Mustafa dan Hutan Kecil di Bone Selatan
Oleh : Reny Sri Ayu Taslim
Saat pertama kali membeli sebidang tanah kosong yang tandus di perbukitan Desa Bulu Ulaweng, Kecamatan Patimpeng, Kabupaten Bone, sekitar 170 kilometer timur laut Makassar, banyak yang menilai Haji Mustafa Haba Lahiya sebagai sosok aneh. Bahkan, ketika dia bertanam di atas tanah tersebut, tak sedikit yang menilainya sebagai tak waras dan melakoni hal sia-sia.
Penilaian sebagian warga setempat didasari anggapan bahwa cita-cita ayah dari 12 anak ini untuk menghutankan tanah yang berbatu nyaris mustahil. Terlebih, Mustafa (81) bukan penduduk asli desa tersebut. Dia warga Makassar dan kebetulan punya usaha persewaan truk serta usaha dagang hasil bumi yang berhubungan dengan kawasan Bone Selatan, Sulawesi Selatan.
Namun, semangat dan ketekunan Mustafa mewujudkan cita-cita hutan kecilnya itu bisa terwujud. Tanah kosong yang ditanaminya selama bertahun-tahun dan luasnya terus bertambah hingga lebih 100 hektar kini sudah berubah wujud menjadi hutan. Ada beragam tanaman, seperti jati biasa, jati putih, jati super, jambu mente, mangga, jeruk, dan kakao.
Pohon jati, misalnya, ada yang masih berusia hitungan bulan, hingga hampir mencapai 20 tahun. Begitu juga pohon jambu mente yang sudah beberapa kali berbuah. Beberapa pohon jeruk nipis dan jeruk bali juga berbuah lebat. Begitu banyak buahnya sehingga sebagian di antaranya dibiarkan jatuh begitu saja. Di bagian lain dari hutan kecil ini, ada beberapa tempat berkubang babi hutan, sesekali muncul pula rusa.
"Saya sudah mulai menanam di tanah ini sejak tahun 1988, secara tidak sengaja. Dulu, saya punya usaha sewa truk. Truk saya itu kerap disewa untuk mengangkut tebu di Pabrik Gula Camming di Bone. Kalau lagi menunggu truk diisi, kami dipanggil oleh orang desa ke rumah mereka untuk minum kopi. Dalam perjalanan ke rumah-rumah warga desa ini, saya melihat hamparan tanah kosong yang tidak digarap," kisah Mustafa.
Menurut kakek 21 cucu ini, saat melihat tanah kosong di perbukitan tersebut, tiba-tiba tebersit keinginan untuk menggarapnya. Dalam benak dia waktu itu tergambar bayangan tanah yang penuh pepohonan rimbun. Saat itu Mustafa tak berpikir akan menghutankan tanah tersebut.
Guna mewujudkan bayangannya itu, Mustafa harus memiliki tanah tersebut. Secara bertahap dia lalu membeli sedikit demi sedikit tanah di sekitar perbukitan itu. Sebenarnya tanah-tanah tersebut oleh pemiliknya sudah dipatok, tetapi karena lokasinya di perbukitan dan banyak bebatuan, umumnya pemilik tanah itu enggan menggarap.
"Mungkin karena mereka tak tertarik, saat saya mau membeli, mereka dengan senang hati menjualnya. Harganya juga tidak mahal. Setiap sebidang tanah saya beli, langsung saya tanami," tutur suami Hajah Saenang ini.
Demi memenuhi tanahnya dengan tanaman, tak jarang Mustafa tinggal berhari-hari di sekitar areal tersebut dan menghabiskan waktu untuk menanam hari demi hari. Begitu asyiknya, Mustafa sampai menghabiskan waktu untuk menanam sejak pagi hingga malam. Dia hanya berhenti saat makan dan shalat.
Kerap kali lelaki berkulit gelap ini harus menanam berulang-ulang di lubang yang sama, sebab tanaman yang ditanamnya pada pagi hari sudah diseruduk babi hutan pada malam harinya. Namun, semangat untuk merimbuni permukaan tanahnya dengan beragam tanaman membuat Mustafa tidak bosan menanam.
Maka, tanah yang tadinya tandus itu, setelah diurusnya selama hampir 20 tahun, kini menjadi hamparan hutan dan kebun. Saat dia baru menanam, areal di sekitar lahannya masih berupa hutan. Oleh karena itulah, dia semakin terpacu untuk membuat lahannya lebat oleh tanaman yang berakar kuat dan berdaun rindang.
Gandrung menanam
Terjun dan bergiat dalam urusan tanam-menanam, baru dimulai Mustafa pada tahun 1988. Awalnya, lelaki ini bekerja sebagai pegawai negeri sejak tahun 1940. Dia memilih pensiun dini pada tahun 1970. Berhenti menjadi pegawai negeri, Mustafa memulai usaha sewa truk dan berdagang hasil bumi. Kegiatan usaha itu membuatnya sering bolak-balik Makassar-Bone, sampai suatu hari dia tergugah sewaktu melihat tanah tandus di perbukitan Bone.
Untuk keperluan bibit tanaman, Mustafa tak segan merogok kocek. Dia juga berusaha membibitkan tanaman dan tak segan masuk-keluar hutan untuk mendapatkan bibit tanaman. Hal ini agaknya yang membuat ia dianggap "gila" dan melakukan pekerjaan sia-sia. Kegiatan Mustafa itu sempat membuat anak-anaknya pun keberatan.
Namun, tekadnya untuk menanam pohon seakan tak bisa berhenti. Pada kurun waktu 1988 sampai 1993 dia menghabiskan hampir sebagian besar waktunya dengan berdiam di hutan. Aktivitasnya hanya satu: menanam. Dan, itu dia lakukan sendiri, tidak dibantu siapa pun. Terkadang ia merasa ngeri bila bertemu ular dan babi hutan. Namun, semua itu bisa dilaluinya. "Tak ada maksud apa-apa. Saya hanya kasihan dan sayang karena tanah ini kosong, tidak ditanami apa-apa. Saya akhirnya memang jadi keranjingan menanam. Bagi saya, jauh lebih menyenangkan menanam ketimbang menebang," ungkap Mustafa.
Karena itu, kendati sejumlah pihak bertanya, akankah dia menjual tanaman jatinya, dengan tegas Mustafa berkata "tidak". Bahkan, kepada anak-anaknya pun ia mengatakan hal yang sama.
"Selama saya masih hidup, tidak seorang pun saya izinkan menebang pohon-pohon di hutan ini," ujarnya. Buah kakao, biji jambu mente, dan sedikit hasil dari kebun kacang, bagi dia sudah lebih dari cukup untuk diambil hasilnya.
Sebagai pemilik lahan yang luas dengan beragam tanaman, diakui Mustafa, kerap menimbulkan kecemburuan sebagian warga sekitar. Beberapa kali tanamannya sempat dibakar orang tak dikenal. Tak jarang pula ada orang mencuri dan menebang pohon jatinya.
Namun, Mustafa tetap sabar dan tekun menanam. Lambat laun warga yang tinggal di sekitar areal hutan itu bisa melihat hasil kerja kerasnya. Apa yang ditanam Mustafa, tak semata untuk kepentingan sendiri. Di tengah tanah yang dihutankan Mustafa, kini mengalir sungai-sungai kecil yang bermuara ke sungai lebih besar.
"Kalau dulu, saat kemarau, sungai cepat kering. Tetapi, sekarang, lumayan, sungai ini hampir selalu terisi air. Rusa juga lebih sering terlihat ketimbang sebelum hutan di sini lebat," kata Mansyur dan Rusman, warga desa yang membantu Mustafa menjaga area hutan itu.
Meski tanah yang semula tandus bisa dikatakan sudah rimbun, tetapi Mustafa masih terus menanam. Setiap melihat ada celah tanah yang bisa ditanami pohon, pasti langsung diolahnya.
"Kalaupun saya tak bisa menikmati manfaatnya, setidaknya bermanfaat bagi orang di sekitar hutan. Mungkin bukan sekarang manfaat itu terasa, tetapi suatu hari nanti. Demi Tuhan, saya sedikit pun tidak ingin apa-apa dari hutan ini. Hidup saya sudah lebih dari cukup. Anak-anak saya semua sudah bekerja. Hasil kakao dan biji mente juga masih ada," tuturnya.
Biodata
Nama: Mustafa Haba Lahiya
Lahir: Makassar, 1926
Istri: Hajah Saenang
Anak: 12 orang
Cucu: 21 orang
Alamat: Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 210, RT 8 RW 1, Kelurahan Daya, Kecamatan Biringkanaya, Makassar
Pendidikan:
Masa SD
SMP
SMA dihabiskannya di Makassar.
Pekerjaan:
- Tahun 1947-1970 menjadi pegawai negeri sipil di Makassar
- Tahun 1971-1987 berwiraswasta
- Tahun 1988-sekarang, selain berwiraswasta, ia juga aktif menanam jati, mente, dan beragam tanaman lain di Desa Bulu Ulaweng, Kecamatan Patimpeng, Kabupaten Bone. Kini, dia tengah bersiap mengembangkan tanaman jarak.
Sumber : Kompas, Kamis, 2 Agustus 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment