Oleh : Josephus Primus
Sosoknya terlihat tenang tatkala berbicara. Dengan tutur kata tak meledak-ledak, Santosa Doellah meladeni semua pertanyaan tentang batik, dunia yang digelutinya sejak kecil.
Anak dokter kelahiran 7 Desember 1941 ini, mendirikan Batik Danar Hadi pada 1967, bersama sang istri, Danarsih. Nama "Danar Hadi" adalah gabungan dari nama "Danarsih", perempuan kelahiran 26 September 1946, dengan nama keluarga besar istri yakni "Hadi".
Seturut penuturan kolektor lebih dari 10.000 kain batik dari kuno hingga modern ini, Kamis (21/8), di kediaman keluarga di Jalan Rajiman, Kota Solo, kebanyakan orang Indonesia memang bangkit perhatiannya tatkala Malaysia mengklaim batik sebagai milik negeri jiran ini sekitar setahun lalu. "Lha wong sekarang apa-apa ya dibatik. Itu kucing- kucingan (boneka-red) juga batik," ujarnya terkekeh.
Namun, bagi penulis buku Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan, ini, sejak abad 19 orang Indonesia memang kurang menaruh perhatian pada batik. Yang mempunyai kesadaran memelihara itu kebanyakan orang Belanda. Maklumlah, kala itu, mereka lebih punya pikiran lebih maju.
Buat orang Belanda, lagipula, batik bukan untuk pakaian sehari-hari. Kalau orang Indonesia justru mengenakan kain batik untuk seluruh kegiatan. "Makanya orang Belanda lebih memelihara batik. Saya maklum itu," katanya.
Akan tetapi, soal klaim tadi, ada hal yang mesti diingat, imbuh Santosa. Batik sejatinya adalah proses pewarnaan kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan lilin atau malam atau wax. Corak dari lilin itu kemudian diaplikasikan ke atas kain. Lilin yang digunakan menahan masuknya bahan pewarna (dye). Dulunya, tahap ini dikerjakan manual dengan alat khas canting.
Pada tahap selanjutnya, pewarnaan kain melewati pencelupan ke dalam air yang sudah diberi pewarna alami. Usai pada bagian itu, kain dibersihkan dari malam dan dijemur dengan cara diangin-anginkan, tanpa langsung terkena sinar matahari.
Kemajuan teknologi kemudian memunculkan teknik pengecapan malam dengan alat cetak dari plat besi. Lebih mengemuka, industri tekstil kemudian membuat tekstil bermotif batik. "Kalangan dunia batik menyebutnya sebagai printing atau tekstil bermotif batik," terang Santosa.
Dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, proses baik dengan pengerjaan manual (disebut batik tulis-red) maupun cap tersebut memang begitu berkembang berikut pembuatan motif-motifnya. Namun, seperti juga Santosa yang tidak menampik kalau proses ini ditemukan pula di berbagai negara tak cuma Indonesia, batik kemudian sesungguhnya menjadi milik publik. "Jadi, ya, biarkan saja Malaysia mengklaim. Tapi, akar budaya batik tetap Indonesia," begitu pandangan Santosa yang sempat diminta mantan Jaksa Agung Ismail Saleh, kala itu, untuk mematenkan motif batik ciptaannya.
Berkecimpung di dunia batik dengan landasan kecintaan, Santosa Doellah yang juga pemilik House of Danar Hadi (HDH) ini, malahan melihat "demam" batik sudah terjadi sejak 1975. Di masa itu, batik tak sekadar berfungsi sebagai jarik (kain panjang berukuran sekitar 275 cm X 110 cm-red) penutup tubuh. "Masyarakat kembali menggunakan batik untuk berbagai keperluan," kenangnya.
Terdorong oleh naluri bisnisnya untuk memanfaatkan peluang tadi, lalu, bapak beranak empat (satu orang sudah meninggal dunia-red) ini mulai membangun tim di Danar Hadi yang mengurusi soal motif dan desain. "Membuat motif dan desain itu seperti air mengalir. Bergerak terus dari hulu," katanya.
Perkembangan zaman, kemudian, adalah salah satu alasan mengapa Danar Hadi, aku Santosa, selalu memutakhirkan motif dan desain tersebut. Ide -ide mengenai motif baru bahkan bisa diperoleh dari manapun mulai dari pameran batik hingga peragaan busana di negara-negara Eropa. "Bukan saya meniru. Tapi dari kesempatan-kesempatan itu, saya sering mendapat ide," ungkapnya.
Saat ini, Santosa memang banyak dibantu oleh anak-anaknya. Diana Santosa, anak kedua, menjadi direktur marketing di perusahaan. Sementara, Dewanto Santosa mengurusi hal-hal keuangan. "Dari anak sayalah, saya mendapat informasi mengenai tren motif dan desain," ucapnya.
Soal tren motif dan desain terbaru, jelas Santosa, pihaknya memang menyasar pasar anak muda. Makanya, warna cokelat tua atau sogan (diambil dari pewarna alami soga-red) yang lazim menjadi warna khas batik dikembangkan dan dilengkapi dengan warna lain yang lebih cerah. "Warna lama kami olah lagi begitu," ujarnya.
Desain pun menjadi perhatian Santosa. Beserta timnya, desain pakaian batik dikembangkan sebagai jawaban cepatnya perubahan kebutuhan masyarakat. "Kami yang membuat desain kardigan bermotif batik," paparnya.
Untuk soal berpromosi, Santosa yang berkali-kali mengatakan keberhasilan bisnis batiknya berangkat dari restu Yang Mahakuasa berikut kerja sama tim, menerangkan, Danar Hadi menjadi pelopor yang menampilkan ragam busana batik di kalender. Khususnya, kalender meja. "Kami melakukannya setahun lalu dengan model anak-anak muda memakai batik," terang pengusaha sukses yang salah satu gerainya di Ibu Kota mampu meraih pendapatan sekitar Rp2 miliar per bulan.
Sumber : Kompas, Senin, 25 Agustus 2008
0 comments:
Post a Comment