir antara generasi lama dan masa kini.
Deddy menggandeng Tora Sudiro, yang berperan sebagai Bonaga, anak lelaki semata wayang Nagabonar. Karakter Bonaga digambarkan sangat mirip ayahnya. Soal ini Deddy berseloroh, "Nagabonar cuma satu saja sudah bikin ribut, bagaimana kalau jadi dua? Hahaha."
Dengan menghadirkan pemain muda seperti Tora, Darius Sinathrya, Wulan Guritno, Lukman Sardi, Uli Hendinansyah, dan Mike Muliadro, Deddy berupaya memperlebar pasar.
"Biar ada dialektika budaya. Nilai lama tidak selamanya benar, dan yang sekarang tak selamanya salah," ujarnya.
Koreksi
Bagi Deddy, Nagabonar Jadi 2 merupakan sebuah koreksi. Substansinya adalah ajakan untuk mengkritisi sesuatu dengan cinta.
"Sekarang ini, hanya karena persoalan remeh penduduk antargang saling bunuh, antar-RT saling bantai. Begitu banyak perbedaan di dunia, marilah melihat perbedaan dengan cinta. Mari melihat Indonesia dengan hati," kata pria kelahiran Jakarta 5 Maret 1955 ini.
Lahirnya Nagabonar Jadi 2 bermula dari keresahan melihat carut-marutnya bangsa. Saat kegelisahan itu terakumulasi, sekitar tiga tahun lalu, Deddy menyampaikan niatnya kepada Asrul Sani sebelum meninggal. Ia ingin menghadirkan kembali sosok Nagabonar.
"Saya sampai mimpi, Nagabonar nanti kayak apa ya?"
Menurut Deddy, saat ini kita kehilangan film-film seperti karya almarhum Asrul Sani tersebut. Film yang mampu menunjukkan rasa cinta kepada Tanah Air dengan cara unik. Ia mengaku tidak akan mampu membuat Nagabonar dalam latar belakang zaman kemerdekaan. Oleh karena itu, ia mendekatkannya dengan situasi kekinian.
"Ada moralitas, namun tidak kehilangan unsur hiburan."
Deddy sebagai Nagabonar ingin bicara masalah kebangsaan lewat sesuatu yang sederhana dan remeh. Ada satu adegan saat Nagabonar menegur sopir metromini yang berhenti di tengah jalan dan membuat macet. Sementara, di belakangnya seorang ibu tergeletak pingsan, buru-buru hendak dibawa ke rumah sakit.
Tanya Nagabonar kepada sopir yang sama-sama dari Batak, "Kamu tahu Nagabonar?" Jawab sopir, "Nagabonar kan sudah mati." Sahut Nagabonar lagi, "Aku hantunya...!" Buru-buru sopir metromini itu melajukan kendaraan.
Setia dan religius
Memulai kiprah di dunia seni peran sejak tahun 1973 lewat Teater Remaja Jakarta, kini Deddy adalah sosok yang menginspirasi dunia perfilman. Sampai usia 52 tahun, ia tidak henti berkreasi, meramaikan jagat perfilman Tanah Air, baik sebagai aktor, sutradara, dan sekaligus produser. Dia berkarya di layar kaca maupun layar lebar.
Sejak pertama kali bermain film dalam Cinta Abadi (1976) karya sutradara Wahyu Sihombing, karier Deddy terus menanjak. Ia meraih penghargaan sebagai aktor terbaik FFI 1986 lewat film Arie Hanggara, pemeran pembantu terbaik FFI 1986 lewat Opera Jakarta, aktor terbaik FFI 1987 dalam Nagabonar, dan pemeran pembantu terbaik FFI 1987 dalam film Kuberikan Segalanya.
Ketika dia menjadi sutradara, pesan yang muncul merupakan perwujudan pribadi dan pemikirannya. Film Nagabonar Jadi 2 merupakan kelanjutan dari perjalanannya sebagai sutra- dara.
Sebelumnya, dengan pesan serupa dalam kemasan berbeda, Deddy menyodorkan film-film garapannya, sebut saja Kiamat Sudah Dekat (2003) dan Ketika (2005). Ia selalu memasukkan nilai moral dan religiusitas dengan ringan, tidak menggurui, namun terasa nuansa satir- nya.
Deddy menilai, sebenarnya tak ada manusia yang tidak baik, yang ada adalah perbedaan cara berfikir. Itulah mengapa ia hampir tidak pernah menciptakan tokoh jahat dalam film garapannya.
"Dalam Nagabonar-nya Asrul Sani, mana ada tokoh jahat? Tokoh Belanda-nya saja lucu," ucapnya.
Maka, jadilah Deddy memotret peristiwa sehari-hari yang kemudian dilihat dengan perspektif berbeda. Ia berguru pada almarhum Asrul Sani, yang mengajarkan bahwa cinta itu tidak bisa disekat dengan nilai-nilai protokoler.
"Sekat itulah yang menghambat humanisme, padahal itulah yang dibutuhkan negeri ini," tuturnya.
Deddy mencoba setia dengan komitmen untuk selalu menyampaikan kebaikan walau sekecil apa pun. Melihat banyak sinetron religi di televisi yang menurutnya merusak akidah, ia pun membuat "tandingan" sinetron serupa seperti Lorong Waktu, Mat Angin, dan Pengembara.
Deddy juga memaknai agama bukan sekadar ritual. "Begitu banyak masjid dibangun, namun separalel dengan kejahatan yang juga tumbuh subur," ucapnya prihatin.
Nagabonar pasti akan menyambung, "Apa kata dunia???"
***
BIODATA
Tentang Deddy Mizwar
Kelahiran: Jakarta, 5 Maret 1955
Istri: Giselawaty Wiranegara
Anak: Senandung Nacita dan Zulfikar Rakita
Film yang dibintangi:
- Sunan Kalijaga (1984)
- Kerikil-kerikil Tajam (1985)
- Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986)
- Nagabonar (1987)
- Jangan Rebut Cintaku (1990)
Penyutradaraan Film:
- Ketika
- Kiamat Sudah Dekat
- Nagabonar Jadi 2
Penyutradaraan Sinetron:
- Pengembara
- Mat Angin
- Lorong Waktu
Sumber : Kompas, Sabtu, 30 Maret 2007
Jun 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment