Anin, Mengisi Periuk Nasi dengan Sulaman
Oleh : Avanty Nurdiana
Menyulam mungkin bukan kegiatan populer. Pekerjaan nenek-nenek dan jadul banget. Mungkin begitu yang ada di pikiran anak muda sekarang. Tapi, cobalah Anda bertanya kepada Anindita Niswara Arfianti. Justru dari sulamanlah periuk nasinya bisa terisi.
Anin—sapaan akrab Anindita—sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sastra Universitas Airlangga, meski tidak sampai tamat. Di Fakultas Ekonomi, ia hanya bertahan hingga semester lima. Di Fakultas Sastra, ia malah hanya belajar selama tiga semester. Lepas dari bangku kuliah, ia terpacu untuk melanjutkan hobi sulam-menyulam yang dia pelajari dari sang nenek sejak kecil.
Pada 2000, Anin mengambil kelas di sekolah desain pakaian dan fashion Susan Budiarjo. Ia juga mengambil kelas lain di Arva School of Fashion. Tidak sia-sia, tiga tahun kemudian ia lulus dan langsung mengaplikasikan ilmu yang ia peroleh. Ternyata, pelajaran dari kedua sekolah fashion itu mampu membantunya mengembangkan rancangan busana dan kerajinan tangan.
Anin tak puas dengan seni sulam biasa. Ia mendapat ide untuk menggabungkan kreasi sulamannya dengan lukisan. Ia juga menambahkan manik-manik, payet, dan bebatuan dalam desainnya.
Hasilnya sangat unik. Apalagi dia merancang sulaman tersebut di atas kain sutra pilihan. “Saya menggunakan bahan dari kain sutra tenun dari Thailand,” ujar mitra binaan PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) ini.
Meski begitu, bukan berarti usaha Anin berjalan lancar tanpa hambatan. Awalnya, kedua orangtua Anin justru menentang hobinya. “Orangtua lebih suka saya menyelesaikan pendidikan formal,” tutur dia.
Lama-kelamaan, mereka sadar dan mendukungnya, apalagi hobi yang dianggap remeh tadi ternyata mampu memberikan pendapatan bagi Anin.
Ia pun mulai mencari nama bagi produk ciptaannya. Dari ayahandanya, Anin mendapat ide untuk memberi nama produknya: Sulluk. Nama tersebut merupakan singkatan dari sulaman dan lukisan. Bahkan, merek tersebut sudah dikukuhkan dengan hak cipta.
Mulai pertengahan 2006, Anin resmi membisniskan Sulluk. Modal awalnya saat itu sebesar Rp 100 juta. Uang itu ia gunakan untuk biaya operasional, termasuk membeli bahan baku dan membayar upah tenaga kerja.
Menurut Anin, tidak ada biaya investasi mesin untuk menjalankan usaha tersebut. Semua pekerjaan dibuat dengan tangan alias handmade. “Lumayan, bisa merekrut tenaga kerja dan melestarikan budaya,” tutur gadis berusia 27 tahun ini.
Seiring berjalannya waktu, Anin bukan hanya memproduksi kain Sulluk. Ia juga memproduksi baju Sulluk yang berhias payet dan batu-batuan. Selain itu, ada kain batik lengkap dengan baju dan sekat yang terbuat dari kain Sulluk. “Yang paling laku adalah Sulluk yang bahannya dari sutra,” kata dia.
Menurut Anin, keunikan produk Sulluk terletak pada proses pembuatan, desain, dan kompilasi bahannya. Anin mengerjakan sendiri desain atas setiap produknya.
Untuk proses penyulaman, ia mempekerjakan 8 karyawan. Untuk tugas-tugas lain, ada seorang asisten yang membantunya.
Produk Sulluk memang terbilang rumit. Alhasil, Anin harus bekerja keras mendidik pekerjanya untuk membuat sulaman yang halus, meskipun teknik dasar menyulam sebenarnya tidak terlalu sulit. “Ini sama dengan pembatik tulis,” kata dia. Harus telaten agar hasil akhirnya terlihat halus. Rata-rata proses pembuatan selembar kain Sulluk mencapai 3-4 minggu. Bahkan, jika detail desainnya sangat rumit, proses pembuatannya bisa memakan waktu dua bulan.
Makanya, Anda tak usah heran jika harga Sulluk relatif mahal. Harga kain Sulluk mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 4,5 juta (2,75 x 2 m). Produk yang paling laku adalah bahan setelan seharga Rp 2,5 juta sampai Rp 4,5 juta. Peminatnya pun kebanyakan berasal dari kalangan atas, termasuk ibu-ibu pejabat dan istri pejabat.
Kini omzet yang berputar dari bisnis Sulluk Anin antara Rp 40 juta dan Rp 50 juta per bulan. Adapun labanya 25-35 persen dari omzet. Namun, Anin mengaku belum balik modal. Menurut hitungannya, usahanya bakal bisa balik modal pada tahun kelima, yaitu tahun 2011-2012.
Berdasarkan pengalamannya, gadis kelahiran Surabaya ini sangat kecewa terhadap respons pasar di Surabaya. Menurutnya, kota kampung halamannya itu kurang bisa mengapresiasi karya seni dan desain yang ia tuangkan di kain Sulluk. Ia mengaku, permintaan Sulluk hanya melonjak setiap kali mengikuti pameran. Namun, di luar acara pameran, penjualan produknya tidak terlalu bagus.
Untunglah, sejak 2006 dia menjadi mitra binaan PTPN XI dan berhasil mendapatkan pinjaman modal kerja sebesar Rp 150 juta. PTPN XI juga membantunya mengikuti berbagai promosi dan pameran yang membuat usaha uniknya semakin dikenal oleh masyarakat secara lebih luas.
Selain mendapatkan keuntungan dari produknya, Anin juga ingin mempromosikan produk dalam negeri ke pasar luar negeri. Sayang, sampai sekarang dia masih belum menemukan pembeli. Kalaupun ada orang asing yang membeli produknya, mereka hanya membeli untuk koleksi pribadi.
Sumber : Kontan, Sabtu, 9 Mei 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment