May 29, 2009

Titiek Puspa : Nyanyian Hidup Titiek Puspa

Nyanyian Hidup Titiek Puspa
Oleh : Maria Hartiningsih dan Frans Sartono

Inilah persiapan Titiek Puspa menyongsong hari "H" ulang tahunnya ke-70, Kamis (1/11) ini. Ia mengirim sekitar 200 surat kepada orang-orang yang dia kenal. Isinya, permintaan maaf dan selarik harapan. Lalu, ia juga berpuasa.

Begitulah ritual "bersih diri" ala Titiek Puspa. Penyanyi yang suaranya didengungkan lewat ribuan mikrofon selama lebih dari 50 tahun itu menyadari, "Wong urip iku nggone lali", orang hidup itu tempatnya lupa. "Mulane kudu eling…," katanya. Karena itu harus selalu ingat dan hati-hati bertingkah laku.

Tetapi, yang tak kurang penting dari ritual itu adalah, "Supaya bisa terus tertawa…."

Usia 70 tahun, dengan kesehatan yang boleh dikatakan prima dan rezeki yang terus mengalir, adalah karunia. Ia juga punya pangsa khusus, yakni pasangan usia 70-an yang hendak merayakan pesta perkawinan emas mereka.

Album baru yang akan diluncurkan dalam waktu dekat, antara lain memuat lima lagunya. Ia menyertakan dua lagu terbaru, yakni Salam Cinta dan Doa serta Terimakasih Tuhan, yang hendak ia nyanyikan pada malam peringatan HUT-nya ke-70 di Jakarta. Musiknya digarap Tohpati.

Acara HUT Titiek Ke-70 akan digelar pada 14 November di Hall D Arena Pekan Raya Jakarta. Hajatan akan dimeriahkan lebih dari 20 penyanyi yang akan membawakan puluhan lagu ciptaannya, termasuk penyanyi Apanya Dong, Euis Darliah, yang khusus datang dari Swedia.

Ikon dunia citra

Titiek Puspa adalah penyanyi sepanjang zaman dan bintang dalam arti sesungguhnya. Wajahnya masih muncul di mana-mana dan terus sibuk. Ketika ditemui di rumahnya di bilangan Perdatam, Jakarta Selatan, malam itu, ia baru kembali dari mengisi acara kampanye antikemiskinan di Ancol. Ia punya kepedulian pada masalah sosial. Syair beberapa lagunya, seperti Kupu-kupu Malam, memperlihatkan dengan jelas keberpihakan pada yang terpinggirkan.

Sayangnya, bukan itu yang menarik media massa, juga bukan suara emasnya, melainkan, maaf, kemampuan dia merawat wajah dan tubuh. Pertanyaan yang mencecar resep awet mudanya sebenarnya pantulan dari pemujaan terhadap kemudaan.

Dalam dunia citra, soal itulah yang selalu dieksplorasi (dan dieksploitasi). "Ada dokter kecantikan yang mau jadikan saya ikon. Katanya, wajah itu kalau dirawat, enggak usah pakai operasi, usia 70 masih bagus," sambungnya.

Dulu, Titiek terkesan kesal menjawab pertanyaan seperti itu, sampai ia meminta si penanya menelisik wajahnya untuk melihat apakah ada bekas operasi. "Saya punya keloid, kalau kena pisau, malah numbuh dagingnya," katanya.

Namun, ia tak sungkan bercerita: Sejak usia 35 tidur telentang karena gaya tarik bumi membuat pipi tak cepat kendur, selain menjaga supaya perut "tidak melambai-lambai". Ia menjalani olahraga napas dan jalan kaki keliling kompleks rumah yang luasnya sekitar 4.000 meter persegi. Sejak usia sekitar 40, ia mengganti santan untuk masakan dengan susu tanpa lemak.

Pendek kata, sosoknya adalah simbol keinginan orang untuk tetap bugar dan cantik. "Saya dengan bangga mengatakan umur saya 70 tahun. Tetapi, kalau harus berlakon seperti nenek-nenek umur 70 gimana gitu, ora ngerti carane."

Namun, ia juga tahu batas kemampuannya. "Seperti sekarang, kalau nyanyi, tone-nya kurendahkan karena tak mau menyiksa leher. Dalam nada tinggi, suara saya sudah pecah," ujarnya.

Mungkin ini "resep" lainnya: Karena teman-teman seusia dia, satu per satu sudah ’dipanggil duluan’, "Yang datang ke saya makin lama makin muda," ucapnya. Ia punya kemampuan mengucapkan "selamat datang" kepada bintang-bintang muda. Ia mampu menikmati musik apa saja dan senang melihat keberhasilan orang lain.

Memaknai peristiwa

Di luar soal ketubuhan dan suara, Titiek tampaknya berhasil menjadi "empu" bagi diri sendiri. Ia berterima kasih pada pengalamannya dan mendefinisikan kebahagiaan sebagai "mampu memaknai berbagai peristiwa dalam hidup".

Itu sebabnya, tuduhan bahwa dia adalah "simpanan" Yusuf Muda Dalam (YMD) pada kasus tahun 1965, serta berbagai peristiwa yang ia katakan "lebih-lebih", di antaranya kehilangan kemampuan berbicara pada 1980-1982, ia lihat sebagai semacam ujian "naik kelas".

"Saya bilang sama Gusti Allah, kalau saya salah, ambillah semuanya. Kalau saya benar, kembalikan jalannya pada saya," kenangnya.

Tawaran manggung mengalir dan albumnya laku seperti kacang goreng setelah kasus YMD. Setelah "sembuh" dari ketidakmampuan berbicara, ia menciptakan Apanya Dong yang dipopulerkan Euis Darliah.

Pengalaman masa kecilnya seperti terus berulang. Waktu kelas III SD ia dipaksa pulang oleh gurunya. Padahal waktu itu badannya meriang karena malaria dan di luar hujan lebat. Merasa ditolak, ia berlari di tengah hujan sambil menangis dan mengadu kepada Gusti Allah. Dalam putus asa dia mengambil dedaunan di ladang, ia tumbuk, lalu dimakan. Maksudnya supaya mati, tetapi malah sehat walafiat karena dedaunan yang dia ambil ternyata unsur jejamuan. Ia malah jadi lebih pintar di kelas.

Setelah itu, selama setahun, setiap pulang sekolah, ia naik pohon dan mendendangkan lagu-lagu dolanan bocah untuk Gusti Allah, mengajak-Nya mengobrol, dan mengadukan apa saja. Seumur hidup ia menganggap Gusti Allah sebagai sahabat jiwa, tempat dia menyandarkan hati dan tubuh yang letih diempas berbagai peristiwa, termasuk kegagalan dalam asmara. Untuk merawat hubungan itu, sejak kecil ia terbiasa berpuasa.

"Saya pernah kena beri-beri karena kurang makan, he-he-he...," kenangnya.

Mungkin di situlah kekuatannya bertahan di dunia hiburan, yang menurut Titiek seperti rimba, banyak ular, harimau, dan macam-macam yang buas. Di situ Titiek menjadi apa? "Ya, jadi Titiek Puspa saja," sergahnya.

Ia memeluki bekal hidupnya, wani ngalah, luhur wekasane. "Diapa-apain orang saya enggak pernah membalas. Saya enggak mau punya utang."

Dengan segenap pencapaian itu, ia menilai dirinya 60 dari nilai tertinggi 100. Kenapa bukan 70 atau 80? "Kayaknya enggak nyampe. Saya enggak sekolah tinggi dan ambisinya cuma segini."

Di antara Roda Kereta

Orangtuanya, Tugeno Puspowidjojo dan Siti Mariam, memberinya nama Soedarwati. Namanya berganti jadi Soemarti karena dia sakit-sakitan. Sejak tahun 1953 perempuan kelahiran Tanjung, Kalimantan Selatan, 1 November 1937, itu dikenal sebagai Titiek Puspa.

Titiek Puspa mengaku, Mus Mualim-lah yang membukakan jalan bagi dia untuk membuat lagu. Ia belajar kepada suaminya itu dan diperlakukan sebagai murid. Tetapi sebenarnya, kemampuan dia mengenal nada-nada muncul dalam peristiwa yang unik.

Ketika kelas IV SD, pergi dan pulang sekolah dilajunya dengan kereta api, Kranggan-Magelang. "Suara jes-jes dari roda kereta itu seperti nada. Kayak nyanyian malaikat. Jadi saya tak pernah duduk di kursi, tetapi di tangga kereta. Saya menikmati nada yang mengalun indah dari roda kereta. Kalau saya sudah bisa menulis not saat itu, lagu-lagu saya pasti banyak yang klasik," kenangnya.

Ia berterima kasih, antara lain, karena mampu memelihara cintanya pada seni.

"Saya bermimpi di Indonesia ada sekolah seni karena leluhur kita sudah menciptakan tata krama dan seni budaya, yang mengajar orang berbudaya dan punya hati. Hanya seni yang akan mengembalikan derajat Indonesia dan menyelesaikan banyak krisis," ujar Titiek.

Sumber : Kompas, Kamis, 1 November 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks