Oleh : Eny Prihyitani
Dari pemikiran sederhana mengubah kubangan air menjadi kolam ikan, Suharsono berhasil menyakinkan warga Desa Jambidan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menggeluti bisnis perikanan sejak beberapa tahun terakhir. Ide kolamisasi kubangannya itu juga mendapat perhatian pemerintah setempat. Bapak empat anak ini mendapat penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan.
Dalam benak saya waktu itu, kubangan sudah sangat mirip kolam. Kami tidak perlu menggali lagi, tinggal dibenahi sedikit dengan menambah pagar. Maka, jadilah kolam ikan,” tutur Suharsono.
Desa Jambidan dikenal sebagai produsen batu bata. Sebagian besar warganya menggantungkan hidup dari usaha ini. Untuk bahan baku, warga memanfaatkan tanah liat di areal persawahan produktif. Akibatnya, banyak kubangan yang ditinggalkan. Apabila musim hujan tiba, kubangan itu hanya menjadi sarang nyamuk.
Sebagai warga asli Desa Jambidan, kondisi tersebut membuat Suharsono resah. Meski saat itu masih menjadi Duty Manager di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, Suharsono menyisihkan sebagian waktu untuk membudidayakan ikan. ”Awalnya saya melakukannya sendiri. Setelah cukup yakin dengan analisa ekonomi usaha perikanan, saya baru mengajak warga lain,” ceritanya.
Pada tahap awal Suharsono berharap warga mau memanfaatkan kubangan-kubangan yang ditelantarkan itu menjadi kolam ikan. Namun, untuk jangka panjang, ia ingin mengajak warga meninggalkan aktivitasnya sebagai perajin batu bata karena kesejahteraan sudah bisa mereka peroleh dari bisnis perikanan.
Berdasarkan data Kantor Desa Jambidan, 70 persen lahan sawah atau seluas sekitar 5 hektar sudah digali untuk membuat batu bata. Jika kondisi ini terus dibiarkan, luas lahan pertanian produktif akan semakin berkurang. ”Sudah berkali-kali warga diajak kembali ke pertanian, tetapi selalu menolak karena tidak menguntungkan,” katanya.
Aktivitas pembuatan batu bata berawal sekitar 15 tahun lalu. Ketika itu harga sawah di Desa Jambidan hanya Rp 25.000 per meter persegi. Rendahnya harga tersebut membuat masyarakat setempat memilih menggali tanah dan memanfaatkannya menjadi bahan batu bata. Akibatnya, kubangan pun bertebaran di mana-mana.
Industri batu bata memang menggiurkan. Untuk lahan sawah seluas 1 meter persegi dihasilkan 1.500 batu bata atau senilai Rp 150.000. ”Jadi, meski dibiarkan, petani tidak akan rugi. Mereka bahkan menganggap lahannya sudah tidak ada atau telah terjual karena hasil yang diperoleh jauh di atas harga lahan. Kalaupun mau ditanami padi, hasilnya tidak seberapa. Setiap meter persegi paling banter dapat 4 kilogram beras atau setara Rp 16.000,” katanya.
Ide awal
Awalnya, ide Suharsono itu mendapat tentangan dari warga. Ia dianggap aneh. Usahanya mengembangkan budidaya ikan gurami hanya dipandang sebelah mata. Mereka tidak percaya usaha Suharsono akan sukses. ”Pada tahap awal saya sengaja tidak langsung mengajak mereka. Saya ingin membuktikan dulu kalau budidaya gurami itu lebih menguntungkan dibandingkan membuat batu bata,” katanya.
Pasar batu bata sangat tergantung pada musim. Misalnya, saat banyak kegiatan pembangunan fisik, kebutuhan batu bata pun melonjak. Sebaliknya, kalau proyek fisik sepi, penjualan batu bata akan menurun. Hal itu berbeda dengan ikan gurami yang pasarnya selalu ada dan tidak perlu mencari-cari karena pembeli datang dengan sendirinya. ”Kebutuhan ikan gurami untuk wilayah DIY sangat tinggi dan belum bisa dicukupi oleh petani ikan lokal. Sebagian pengusaha restoran masih mendatangkan (gurami) dari luar daerah. Kalau peluang itu bisa dibaca petani ikan, semangat mereka pasti tergugah,” katanya.
Prediksi Suharsono tidak meleset. Setelah usahanya sukses, warga dengan sendirinya mengikuti jejaknya. Suharsono pun lebih antusias mengembangkan usaha budidaya ikan di desanya. Begitu memasuki masa pensiun dari Hotel Inna Garuda Yogyakarta, dia membentuk kelompok petani ikan bernama Minoraharjo.
Pengalaman Suharsono sebagai pegawai hotel pun tidak disia-siakan. Ia bersama dengan kelompok Minoraharjo membentuk usaha pemancingan dan restoran. Selain untuk fungsi komersial, pondok pemancingan itu sekaligus menjadi sekretariat kelompok.
Berdiskusi
Kecintaan Suharsono pada dunia perikanan berawal dari kebiasaannya berdiskusi dengan kawan-kawan. Sejak awal ia menyukai bisnis karena sifatnya lebih menantang dibandingkan dengan kerja kantoran yang relatif monoton. ”Dari perbincangan dengan teman-teman, saya menyadari usaha perikanan sangat menguntungkan bila dilihat dari analisa ekonomi. Risikonya memang besar, tetapi untungnya juga besar,” katanya.
Jasa Suharsono dalam menyulap kubangan menjadi kolam gurami, membuat pemandangan di Desa Jambidan berubah. Belakangan, nyaris tak ada lagi kubangan yang dibiarkan terbengkalai. Semuanya dimanfaatkan untuk pembibitan dan budidaya gurami. Untuk pembibitan dibutuhkan kedalaman kurang dari 1 meter dan guna budidaya minimal 1 meter. Kesejahteraan warga desa juga meningkat sehingga pekerjaan menggali tanah liat untuk batu bata mulai ditinggalkan.
Pascagempa, para petani ikan sempat tergiur untuk memproduksi batu bata kembali. Pasalnya, kebutuhan batu bata waktu itu sangat tinggi. Sejumlah warga kembali menekuni ”profesi” lama. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengurus kelompok. ”Kami sempat kesulitan meyakinkan mereka untuk kembali ke perikanan. Namun, berkat usaha keras, mereka percaya dengan argumentasi kami,” tuturnya.
Keseriusan para petani dalam mengembangkan pembibitan dan budidaya ikan juga mendapat dukungan pemerintah desa setempat, dengan memberikan lahan kas desa seluas 2,5 hektar untuk dikelola menjadi kolam. Lahan itu bisa dibuat menjadi 150 buah kolam, tetapi sampai sekarang belum ada investor yang tertarik. ”Saya berharap ada investor yang tertarik menanamkan investasi untuk budidaya gurami di sini. Selama ini kami masih kewalahan memenuhi permintaan pasar karena keterbatasan modal,” kata Suharsono.
Sumber : Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2008
0 comments:
Post a Comment