Jun 20, 2009

Asep Wowon : Wowon, Petani "Sarjana Desa"

Wowon, Petani "Sarjana Desa"
Oleh : Yenti Aprianti

Asep Wowon (50) hanya petani kecil lulusan sekolah dasar, tetapi ia sering mengajari mahasiswa dan dosen jurusan pertanian tentang cara bertani dengan tepat. Itu sebabnya, para ”murid”nya menyebutnya petani lulusan sarjana desa—jika disingkat menjadi SD.

Meskipun lulusan SD, pria yang tinggal di Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung, ini sangat gemar belajar.

Keinginannya untuk terus belajar timbul karena cita-citanya menyelesaikan sekolah hingga ke jenjang lebih tinggi tidak tercapai. Ia putus sekolah karena orangtuanya yang bekerja sebagai petani kecil berprinsip sekolah tidak perlu tinggi, yang penting punya pekerjaan.

Untuk mempersiapkan masa depan Wowon, ayahnya sudah mengajarinya menjadi petani sejak usia 13 tahun. Waktu itu ia masih duduk di kelas empat SD. Selepas SD, ia pun langsung terjun bertani dengan menyewa tanah karena orangtuanya termasuk orang yang tidak mampu sehingga tidak mewariskan tanah untuknya.

Lebih dari 30 tahun, Wowon bertani mengikuti petunjuk pemerintah dengan cara menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Akhirnya, pada tahun 1999 Wowon berkesempatan mendapatkan pelatihan pertanian organik dari Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan (SPTN).

Penuturan yang sederhana tentang prinsip-prinsip menyelamatkan alam sekaligus membangun sikap mandiri petani lewat pertanian organik yang diajarkan guru amat menyentuh hatinya. Sebagai petani yang selalu mengalami penurunan produksi dari tahun ke tahun, Wowon tergerak untuk mencoba bertani secara organik.

”Awalnya memang berat karena pekerjaan saya jadi bertambah. Saya harus membuat pupuk yang banyak untuk menyembuhkan tanah yang sudah kekurangan hara dan oksigen serta tidak memiliki kemampuan menyerap air. Belum lagi hasil panen pertama lebih sedikit dari pertanian dengan sistem anorganik atau menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. Hasilnya cuma 650 kilogram,” ujar Wowon.

Namun, ia tidak putus asa. Pada panen kedua jumlah produksinya bertambah. Bahkan, setelah lima tahun bisa mencapai satu ton dari lahan seluas 1.400 meter persegi. Padahal, dari luas lahan yang sama, dengan pertanian anorganik ia hanya mendapatkan produksi sebanyak 800 kilogram.

Tidak perlu membeli pupuk

Keberhasilan itu tidak ingin ia rasakan sendiri. Wowon pun menyebarkan ilmu yang membuatnya berhasil. Ia mengajak beberapa petani untuk bertani secara organik. Dengan demikian, petani bisa mandiri karena tidak perlu membeli pupuk dan pestisida kimia yang mahal.

”Pertanian dengan sistem organik selain dapat menyuburkan tanah juga menyehatkan tubuh kita karena hasil panennya tidak mengandung bahan-bahan kimia,” ujar Wowon.

Dengan bertani organik, petani membuat pestisida sendiri dari buah busuk, umbi-umbian, dan lainnya yang dihaluskan dan dicampur air hingga membusuk atau membuat pupuk dari kotoran ternak dan sampah organik hingga menjadi kompos.

Untuk mendapatkan teknik pertanian organik yang benar dan mempelajari ekologi tanah, dia selalu ikut pelatihan di berbagai kota. Bahkan, ia pernah dibiayai SPTN untuk melakukan studi banding pada peringatan Hari Pangan Sedunia di Thailand tahun 2000 dan di Filipina tahun 2002.

”Saya tidak pernah membayangkan bisa terbang pakai pesawat dan menginjakkan kaki di negara orang lain. Tapi, dengan jadi petani yang sungguh-sungguh, saya bisa mendapat kesempatan itu,” ujar Wowon.

Agar ilmu yang dimilikinya tersebar ke petani lain, ia tidak ragu mengeluarkan uang sendiri. Misalnya, saat mengajak para petani di desanya untuk berdiskusi, ia mengundang petani dan menyuguhinya kopi serta makanan ringan dari warung istrinya, Aisyah (47). ”Istri saya tidak marah dan selalu mendukung,” ujarnya.

Namun, membagikan ilmu baru ternyata tidaklah mudah. Salah satu kendalanya ialah budaya instan para petani. Bahkan, ia sering dicemooh. Saat menanam benih satu-satu, petani lain langsung meledeknya.

”Kalau tidak punya benih, pinjam saja dulu,” kata seorang temannya sesama petani. Padahal, ia melakukannya karena, menurut penelitian, benih padi yang ditanam satu-satu akan memiliki anak yang banyak hingga 70 buah. Namun, jika menanam benih 10 batang, seperti yang banyak dilakukan petani anorganik, anak padi hanya kisaran 30 batang dalam satu rumpun.

Belajar bahasa Inggris

Wowon mendiamkan ledekan itu hingga terbukti benih yang ditanamnya per satu batang itu memiliki jumlah anak lebih banyak. Melihat bukti itu, petani lain tergoda. Ia sudah mengajarkan lebih dari 100 petani di desanya. Namun, hanya sekitar 30 orang yang melaksanakan pertanian organik.

Di luar desanya, Wowon juga sering diundang ke berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk mengajarkan atau menceritakan kisah suksesnya bertani secara organik.

Bahkan, tidak hanya petani, mahasiswa dan dosen pertanian pun menimba ilmu dan pengalaman dari Wowon. Ia mengajar tentang ekologi tanah secara ilmiah. Ilmunya ia pungut dari guru-guru dan peneliti yang pernah mengajarnya. Misalnya, untuk menunjukkan tingginya unsur hara dalam tanah, ia menggunakan praktik menyentuhkan kabel yang tersambung pada bola lampu ke tanah yang subur. Bola lampu akan menyala karena tanah berunsur hara tinggi memiliki energi listrik.

Kini, temannya bukan hanya petani berpendidikan rendah, tetapi para ilmuwan serta kaum intelektual dari dalam dan luar negeri. Mengingat begitu luas relasi Wowon, diam-diam ayah dari Neneng Nurjanah (27), Agus Farhan (20), dan Ahmad Fadil (11) ini berusaha belajar bahasa Inggris.

Wowon belajar secara otodidak dari kamus maupun buku Tata Bahasa Inggris yang ia beli di tukang asongan yang menawarinya saat ia bepergian menggunakan bus kelas ekonomi.

”Pokoknya kalau ada yang menawari saya buku-buku itu di bus, pasti saya beli. Di rumah saya belajar dengan anak saya yang masih SD, biar dia semangat,” ujar Wowon.

Buat Wowon, kemampuan berbahasa asing sangat penting bagi pergaulan anak-anaknya kelak. Ia pun sangat ingin anak-anaknya mendapat pendidikan hingga jenjang tertinggi, tetapi tetap mengerti ilmu bertani. Ia amat percaya, dengan ilmu, anak-anaknya akan mampu mandiri.

Ia telah membuktikan korelasi antara ilmu dan kemandirian dalam hidupnya. Dengan kehausannya pada ilmu, Wowon yang putus sekolah mampu menjadi petani yang bisa memproduksi sarana pertaniannya sendiri dari lingkungannya. (D11)

Sumber : Kompas, Senin, 19 Desember 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks