Jun 1, 2009

Cissie Nugraha, Jangan Cuma Otak Kiri

Cissie Nugraha, Jangan Cuma Otak Kiri
Oleh : GM Sudarta*

Anak dengan kemampuan akademis tinggi biasanya langsung disebut pintar. Maka, para pemenang olimpiade sains, fisika, dan matematika, misalnya, langsung mendapat sambutan hangat. Ujian nasional pun mementingkan matematika dan bahasa. Lalu, di manakah tempat anak-anak dengan kemampuan berkesenian?

Adakah yang pernah mendengar seorang anak down syndrome, Ratu Anisa yang berusia delapan tahun, gambarnya meraih First Winner Award pada Italy Global Competition? Atau Darryl Chandra (10) yang lukisannya meraih Best Winner dalam sebuah lomba di Amerika Serikat yang diikuti sekitar tiga juta peserta?

Oleh karena itulah, bagi Cissie Nugraha (27), seorang dokter, untuk memaksimalkan kemampuan otak seorang anak seharusnya juga diperhatikan peran aktif otak kanan. Di sini berarti kemampuan sosialisasi, kreativitas, spontanitas, imajinatif, berpikir menyeluruh, serta berpikir dengan gambar dan ruang pun harus dikembangkan.

Peran aktif otak kanan bisa dicapai lewat pendidikan berkesenian, seperti melukis, menari, maupun bermusik. Dengan pemberdayaan kedua belah otak, kemampuan intelektual anak dapat mencapai taraf optimal.

Masih "terpinggirkannya" otak kanan membuat Cissie mendirikan lembaga pendidikan Cissie Art. Lulusan S-2 Manajemen Administrasi Rumah Sakit ini telah memerhatikan gejala pada masyarakat sejak ia masih di bangku kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Sejak mahasiswa Cissie sudah mengajar menggambar untuk teman-teman seangkatan. Dia juga tak keberatan ketika ada orang tua meminta dia mengajari anak-anaknya menggambar. "Kebetulan sejak kecil saya suka menggambar. Jadi, saya tahu kalau menggambar bisa menjadi terapi. Dengan menggambar, seseorang bisa merasa bebas mengemukakan perasaan," kata Cissie yang tak pernah belajar menggambar secara formal itu.

Menyadari pentingnya menggambar, Cissie tak keberatan mengajari anak-anak menggambar. Apalagi, tambahnya, dia melihat lomba-lomba menggambar yang seharusnya membebaskan anak justru cenderung memasung kreativitas.

"Malah ada orangtua yang memasukkan anaknya ikut kursus menggambar, dengan harapan dalam waktu tiga-empat bulan si anak sudah bisa ikut lomba. Jadinya, si anak malah merasa tertekan," ujarnya serius.

Ada yang hilang

Merasa ada yang hilang dalam pendidikan anak-anak yang lebih mengutamakan kemampuan akademis, Cissie lalu membuka lembaga pendidikan gambar-menggambar untuk anak-anak, Cissie Art. Ini dilakukannya dengan harapan, sekecil apa pun, ia ingin bisa "mengisi" hal yang hilang dalam pendidikan kini.

"Pendidikan untuk mengasah batin seseorang itu hilang dari pendidikan kita. Dulu, ada pelajaran Budi Pekerti, lalu ada Kewarganegaraan, juga P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Tetapi, semua itu lebih kepada doktrin," katanya.

Ia merasakan sendiri manfaat berkesenian. "Selain mengasah batin, juga memengaruhi perkembangan intelektual anak. Kesenian itu bagus buat anak biasa dan anak yang mempunyai kebutuhan khusus," ujarnya.

Oleh karena itu, dia tak pilih-pilih dalam menerima murid. Lembaga yang berlokasi di kawasan Sunter Podomoro, Jakarta Utara, itu kini mempunyai lebih dari 120 murid. Sebanyak 30 murid di antaranya anak-anak dengan kebutuhan khusus, misalnya down syndrome, autis, hiperaktif, slow learner, tuli, parkinson, dan epilepsi.

"Dari para orangtua, saya jadi tahu umumnya sanggar-sanggar kesenian itu tak mau menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Padahal, untuk mereka, kegiatan menggambar dan berkesenian itu justru terapi yang baik," cerita Cissie yang tak memungut bayaran untuk siswa yang kebanyakan berasal dari keluarga tak mampu itu.

Selalu unik

Adakah metode pengajaran khusus yang dilakukan Cissie? Dia mengaku hanya membimbing anak-anak agar berani mandiri. Dia mendorong mereka merasa bebas berkreasi dan berimajinasi. "Lukisan anak itu unik, satu dengan lainnya tak bisa disamakan." Karena itu, dia paling tak setuju pada metode pengajaran yang mengharuskan anak-anak menggambar sesuai dengan kehendak orang dewasa.

"Biarkan anak-anak berkembang sesuai dengan pribadi masing-masing. Kalau ini kita lakukan, kita akan melihat anak-anak yang berani mengungkapkan pendapatnya sendiri," tambah Cissie.

Khusus anak-anak berkebutuhan khusus, meskipun memerlukan waktu relatif lama dibandingkan dengan anak biasa, keceriaan dan keasyikan mereka melukis ternyata telah membuka pikiran dan hatinya.

"Ini membuka harapan bahwa mereka pun bisa melakukan sesuatu yang membanggakan," ucap Cissie sambil menyebutkan lukisan karya siswa dari Cissie Art telah menghasilkan lebih dari 30 penghargaan nasional ataupun internasional, seperti di Polandia, China, Jepang, Mesir, dan Ukraina.

Dari pengalamannya mengajar menggambar, kata dia, lukisan anak sangat dipengaruhi umur. Anak usia tiga tahun berbeda gambarnya dengan usia 10 tahun. "Anak tiga tahun cenderung menggambar untuk mengungkapkan sesuatu, tak peduli gambarnya proporsional atau tidak," katanya.

Sementara anak usia enam tahun cenderung memerhatikan obyek gambar dibandingkan dengan keselarasan warna. "Jadi, kita sering menemukan anak mewarnai langit dengan hijau atau rumput berwarna pink," ucapnya.

Pada anak usia delapan tahun, kecenderungan menggambarnya menurut kaidah ruang meski masih dalam dua-tiga dimensi. "Anak usia 10 tahun biasanya sudah menggambar dengan bidang dasar sebagai pijakan obyek gambar. Gambar anak-anak ini tampak lebih realistis."

Membunuh kreativitas

Mempertimbangkan keunikan setiap anak itulah Cissie merasa tak seharusnya lomba melukis untuk anak-anak itu dinilai dari kacamata orang dewasa. Misalnya, gambar anak dinilai bagus bila warna tanah cokelat bergradasi atau langit biru bergradasi.

"Anak-anak bisa membuat tanah berwarna kuning dan langit merah. Kata mereka, tanah itu kuning karena panas matahari, dan langit merah sebab mataharinya sangat besar. Itulah dunia anak-anak," katanya.

Dia juga mengamati, sebagian sanggar "memaksa" siswa melukis dengan teknik yang sama. Keadaan ini diperparah munculnya panitia-panitia penyelenggara lomba lukis yang hanya mementingkan besarnya jumlah peserta.

"Anak usia lima tahun yang masih di taman kanak-kanak bagaimana bisa memikirkan konsep jarak jauh dan dekat dilihat dari segi perspektif? Akibatnya, banyak orangtua atau guru membuatkan sketsa, lalu si anak meniru. Itu semua demi lomba," cerita penyuka piano ini.

Semua itu bukannya menumbuhkan keinginan melukis dari hati, melainkan justru membunuh daya kreativitas mereka. Oleh karena itu, kata Cissie, seharusnya anak-anak mendapat pendidikan yang lebih "manusiawi". Caranya, kemampuan otak kiri dan otak kanan harus diberdayakan seoptimal mungkin serta jangan hanya mengandalkan kemampuan akademis anak semata.

*GM Sudarta, Kartunis Tinggal di Klaten)

Sumber : Kompas, Rabu, 7 November 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks