May 31, 2009

Budi S Pranoto, dari Astra ke Seni Rupa

Budi S Pranoto, dari Astra ke Seni Rupa
Oleh : Putu Fajar Arcana

Kami berjanji makan malam di kawasan utara kota Yogyakarta. Musim kemarau membuat malam terasa agak dingin. Tidak salah kalau kami sepakat menyantap hidangan seafood yang selalu disajikan hangat. Sejurus kemudian, Budi S Pranoto (60) dengan lahap menyantap udang goreng mentega, kepiting saus tiram, ikan kerapu bakar, dan plecing kangkung. Sambal rasa pedas pun tak luput ia seruput.

Setelah percakapan berlangsung kira-kira 30 menit, terungkap bahwa pada tahun 1995 Budi menjalani operasi besar ganti aorta dan klep pada jantungnya. "Klep jantung saya dari keramik, jadi kalau malam bunyi dug-dug-dug. Istri saya sering takut, padahal itu kan tandanya saya masih hidup," tutur lelaki kelahiran Semarang, 18 November 1947, ini.

Sampai sekarang di saku baju Budi selalu terselip keterangan dokter tentang aorta dan klep jantungnya. Dua kartu yang berisikan soal oral anticoagulants monitoring dan mechanical heart valve. Dua kartu itu menjadi petunjuk pemantauan terhadap kekentalan darah Budi saban bulan dan kondisi klep jantung yang dari keramik.

"Sekarang saya sudah rileks karena sudah lewat masa ketakutan selama dua tahun pascaoperasi," tutur Budi yang pensiun sebagai Presiden Direktur PT Astra Otopart Tbk, yang membawahi 31 perusahaan dengan 22.000 karyawan.

Ketika memimpin perusahaan inilah Budi sampai pada tingkat "spiritualitas"-nya sebagai manusia. "When is enough! Kita sering kali tak pernah merasa cukup karena selalu worry (cemas) akan sesuatu," ungkap Budi.

Dalam lima tahun masa kepemimpinan Budi, sejak tahun 1999, Astra Otopart berkembang menjadi pemasok suku cadang mesin Toyota ke Australia, Singapura, Malaysia, Indonesia, bahkan Jepang, tempat mesin-mesin Toyota diciptakan.

Ia menganggap inilah prestasi sebagai anak bangsa yang paling membanggakan. Karena prestasi itu, Astra Otopart memperoleh anugerah sebagai The Best Contribution mewakili Asia. Dan Budi pun pergi ke Jepang untuk menerima penghargaan dari Toyota. "Ini kebanggaan karena obsesi saya tercapai," ungkap Budi.

Hal ini menjadi besar artinya karena, menurut Budi, selama ini Indonesia tidak memiliki sejarah mengesankan di bidang teknologi otomotif. Kita hanya menjadi pasar yang empuk para produsen otomotif seperti Jepang, Korea, dan Eropa. "Selama ini yang terjadi hanya relokasi otomotif, tidak transfer teknologi," ujar anak kelima dari tujuh bersaudara ini.

Tradisi

Karakter ulet, fokus, dan tidak kenal menyerah pada Budi terbentuk sejak ia masih kanak-kanak. Ayahnya, Hardjo Pranoto, dan ibunya, Wani Darmawati, keturunan Tionghoa yang sudah menetap antara 7-8 generasi di Lasem, sebuah kota kecil sekitar 10 kilometer arah timur dari Rembang, Jawa Tengah. Hardjo di Lasem dikenal sebagai tukang obat, guru silat, dan pesulap, sedangkan istrinya menjadi pembatik bercorak laseman.

Sekitar tahun 1940 keluarga ini menetap di Semarang. Pergolakan yang terjadi pada masa kolonial tak memungkinkan mereka kembali ke Lasem. Setelah Budi lahir, mereka hidup dari menjual tempe di Pasar Gang Baru, di sekitar Pecinan, Semarang.

"Kami belajar membuat tempe dari seorang pembantu bernama Mbok Tinah. Ia ikut kami sampai saya menikah," tutur Budi. Tradisi kerja keras dan pantang menyerah ini kelak menjadi pedoman utama Budi dalam meniti kariernya di Astra.

Sang ayah bagi Budi adalah orang yang meletakkan dasar- dasar etos kerja keras dan sikap peduli pada orang lain. "Ayah saya dulu mengumpulkan anak- anak muda untuk cuci mobil dan menjadi tukang sol sepatu di Semarang. Mereka semua tidur di rumah," tutur Budi.

Budi sangat gampang tersentuh bila membaca atau melihat orang yang susah. Beberapa waktu lalu ia memberikan beasiswa dan mengirimkan bantuan kepada dua siswa dari keluarga tidak mampu di Yogyakarta. Budi juga telah menyekolahkan banyak anak-anak sekitar rumahnya di Jakarta.

Setamat kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, Budi bekerja pada sebuah perusahaan plastik di Surabaya, kemudian menjadi salesman pada sebuah perusahaan sirup. Tahun 1973 kebetulan perusahaan sirup ini membuka cabang di Jakarta, Budi pun berpindah kota.

Pada tahun yang sama ia memasukkan lamaran ke Astra. Tepat 13 September 1973, Budi bertugas di divisi Honda milik PT Astra Internasional dengan wilayah kerja seluruh daratan Sumatera. "Lagi-lagi kerja saya sebagai sales. Saya ingat, menawarkan sepeda motor Honda S90Z, CB Gelatik, dan Honda Bebek C70 dari rumah ke rumah," papar Budi.

Merangkak dari anak tangga pertama, setelah 17 tahun, pria berambut putih ini akhirnya menembus jenjang karier sebagai direktur yunior di kelompok Astra. Ia bahkan pernah ditugasi melakukan restrukturisasi utang PT Astra Graphia pascakrisis moneter tahun 1998. Waktu itu utang Astra pada sindikasi bank- bank di Jepang berjumlah lebih dari 1 miliar dollar AS dan Rp 1 triliun.

"Buat saya, pekerjaan apa pun kita harus berada pada garis lurus. Satu saja, terus dalami itu cukup. Kalau gagal, orang bilang, ah, itu memang sulit," kata Budi.

Seluruh pengalaman kerjanya di kelompok Astra membawanya pada pemahaman soal state of the art dalam pengelolaan manajemen perusahaan. "Ini semacam feeling yang terlatih saja, seperti kita memilih durian. Kalau tidak pernah dilatih, tak akan tahu mana durian yang matang dan manis," tutur ayah tiga anak ini.

Mengelola seni rupa

Setelah pensiun dari Astra Mei lalu, Budi bermaksud melakukan transfer pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki ke bidang lain. Sejak setahun lalu, ia menjadi salah satu pemilik V-Art Gallery di Yogyakarta.

"Kita memiliki Borobudur sebagai bukti sejarah kebudayaan kita yang maju. Mengapa dalam seni rupa modern kita tidak bisa mengulangi itu lagi?" kata Budi dengan nada retorik. Ia mencoba menerapkan manajemen yang dikuasainya di Astra dalam industri seni rupa di Tanah Air.

Saat ini, bersama sejumlah kurator terkemuka Indonesia, Budi sedang menyusun program lima tahunan untuk para perupa Indonesia. Para perupa yang terpilih oleh kurator akan didampingi dalam segala hal, baik itu soal-soal artistik, edukasi, sampai pada manajemen.

"Kalau ini berhasil, dalam lima tahun perupa kita akan masuk dalam percaturan di tingkat regional. Pertama memang kita harus membenahi soal-soal stigma bahwa pelukis itu malas, galeri itu tukang peras, kurator kurang dihargai, dengan membangun komunikasi yang positif," papar Wakil Presiden Ikatan Ahli Teknik Otomotif ini.

Pekerjaan ini diambil Budi bukan lantaran silau oleh keuntungan yang menggelayut di jagat industri seni rupa Indonesia. "Saya sudah bilang, when is enough, saya sudah merasa cukup segalanya. Sekarang tugas saya menanam dan menyiram, Tuhan yang menumbuhkan," papar Budi.

***
BIODATA

Nama: Budi S Pranoto
Lahir : Semarang, 18 November 1947
Istri: Baby Yanimurti
Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang
Pengalaman Kerja:
- Mei 2007-sekarang: Pimpinan PT Infinite Management Services
- Pimpinan PT Togamas Pranata Widyantara
- 1999-2007: Presiden Direktur PT Astra Otopart Tbk
- Presiden Komisaris beberapa perusahaan cabang dari PT Astra Otopart Tbk
- 1997-1999: Wakil Presiden Direktur PT Astra Graphia Tbk
- 1997-1998: Direktur PT Astra Graphia Tbk
- 1995-2003: Wakil Presiden Direktur PT Mitracorp Pacific Nusantara
- 1993-1999: Presiden Direktur PT Astra Multi Sales
- 1993-1995: Wakil Presiden Direktur PT LG Astra Electronics
- 1993-1995: Presiden Direktur PT Graha Kartika Kencana
- 1990-1997: Direktur PT Federal Motor
- 1984-1990: Manajer Umum Suku Cadang PT Astra Internasional, Divisi Honda
- 1974-1984: Kepala Seksi Parts Sales PT Astra Internasional Divisi Honda
- 1973-1974: Pengawas Wilayah Penjualan PT Astra Internasional Divisi Honda
- 1973: Salesman PT George & Son

Sumber : Kompas, Selasa, 11 September 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks