May 30, 2009

Sofyan Tan, Obsesi Pluralisme di Indonesia

Sofyan Tan, Obsesi Pluralisme di Indonesia
Oleh : Aufrida Wismi Warastri

Harian Kompas 22 Agustus 1992 memuat cerita "Perjalanan Tujuh ’Orang Gila’". Disebut "gila" sebab tujuh orang muda itu dianggap berani mendobrak kebiasaan umum. Peran mereka di tengah masyarakat bisa menjadi model dan inspirasi.

Salah satu dari tujuh orang muda itu adalah Sofyan Tan (48), pria keturunan Tionghoa asal Desa Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Sumatera Utara. Saat itu usianya 33 tahun.

Gelar dokter sudah disandang, tetapi ia memilih tak praktik dokter. Ia menghidupi sekolah Iskandar Muda yang dibangun dari berutang Rp 60 juta pada tahun 1987. "Ada rasa dendam yang tinggi untuk menghapus kemiskinan dan diskriminasi," kata Sofyan di kantor perguruan Iskandar Muda, Sunggal, Medan, Selasa (24/7).

Rasa itu muncul dari olah batin pengalaman hidup yang ia alami. Bapaknya, generasi kedua migran China yang datang ke Medan, adalah penjahit kelahiran Pangkalan Brandan. Ibunya berasal dari Belawan. Saudaranya sembilan orang. Ia dibesarkan di rumah berlantai tanah dan atap yang bocor di sana-sini. Lingkungan Sunggal sendiri penuh orang mabuk dan penjudi.

Terlahir dari keluarga miskin sudah membuat orang tak punya akses untuk maju. Ditambah terlahir sebagai keturunan China, membuat ia merasakan banyak diskriminasi.

Pelajaran pembauran pertama dia peroleh dari ayahnya. Saat ayahnya meninggal, semua orang dari berbagai etnis datang melayat. Beberapa tahun kemudian ia baru tahu bahwa ayahnya adalah salah satu dari empat orang keturunan Tionghoa pertama di Sunggal yang langsung mendaftar menjadi warga negara Indonesia begitu pemerintah memberi kesempatan. Sofyan melihat niat ayahnya menjadi orang Indonesia sungguh dalam.

Pengalaman tentang diskriminasi ia alami saat ujian negara sarjana kedokteran pada mata kuliah Penyakit Mata. Ia gagal hingga lima kali dalam ujian mata kuliah tersebut. Dosen penguji selalu bertanya, "Kamu China?" Ia lulus setelah dekan ikut hadir dalam ujian. Pengalaman dikejar-kejar dan dituduh PKI juga pernah dialami keluarganya tahun 1965.

Ia menemukan cara untuk keluar dari kepompong diri, lingkaran setan kemiskinan, dan tekanan diskriminasi. Cara itu adalah pendidikan.

Pertama dari Sunggal

Ia menyelesaikan pendidikan dokternya sambil bekerja sebagai guru pelajaran eksakta di sekolahnya dulu, SMA Sutomo. Sofyan menjadi satu-satunya orang yang bergelar sarjana di rumah dan menjadi sarjana pertama dari Desa Sunggal. Bersama dengan sejumlah orang ia mendirikan sekolah pembauran bermodal surat tanah dan sertifikat tanah milik tetangga.

Surat tanah dan sertifikat itu diagunkan kepada bank untuk mendapat pinjaman Rp 60 juta. Sebanyak Rp 7,5 juta ia gunakan untuk membeli tanah, yang surat tanahnya dipinjam, dan memberi komisi kepada tetangga yang meminjamkan sertifikat tanah.

Ia juga harus membagi 10 persen nilai pinjaman kepada petugas bank. "Kalau tidak begitu, pinjamannya tak keluar-keluar. Ini sudah kebiasaan umum," tuturnya.

Untuk mendapat pinjaman bank, ia juga harus pintar bermain peran. Dia khusus menyiapkan satu setel baju safari untuk datang ke bank supaya dikira "mampu". Banyak orang menjadi lebih percaya setelah titel dokter ia sandang.

"Pendidikan adalah salah satu jalur untuk mengubah nasib keluarga. Jangan anggap semua China kaya, banyak juga China yang miskin," ujarnya.

Sekolah dasar obsesinya dibangun tahun 1987. Bangunannya berdinding setengah papan dengan jendela anyaman kawat. Atap sekolah itu terbuat dari seng. Saat tengah asyik membangun sekolah, ia ditempatkan sebagai dokter di Nias.

"Batin saya bergejolak," ucap Sofyan. Dia memilih menghidupi sekolah dengan pertimbangan masih punya tanggung jawab untuk melunasi utang.

Atas usaha membangun sekolah itu, ia menerima Ashoka Fellow Bidang Pendidikan dan Pembauran Sosial dari Ashoka Innovators For Public, Washington DC, Amerika Serikat, pada tahun 1989. Ia digaji Rp 400.000 kemudian naik menjadi Rp 500.000 per bulan, dan mendapat banyak akses untuk menjalin relasi. Sarwono Kusumaatmadja dan BJ Habibie disebut ikut membesarkan namanya.

Sekolah pun berkembang tidak hanya SD, tetapi juga TK, SMP, SMA, dan SMK. Ia juga membuat sistem anak asuh dengan nama Program Anak Asuh Berantai dan Bersifat Silang. Orangtua dari golongan pribumi mengangkat anak asuh dari nonpribumi. Sebaliknya, orangtua anak asuh dari golongan nonpribumi membiayai anak pribumi.

Jika tahun 1987 sekolah masih berdinding papan, pada 2007 bangunan sekolah itu menjadi empat lantai. Tengah dibangun pula satu gedung bertingkat baru.

Di perguruan itu ada prasasti yang ditandatangani cendekiawan Muslim almarhum Nurcholish Madjid bersama pemimpin agama Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu di Sumatera Utara.

Prasasti dibangun di tengah masjid, gereja, klenteng, dan pendapa yang digunakan sebagai tempat ibadah dan aktivitas bersama para siswa. Di samping kanan kiri prasasti ditanam sepasang pohon bisbul, tanaman yang hanya bisa tumbuh bersama pasangannya.

Saat ini alumni sekolahnya lebih dari 5.000 orang dengan jumlah anak asuh 1.614 orang. Para pengajar di sekolah perguruan Iskandar Muda juga alumnus perguruan yang dulu mendapat beasiswa untuk bersekolah.

Ia juga mendirikan Yayasan Ekosistem Lestari yang bergerak pada pelestarian alam dan orangutan. Ia juga bergabung dalam Forum Daerah UKM. "Saya hanya melihat orang miskin itu sering jadi komoditas politik, tak berpendidikan dan tak punya akses perbankan," ungkapnya.

Semua yang dilakukan itu akar niatnya cuma satu, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan lewat pendidikan dan pelajaran pluralisme. Dibantu jaringannya, ia mendirikan rumah sakit di Nanggroe Aceh Darussalam dan membantu puluhan orang yang kehilangan kaki saat bencana tsunami. Untuk yang ini lebih karena obsesi atas profesi dia sebagai dokter.

Satu yang membuatnya gembira, pendidikan multikultural sudah menjadi tren. Pemerintah pun memandang penting hal itu. Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 juga sudah disahkan. Bakal hadir pula UU Antidisharmoni.

"Konsep pembauran bukan melting pot (melebur), namun seperti gado-gado. Semua orang boleh melakukan aktivitas apa saja, tetapi masih tetap Indonesia," ujar Sofyan Tan.

Tahun 2004 ia mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Sumut, tetapi gagal. Tahun depan ia berniat mencalonkan diri menjadi wakil gubernur Sumut dalam pilkada. "Bukan kemenangan tujuan saya, namun agar pluralisme lebih tumbuh subur di Indonesia," ujar Sofyan Tan pula.

Sumber : Kompas, Sabtu, 28 Juli 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks