Hamdan, Pembuat Bubur Sup di Masjid Raya
Oleh : Andy Riza Hidayat
Siang itu, terik matahari Kota Medan menyengat. Berbaju kaus dan berpeci putih, Hamdan (34) siang itu terlihat sibuk. Pria asal Langkat ini berada di dapur yang khusus dibuat di pelataran masjid. Ia berkali-kali memegang kayu pengaduk adonan bubur. Sesekali dia membetulkan bara api kayu.
Di antara kerumunan banyak orang, dia memimpin proses memasak bubur sup di Masjid Almahsun atau Masjid Raya Medan. Tanggung jawab sebagai koordinator juru masak sudah dia emban selama 12 tahun dari 18 tahun pengabdiannya sebagai penjaga Masjid Raya Medan.
Bulan Ramadhan adalah hari- hari sibuk bagi Hamdan dibandingkan dengan bulan yang lain. Ia tidak saja bertanggung jawab menjadi juru masak, tetapi juga mengurus dan mempersiapkan masjid untuk beribadah.
Setiap hari, ayah dua anak itu mesti menyiapkan masakan bubur sup untuk berbuka puasa bersama secara gratis bagi warga masyarakat di Masjid Raya. Dibantu tiga sampai enam juru masak, ia menyiapkan bubur sup untuk sekitar 800 orang sejak pukul 08.00. Selepas magrib, dia masih mengurus peribadatan sampai shalat tarawih selesai. Hamdan baru bisa pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari masjid pukul 22.00.
Bubur sup buatannya cukup terkenal di seantero Medan. Selain hanya ada pada bulan Ramadhan, bubur itu nyaris tidak ada di tempat lain. Daya tarik bubur sup Hamdan sudah muncul sebelum masakan matang. Bubur itu sudah dikerubuti warga pada pukul 15.30. Siang itu, misalnya, 100-an warga sudah mengantre membawa wadah agar kebagian bubur sup.
"Bagi warga yang tak sempat berbuka bersama di masjid, kami memang menyediakan sebagian bubur sup untuk dibawa pulang ke rumah," ucap Hamdan.
Aroma rempah-rempah bumbu bubur sup tajam tercium. Tak heran kalau menjelang magrib, banyak warga duduk di hamparan tikar di pelataran masjid. Bubur sup buatan Hamdan bagi sebagian warga Medan menjadi pilihan berbuka, meski di seberang Masjid Raya Medan berjejer lapak kedai makanan yang dibuat Pemerintah Kota Medan.
Metamorfosis
Hamdan adalah penerus tradisi berbuka bersama di Masjid Raya dengan bubur sup. Santapan itu awalnya adalah perekat antara warga dan tradisi kesultanan setempat yang dimulai pada tahun 1906.
Awalnya, bubur di Masjid Kesultanan Deli itu berupa bubur pedas khas Melayu. Tradisi bubur pedas itu dimulai seusai pembangunan masjid zaman Sultan Mahmud Al Rasyid.
Saat itu, Kesultanan Deli ingin mendekatkan diri dengan warga Medan. Karena itu, melalui juru masak kesultanan, masakan bubur pedas disajikan gratis bertahun-tahun di Masjid Raya. Makin lama peminat bubur pedas makin banyak.
Sajian bubur pedas itu bertahan sampai sekitar 50 tahunan. Pihak kesultanan kemudian menyerahkan urusan masak-memasak itu kepada nazier (pengurus) masjid. Di sini bubur pedas dinilai terlalu rumit memasaknya. Selain membutuhkan bumbu yang banyak ragamnya, proses memasak pun memakan waktu lama. Padahal, warga yang berbuka bersama di masjid semakin hari kian banyak.
Atas persetujuan kesultanan, pengurus masjid memutuskan mengganti bubur pedas menjadi bubur sup. Bubur sup yang juga khas Melayu Deli ini pembuatannya tak serumit bubur pedas. Kendati racikan bumbunya lebih sederhana, tetapi rasanya tidak kalah dari bubur pedas. Bubur pedas pun mengalami "metamorfosis" menjadi bubur sup.
Mulai era 1950-an, juru masak dipilih dari pengurus masjid. Mereka yang ditunjuk menjadi juru masak bukan sembarang orang. Selain pernah terlibat dalam memasak bubur pedas, mereka yang mengemban tanggung jawab itu mesti ahli memasak.
Hamdan bercerita, pendahulunya juru masak bernama Idris. Suatu hari, saat dia menjadi membantu sang juru masak, Idris menghampiri. Idris mewanti-wanti Hamdan soal bumbu dan cara memasak bubur sup.
"Jangan sampai bumbu-bumbu kurang takaran. Ini harus pas, tak boleh mengecewakan orang yang makan," kata Idris seperti ditirukan Hamdan.
Perubahan sajian tidak mengurangi selera warga. Setiap hari bubur sup selalu habis. Untuk menyiapkan masakan itu, Hamdan membutuhkan 30 kilogram (kg) beras, 15 kg daging, 10 kg wortel, 10 kg kentang, lima kg bawang goreng, dan lima kg tomat.
Bahan itu masih ditambah daun sup, daun bawang pre, merica, cengkeh, garam, dan bahan untuk membuat anyang dari campuran taoge, pakis, serta sangrai parutan kelapa. Untuk semua itu, setiap hari dibutuhkan dana sekitar Rp 1,8 juta, yang diperoleh dari donatur.
Harus magang
Sebelum menerima tanggung jawab sebagai koordinator juru masak, Hamdan harus magang selama enam tahun. Ketika juru masak Idris memasuki usia senja, pengurus masjid menunjuk Hamdan sebagai koordinator mulai tahun 1995.
Penunjukan dia bukan tanpa alasan. Sebelum menjadi juru masak masjid, ia pernah bekerja selama empat tahun di sebuah rumah makan di Stabat. Dia juga pernah bekerja di kedai es di Jalan Sisingamangaraja, Medan. Pada tahun 1992-1999, anak kelima dari 11 bersaudara ini menjadi pemandu wisata di Medan bermodalkan kursus bahasa Inggris selama dua tahun.
Selain menjadi koordinator juru masak bubur sup, Hamdan sekaligus dipercaya menjadi pengurus masjid. Ini pun meneruskan tradisi kesultanan. Sebagai pengurus masjid, ia bertanggung jawab menjaga dan merawat bagian atap atas masjid yang berbentuk panggung.
Selama menyajikan bubur sup saat puasa, dia mendapat upah Rp 4 juta. Nilai itu dibagi bersama dengan dua sampai empat juru masak lain.
Kesungguhan dan ketulusan Hamdan berbuah manis. Akhir tahu8n 2003, seorang pejabat Pemerintah Kota Medan memberi dia tiket beribadah haji. Sesuatu yang tidak terbayangkan bagi penjaga masjid dengan upah Rp 400.000 per bulan ini.
Di Medan, Hamdan tinggal di rumah sewaan. Adapun di kampung asalnya, Stabat, ia punya rumah berukuran 4,5 meter x 14 meter. Dia juga tidak kesulitan menyekolahkan dua anaknya yang duduk di bangku SD dan taman kanak-kanak.
"Kata orang, mana cukup uang Rp 400.000 sebulan untuk membiayai itu semua. Belum lagi biaya hidup dengan dua anak dan satu istri. Saya bilang, tak mungkin saya berpikir mau belanja Rp 2 juta jika pendapatan Rp 1 juta," ujarnya.
Dia juga tengah menyiapkan usaha mandiri. Salah satu rencana Hamdan, membuka rumah makan yang menyediakan bubur sup. Ia menyadari tak selamanya berada di masjid. Suatu hari nanti tanggung jawab yang kini diembannya harus dilepas kepada pengurus masjid yang lain. Semua itu demi melanjutkan tradisi kesultanan.
***
BIODATA
Lahir : Stabat, 23 Maret 1973
Istri : Rina Widiastari (26)
Anak :
1. Bagus Muhajir (7)
2. Raihan Zidan Azhari (5)
Pendidikan:
Sekolah Dasar Negeri Stabat, Langkat
Pengalaman Kerja:
- Bekerja di Rumah Makan di Stabat (empat tahun)
- Bekerja di sebuah kedai es
- Pengurus Masjid Raya Medan, 1989-sekarang
- Koordinator Juru Masak Ramadhan Masjid Raya Medan, 1995-sekarang
Sumber : Kompas, Rabu, 3 Oktober 2007
May 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment