Jun 5, 2009

Coppong Daeng Rannu : Empu Tari Kuno Makassar

Empu Tari Kuno Makassar
Oleh : Reny Sri Ayu Taslim

Pada usia 87 tahun, tubuhnya tampak kurus. Kulit yang membalut wajah dan lengannya sudah keriput. Akan tetapi di balik itu terhias senyum yang menampakkan sisa kecantikan masa muda. Langkah kaki dan gerakan tangannya pun gemulai.

Dialah Coppong Daeng Rannu, perempuan yang tiada henti menari dan menularkan keahliannya hingga usia senja. Dalam usia serenta itu, jangan berpikir ibu tiga anak dan nenek 11 cucu ini sosok manja dan tak berdaya. Bagi sosok yang akrab disapa Mak Coppong ini sangatlah tabu menjadi beban hidup bagi anak-cucu.

Akhir tahun 2006, misalnya, dia tampil pada Festival Budaya di Kabupaten Enrekang, sekitar 256 kilometer dari rumahnya di Desa Kampili, Kecamatan Palangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pada waktu senggang di luar pentas, dia juga aktif mengajar empat cucunya menari.

Tahun 2004, selama tiga bulan dia melanglang dari Singapura, lalu negara-negara Eropa, Amerika Serikat, hingga Australia. Dia menjadi penari untuk pementasan I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson.

Jangan lagi ditanya pentas yang sudah dilakukannya di sejumlah provinsi di Indonesia, pada berbagai festival, gedung pertunjukan, atau undangan dari berbagai kalangan. Mak Coppong menari sejak usia 10 tahun, pada zaman Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan. Dia menari mulai dari istana di hadapan raja hingga di rumah jabatan bupati dan gubernur.

Baginya, menari adalah panggilan jiwa. "Selama masih bisa, saya akan terus menari," tuturnya. Bagi Mak Coppong, mengajar menari juga panggilan jiwa dan tanggung jawab untuk melestarikan Pakarena dan Salonreng.

Pakarena adalah tarian khas Makassar kuno yang dulu kerap dipersembahkan di istana dalam acara resmi. Adapun Salonreng juga merupakan tarian Makassar kuno yang sarat nuansa ritual, dan hanya ditarikan pada acara tertentu, semisal upacara mengusir tolak bala.

Berbeda dengan Pakarena yang bisa dibawakan lebih dari tiga orang, tarian Salonreng hanya dibawakan satu orang. Saat ini boleh dikata hanya Mak Coppong seoranglah Pa’ Salonreng (pemain Salonreng) yang bisa menarikan Salonreng sesuai pakem asli.

Dia bertekad menekuni terus tarian itu agar seni tradisi suku Makassar tak lenyap tergerus budaya populer. Mungkin ini juga yang membuat dirinya tetap bersemangat menjalani sisa hidup, sembari menularkan ilmu tari pada sedikit orang muda yang tertarik seni tradisi. Namun, karena panggilan jiwa pula, Mak Coppong enggan mengajari mereka yang datang dengan keterpaksaan.

"Bila mereka datang dengan keinginan dan kemauan hati, saya dengan senang hati mengajar. Saya tidak mau mengajar orang kalau mereka terpaksa atau karena saya yang memanggilnya," katanya.

Saat ini hanya empat cucu yang dia ajari Salonreng. Itu karena mereka datang dan minta diajari. "Saya bersyukur mereka berminat mempelajari tarian ini," tuturnya. Di sini terlintas kegalauan, Salonreng akan hilang ditelan waktu terkait minimnya minat remaja pada kesenian ini.

Pewaris tradisi

Menjadi penari, awalnya tak terpikirkan bagi Mak Coppong. Hatinya tergugah saat ibunya berkata, "Kalau kamu tidak belajar menari dan menjadi penari, maka tidak ada lagi penerus di keluarga kita yang akan jadi penari". Terlebih oleh dorongan restu ayahnya juga.

Pada usia 10 tahun, Coppong memutuskan menjadi generasi penerus dalam keluarga untuk menekuni tari, terutama Salonreng dan Pakarena. Kendati awalnya sekadar menuruti kata ibu, Coppong tak setengah hati menjalani pilihannya.

Gerakan-gerakan Salonreng dan Pakarena yang diajarkan Mosoa Daeng Ola, anrong guru (tempat berguru tari) sekaligus kakeknya, dengan cepat dia serap dengan sempurna. Entah karena memang berbakat atau titisan darah kakeknya, pada usia 10 tahun itu juga Coppong menari untuk pertama kali di Balla Lompoa, Istana Raja Gowa. Selanjutnya, dia menjadi penari istana.

Saat itu tak sembarang orang bisa menari di istana. Ia bersama lima penari lain terpilih menari di hadapan raja dan keluarga kerajaan.

Tentu, menari pada zaman Coppong muda tidak seperti sekarang. Jarak rumah dan istana sekitar 17 kilometer dengan kondisi jalan tanah dan berbatu, kerap harus ditempuh berjalan kaki. Sesekali naik bendi, bila utusan istana menjemputnya menggunakan kendaraan yang ditarik kuda itu.

Kendati menjadi penari istana, diakui Mak Coppong, hari-harinya banyak dilalui dengan cemoohan tetangga. Cibiran seperti "orang bodoh", "perempuan tak tahu malu", "perempuan tak terhormat", dan beragam kata-kata lain yang membuat kuping merah, harus dia terima hampir setiap hari.

Namun, dia tak peduli. "Habis, yang mengundang itu petinggi istana," ucapnya. Apalagi, kesenangan dan pilihan hidup itu mendapat dukungan sang suami, Daeng Serang (alm). Ia acap kali menghibur diri dengan membatin, "Mungkin saya memang orang bodoh yang telanjur jadi penari."

Keteguhan hati Mak Coppong untuk menunjukkan bahwa penari bukan pekerjaan hina, lambat laun mampu membungkam mulut orang-orang di desa. Terlebih saat dia melebarkan sayap dengan menari di pentas-pentas bergengsi di banyak tempat hingga ke luar negeri, dan mendapat penghargaan. Semua lalu berbalik memuji. Banyak yang tiba-tiba mengakuinya sebagai keluarga.

Mak Coppong perempuan yang teguh pendirian. Keinginan melestarikan tarian Makassar kuno adalah alasan yang membuatnya tetap menekuni Salonreng dan Pakarena.

Ia setia melakoni hidup sebagai penari, meski secara materi pekerjaan itu tak menjanjikan kemakmuran. Pada usia senja, hidupnya hanya tergantung pada undangan pentas, di samping dua-tiga petak sawah dan ladang.

Dia melewati hari-harinya di sebuah rumah panggung kayu sederhana. Menjemur gabah dan bercengkerama dengan anak-cucu adalah selingannya di luar urusan tari.

Sumber : Kompas, Sabtu, 28 April 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks