May 31, 2009

Kartiman : Mbah Lanang dan Sejarah Becak Siantar

Kisah Mbah Lanang dan Sejarah Becak Siantar
Oleh : Khaerudin

Rambut dan kumisnya berwarna putih semua. Jalannya pun harus dibantu dengan tongkat. Namun, jika bicara semangat, dia tak kalah dengan biker mana pun. Namanya Kartiman, tetapi semua biker di Pematang Siantar mengenalnya sebagai Mbah Lanang.

Jika ingin mencari tahu sejarah becak siantar, becak bermesin sepeda motor BSA buatan Inggris tahun 1941-1956, Mbah Lanang adalah orang yang paling tepat untuk menceritakannya.

Memang masih ada pionir becak siantar yang masih hidup, seperti Muhammad Rohim (67) yang usianya lebih tua beberapa bulan dibandingkan dengan Mbah Lanang dan menguasai seluk-beluk mesin sepeda motor BSA yang merupakan kependekan dari The Birmingham Small Arms Company.

Ada juga Tikno dan Mbah Sari. Merekalah orang pertama yang kreatif menjadikan sepeda motor tua peninggalan Perang Dunia II sebagai becak di Pematang Siantar, Sumatera Utara.

Akan tetapi, di tangan Mbah Lanang, catatan sejarah hingga foto-foto dokumentasi berbagai jenis serta modifikasi becak siantar disimpan. Mbah Lanang membuat catatan sederhana tentang perjalanan becak siantar dari waktu ke waktu.

Dia juga mencatat beberapa bagian dari spare part atau suku cadang sepeda motor BSA yang sudah bisa dibikin oleh bengkel-bengkel dari industri rumahan di Pematang Siantar.

Becak siantar bisa sebanyak ini—sekarang tinggal sekitar 850 unit dan pernah mencapai 2.000 unit—dengan mayoritas menggunakan sepeda motor BSA sebagai penariknya, adalah jasa orang-orang seperti Mbah Lanang.

Meski beberapa di antara sepeda motor BSA itu merupakan peninggalan pasukan sekutu, terutama dari Inggris saat mereka di Pematang Siantar, dan juga bekas milik pengusaha perkebunan dari Eropa, jumlahnya paling banyak hanya 200 unit.

Sebagian besar becak siantar ini menggunakan sepeda motor BSA yang didatangkan dari luar kota Pematang Siantar oleh orang seperti Mbah Lanang.

Kini, mengisi sisa hari-hari tuanya, Mbah Lanang didapuk sebagai sesepuh sekaligus penasihat BSA Owner Motocycles Siantar (BOM’S), organisasi yang mewadahi ratusan pengemudi becak siantar dan puluhan penggemar sepeda motor BSA di kota yang terletak 45 kilometer dari Danau Toba ini.

Setiap siang hingga sore menjelang senja, Mbah Lanang biasa berkumpul dengan bikers muda maupun pengemudi becak di Sekretariat BOM’S, Jalan Kartini, Pematang Siantar.

Jual beli

Kakek 12 cucu ini dulunya hanya penjaga tempat penitipan sepeda di Pasar Horas, Pematang Siantar. "Tahun 1962 saya kerja di tempat penitipan sepeda di Pajak Horas. Kerjanya menjaga agar jangan sampai ada sepeda yang masuk ke dalam pajak (pasar). Setiap pulang saya selalu naik becak dan minta ke penariknya agar saya yang bawa becaknya," cerita Mbah Lanang.

Dari kebiasaan membawa sendiri becak yang mengantarnya pulang kerja, Mbah Lanang mulai belajar seluk-beluk sepeda motor BSA. Tak lama setelah menikahi Atom Saragih tahun 1963, Mbah Lanang membeli sendiri becak siantar. Saat itu, harga becak siantar bermesin sepeda motor BSA tipe ZB31 sebesar Rp 220.000.

"Kalau disesuaikan dengan emas, harga sebesar itu sama dengan harga emas 12 mayam," katanya.

Baru satu tahun dibeli, becak tersebut kemudian dijualnya. Namun, Mbah Lanang tetap menarik becak. Hanya saja, kali ini dia menarik becak punya orang lain. "Dalam waktu dua tahun saya sudah bisa beli becak sendiri lagi," ujarnya.

Pengalaman jual-beli becak kemudian membawa Mbah Lanang pada profesi baru sebagai penjual becak siantar. Apalagi saat itu jual beli becak siantar tengah booming. Pekerjaan sebagai pengemudi becak siantar masih sangat menjanjikan.

Berbekal pengalamannya itu, dia berani mencari sepeda motor BSA hingga ke seluruh pelosok Sumut. "Mulainya di Pematang Siantar, setelah enggak ada lagi, saya mulai cari ke kota-kota lain di Sumatera Utara. Setelah di Sumatera Utara enggak ada lagi, saya cari hingga ke provinsi lain, tetapi masih di Sumatera. Baru setelah di Sumatera sudah kehabisan, saya mencari di Pulau Jawa," tutur lelaki kelahiran Pematang Siantar, 1 Februari 1941, ini.

Sejak tahun 1980-an, Mbah Lanang mulai mencari sepeda motor BSA hingga ke pelosok kota-kota di Pulau Jawa dan Bali. "Saya datangi kota di Jawa, mulai dari Ngawi, Kediri, Surabaya, malah sampai ke Bali. Sekali berangkat paling banyak saya dapat tiga unit dan langsung dibawa ke Pematang Siantar," katanya.

ALS dan KM Tampomas

Menurut Mbah Lanang, di kota-kota Pulau Jawa waktu itu dia sering menemukan kondisi sepeda motor BSA teronggok begitu saja tanpa perawatan. "Banyak yang diletakkan di kandang ayam dan tak terurus," ucapnya.

Dengan menggunakan transportasi darat naik bus Antarlintas Sumatera (ALS), sepeda motor BSA itu dipereteli sebelum dibawa ke Pematang Siantar. Selain jalur darat, terkadang Mbah Lanang mengangkutnya melalui jalur laut dengan KM Tampomas, yang telah tenggelam di perairan Masalembo tahun 1981.

Kegiatan jual-beli sepeda motor BSA dilakukan Mbah Lanang hingga tahun 1990-an. Dia pun tetap setia menarik becak saat tak sedang mencari sepeda motor BSA untuk dibeli. Ketika jumlah sepeda motor BSA yang dijadikan becak di Pematang Siantar mencapai puncaknya, sampai ada 2.000 unit, terjadilah titik balik.

Belakangan ini justru banyak orang luar yang meminati sepeda motor BSA yang telah dijadikan becak di Pematang Siantar.

"Kolektor sepeda motor tua membelinya dengan harga Rp 10 juta hingga 17 juta. Saat jumlah BSA mulai berkurang, baru orang sadar kalau dibiarkan terus bisa tidak ada lagi yang tersisa di Pematang Siantar," ujar ayah empat anak ini.

Kini, bersama para pengemudi becak siantar dan bikers yang tergabung dalam BOM’S, Mbah Lanang gigih mengampanyekan kelestarian becak siantar. Dia pun berada paling depan saat Pemerintah Kota Pematang Siantar dan DPRD setempat merancang perda peremajaan becak motor.

Dengan perda tersebut, memungkinkan sepeda motor baru buatan Jepang atau China menjadi penarik becak di Pematang Siantar. Sesuatu yang selama ini eksklusif untuk sepeda motor tua, seperti BSA.

"Biarlah, kalaupun becak siantar ini harus mati, matilah dengan alami. Bukan punah karena perda," ujarnya.

Sisa PD

Waktu itu tahun 1980, Mbah Lanang mencari sepeda motor BSA hingga ke Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Mbah Lanang yang leluhurnya orang Banyumas rupanya mendapat keberuntungan di daerah ini. Orangtua Mbah Lanang, Kartomedjo, berasal dari Sumpiuh, Banyumas, sebelum menjadi buruh perkebunan kelapa sawit di Simalungun, Sumatera Utara.

Di Purwokerto, Mbah Lanang bertemu seorang tentara yang memiliki sepeda motor BSA sisa Perang Dunia (PD) II. "Ada tulisannya di atas lampu depan, bekas Perang Dunia II," ujar Mbah Lanang.

Tentara berpangkat sersan yang bernama Ponimin ini tak mau menjual sepeda motor BSA itu. Berapa pun harga yang ditawarkan Mbah Lanang, Sersan Ponimin tak bersedia menjual.

Kebetulan anak perempuan Sersan Ponimin pengin memiliki sepeda mini. Luluhlah hati sang sersan. Kepada Mbah Lanang, dia berujar, sepeda motor BSA mau dia lepas asal anaknya dibelikan sepeda mini. "Saya keliling Purwokerto untuk mencari sepeda mini yang diinginkan. Setelah ketemu, harganya Rp 16.000. Padahal, kalau mau, BSA Pak Ponimin itu bisa dijual dengan harga Rp 30.000," ceritanya. Begitu sampai di Pematang Siantar, sepeda motor BSA bekas Perang Dunia II itu pun laku dijual seharga Rp 60.000! (BIL)

Sumber : Kompas, Sabtu, 8 September 2007

1 comments:

BELAJAR BAHASA said...

Becak motor Siantar memang tansportasi legendaris Sumatera Utara selain becak motor Medan

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks