May 26, 2009

Aziz Bakhtiar dan Empat Sehat Lima Nekat

Aziz Bakhtiar dan Empat Sehat Lima Nekat
Oleh : Rosdiana Dewi

Dalam menjalankan usaha, seseorang tidak dapat terlalu egois, untuk memajukan usaha pengusaha harus jeli melihat peluang serta minat pasar yang ada. Dengan berprinsip seperti itu, Aziz Bakhtiar dapat mengembangkan usaha jual-beli barang antiknya. Saat ini omzet yang dapat diraup Aziz mencapai Rp 100 juta per bulan.

"Kalau mau sukses, prinsipnya cuma satu, yaitu empat sehat, lima nekat. Yang penting jeli membaca pasar dan nekat," kata Aziz membagi rahasia usahanya.

Sebelumnya pria jebolan fakultas ekonomi Universitas Gajah Mada ini berprofesi sebagai desainer komputer. Namun, pada tahun 1999, ia terpaksa menutup usahanya.

Tak betah menganggur, Aziz pun meneruskan usaha milik keluarganya. Mertua Aziz adalah pembuat keris dan mempunyai galeri di daerah Triwindu, Solo. Awalnya galeri itu hanya diisi keris-keris buatan sang mertua, kemudian Aziz merasa jika ingin usaha keluarga tersebut berkembang, maka ia harus memperlebar sayap usahanya.

"Saya berpikir kalau hanya menjual keris, usaha ini akan jalan di tempat. Lalu saya memutar otak apa yang harus dilakukan untuk memajukan usaha keluarga ini. Setelah beberapa lama memcari cara, akhirnya saya memutuskan untuk menambahnya dengan barang-baranga antik," ujar Azis.

Saat ini, galeri yang ia beri nama Amalia Javacraft&Antique menjual aneka barang-barang antik dan kerajinan khas Jawa lainnya, seperti patung-patung, radio kuno, kliping iklan zaman dulu, dan tidak ketinggalan keris buatan sang mertua.

Pada awalnya Aziz memang mengalami kesulitan dalam memperluas usahanya tersebut, kenalannya dalam hal barang antik masih sangat sedikit. Tak putus asa dengan hal itu, Aziz mencoba menghubungi beberapa relasi sang mertua, selain itu ia juga berburu barang-barang antik ke sekeliling pulau Jawa.

Kerja kerasnya tak sia-sia, dalam hitungan dua tahun jaringannya telah bertambah 3 kali lipat. Usaha Aziz terus berkembang, namun seakan terlena dengan kemajuannya tersebut, ia tidak memerhatikan sistem manajemen usahanya itu. Arus keluar-masuk barang tidak ia perhatikan, jual-beli pun tidak ia catat dengan baik. Akhirnya pada tahun 2004 usahanya rugi cukup besar, nominalnya dalam hitungan miliar rupiah.

"Semua modal dan uang tunai yang saya miliki habis, yang tersisa hanya barang-barang yang ada di galeri. Jumlahnya juga tidak terlalu banyak," kenangnya.

Untuk beberapa saat pria berkulit coklat ini merasa sangat terpukul, ia menyesali kelalaiannya. Setelah merenung beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk bangkit dan menjalankan usahanya lagi. Dengan bermodal sisa-sisa barang antik yang ada di galerinya, Aziz menjajakan barang-barang antik itu dari toko ke toko.

Ia mengaku awalnya berat melakukan hal itu, badannya terasa memberontak, selain itu tidak mudah menjual barang antik apalagi jika pembeli belum mempunyai kepercayaan kepadanya. Gaya hidup keluarganya pun ikut berubah, sebelum usahanya bangkrut Aziz kerap kali mengajak keluarga makan di restoran. Namun setelah kejadian itu, ia tidak pernah lagi melakukan hal tersebut.

Selama tiga tahun Aziz bersusah payah membangun relasi dan usahanya. Perjuangannya tersebut tidak sia-sia, sedikit demi sedikit ia mengumpulkan jaringan dan kepercayaan dari para mitranya. Kini ia tak perlu bersusah-susah lagi mencari barang antik, jika ada barang antik mitra-mitra kerjanya akan menghubungi Aziz. Dengan para mitranya, Aziz melakukan sistem beli-putus.

Barang-barang dagangannya telah merambah seluruh Pulau Jawa, sebagian pulau Sumatera, Kalimantan, dan Malasyia. Untuk saat ini Aziz memang sengaja tidak melakukan ekspor, ia mengaku tidak cocok dengan sistem pembayarannya. "Kalau diekspor uang baru akan kembali 1,5 bulan kemudian, itu yang membuat saya berat. Lagi pula sekarang sudah ada penerbangan langsung dari KL (Kuala Lumpur) menuju Solo. Jadi banyak turis yang dapat langsung datang ke galeri saya," terangnya.

Untuk konsumen, Aziz lebih melirik kalangan menengah atas. Ia berpendapat, kalangan menegah atas lebih jelas pangsa pasarnya, selain itu peta persaingan antarpengusaha tidak terlalu berat. "Kalau mau diibaratkan, saya ini seperti petani, yang harus memilih mau berjualan di pasar tradisional atau supermarket. Kalau di pasar tradisional saingan sudah banyak, maka saya harus bermain di supermarket yang saingannya masih sedikit," tuturnya.

Untuk mengetahui apa selera pasar atau barang-barang yang sedang tren sekarang, ia rajin mengikuti pameran yang sering diselenggarakan oleh berbagai pihak. Saat ini tantangan terbesar yang ia rasakan adalah pengembangan produk, karena menurutnya masalah permodalan ataupun pemasaran dapat ia atasi.

"Kalau masalah keuangan pasti bisa dicari-cari jalan keluarnya, pemasaran juga begitu. Yang sering bikin saya bingung, barang-barang saya harus ditambah apa lagi karena tidak mungkin usaha dengan barang-barang yang sama terus," kata dia. Oleh karena itu ia mengharapkan bantuan dari pemerintah agar usahanya dan usaha-usaha UKM lainnya dapat berkembang.

Sumber : Kompas, Rabu, 29 April 2009

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks