May 31, 2009

Yoel Abraham Wakaburi : Bram Wakaburi, Mediator Tujuh Suku

Bram Wakaburi, Mediator Tujuh Suku
Oleh : Ichwan Susanto

Tahun 1984 hati Yoel Abraham Wakaburi (50) tergugah untuk menyatukan suku-suku yang mendiami tanah kelahiran di Teluk Bintuni, Papua Barat. Semula, perbedaan bahasa antarsuku dan ego kesukuan menjadi kendala. Bermodal kefasihan sebagai petugas penyuluh pertanian lapangan, ia dapat mengajak para kepala suku duduk bersama dalam kelembagaan musyawarah adat.

Ajakan pria yang akrab disapa Bapa Bram ini ditanggapi positif. Setahun kemudian, kepala suku Wamesa, Kuri, Irarutu, Sumuri, Sebyar, Sough, dan Moskona mau diajak duduk bersama dalam Lembaga Musyawarah Adat Masyarakat Teluk Bintuni (LMAMTB).

Pimpinan-pimpinan adat di Distrik Bintuni, Babo, Merdey, dan Aranday ini memiliki keprihatinan yang sama akan kehidupan masyarakat setempat yang terbelakang. Padahal, kawasan itu kaya sumber daya alam.

Ketika hasil tambang dan hutan dikeruk terus-menerus, masyarakat setempat tak merasakan manfaatnya. Hampir seluruh keuntungan dari hasil alam itu hanya mengalir ke Manokwari sebagai pusat administratif kabupaten.

Karena itu, pada tahun 1992, jauh sebelum eforia pemekaran di Papua, bahkan Indonesia, mereka bersepakat mengajukan permintaan lepas dari wilayah administratif Kabupaten Manokwari. Abraham Wakaburi, yang kini menjadi koordinator tujuh suku (asli) di Teluk Bintuni, ketika itu menjadi orang yang membacakan aspirasi masyarakat setempat di depan Bupati Manokwari Mulyono.

"Keinginan kami saat itu, masyarakat Teluk Bintuni menjadi sejahtera dengan kekayaan alamnya sendiri. Semoga tujuan awal kami itu terus mewarnai perjalanan Kabupaten Teluk Bintuni yang pada 9 Juni lalu berusia empat tahun," ungkap Bram berharap.

Pernyataan yang dibacakan Bram Wakaburi itu ternyata terus menggelinding bak bola salju. Singkatnya, perjuangan pemekaran itu menunjukkan hasil final dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 yang berisi pemekaran 14 kabupaten di Provinsi Papua, salah satunya Kabupaten Teluk Bintuni.

Apa yang diperoleh Bapa Bram dari pemekaran itu? Ia mengaku tak mendapatkan apa-apa, baik jabatan maupun setumpuk uang. Selama 22 tahun ia bekerja dengan status pegawai negeri sipil (PNS). Dia memulainya sebagai petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan kini ia masuk golongan IID. Jabatannya sekarang sebagai Kepala Seksi Bina Produksi pada Dinas Pertanian Teluk Bintuni.

Kehidupannya tetap sederhana. Bram tinggal di rumah panggung kayu yang selama 10 tahun ini belum juga rampung ia bangun. Rumahnya terletak di pinggir Jalan Raya Bintuni, bahkan satu pekarangan dengan rumah adat LMAMTB.

Untuk keperluan transportasi ke sana kemari, setiap hari dia menggunakan sepeda motor dinas yang diperolehnya tahun 1999. Dengan kendaraan tua tersebut, Bram mengaku telah menempuh Bintuni-Manokwari (berjarak sekitar 250 kilometer melewati hutan, sungai, dan lumpur) sebanyak 34 kali.

Meski begitu, Bram mengaku, ucapan terima kasih pemkab setempat—berupa penghargaan sebagai Pelopor Pendukung Pemekaran Teluk Bintuni—sudah membuat dia bahagia. Penghargaan itu diterimanya pada 9 Juni 2007, bersamaan dengan Hari Jadi Ke-4 Kabupaten Teluk Bintuni.

"Itu merupakan kado ulang tahun saya ke-50. Bapa tak mengharap apa-apa selain masyarakat Bintuni hidup sejahtera," ujarnya.

Meniti karier

Bram Wakaburi berasal dari suku Wamesa. Dia dilahirkan pada 8 Juni 1957 di Idoor, lokasi yang kini menjadi salah satu dari 10 distrik di Teluk Bintuni. Ia lulus SD Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Bintuni tahun 1972, lalu melanjutkan pendidikan ke SMP Bintuni.

Kemudian, ia belajar di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Manokwari. Setelah lulus tahun 1980, Bram ditempatkan di Distrik Oransbari sebagai petugas PPL.

Empat tahun kemudian, tahun 1984, dia ditugaskan di tanah kelahirannya, Bintuni, sekaligus diangkat sebagai PNS. Di tempat kelahirannya itu pula, Bram menemukan pujaan hati, Frederika Manibui, yang dinikahinya tanggal 15 Juni 1985. Mereka telah menikah selama 22 tahun dan dikaruniai enam anak lelaki serta dua anak perempuan.

Dalam kehidupan sehari-hari, Frederika Manibui menganggap suaminya sebagai sosok yang sangat sibuk. "Paitua orangnya sibuk, sebentar ada di rumah, sebentar lagi sudah di tempat lain, dia bikin kegiatan," ucap Frederika Manibui.

Sebagai koordinator tujuh suku, Bram bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan antarperseorangan ataupun suku, baik yang asli Papua maupun pendatang, seperti Bugis, Makassar, Buton, Jawa, Toraja, dan Sanger. Ia berprinsip setiap permasalahan tidak boleh diselesaikan dengan pertumpahan darah. Setiap masalah pasti dapat diselesaikan dengan duduk bersama di rumah adat.

Kedekatan dia dengan masyarakat setempat membuat para antropolog Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga mengajak dia dalam penelitian masyarakat asli Teluk Bintuni pada tahun 1997.

***

Bahasa Suku dalam Kurikulum

Setelah berhasil dalam perjuangan memekarkan Kabupaten Teluk Bintuni, Yoel Abraham Wakaburi kini terobsesi untuk memasukkan pelajaran bahasa suku ke dalam muatan lokal di sekolah. Ia khawatir, jika bahasa-bahasa suku tidak diperkenalkan sejak anak berusia sekolah dasar, kawasan Bintuni akan kehilangan bahasa ibu.

"Keinginan Bapa kali ini adalah menjaga bahasa tujuh suku di Bintuni dari kepunahan. Bapa masih merancang bagaimana caranya agar bahasa ini dapat diajarkan di sekolah-sekolah," ujar Bram Wakaburi, Koordinator Tujuh Suku di Lembaga Musyawarah Adat Masyarakat Teluk Bintuni, Papua Barat.

Ia menjelaskan, bahasa suku biasanya hanya digunakan antarmasyarakat yang berasal dari sesama suku atau berkekerabatan. Jika berbicara dengan masyarakat dari suku lain, masyarakat setempat menggunakan bahasa Indonesia yang secara tidak langsung telah menjadi bahasa pemersatu suku-suku di Papua.

Ia khawatir kondisi tersebut bakal membuat bahasa lokal perlahan-lahan tetapi pasti akan ditinggalkan generasi mendatang. Apalagi generasi mendatang hidup dalam komunitas sosial yang lebih kompleks, seperti di kota. Di sisi lain, ia mengakui tak mudah untuk menjaga kelestarian bahasa suku.

Pasalnya, dalam satu ruang kelas di sekolah terdapat anak-anak dari berbagai macam suku. Suku asli Papua di Teluk Bintuni ini terdiri atas 156 marga.

"Tidak seperti di Jawa yang mudah mengajarkan bahasa Jawa karena satu bahasa daerah itu juga digunakan orang Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta," ujarnya.

Karena itu, ia berharap ada akademisi ataupun ahli bahasa yang mau bersama-sama dia mencari solusi bagi obsesinya tersebut. Bram yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Teluk Bintuni ini tak ingin bahasa masyarakat adat tersebut menghilang dari Bumi Cenderawasih.

Sumber : Kompas, Jumat, 24 Agustus 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks