Oleh : Tjahja Gunawan Diredj
Tidak mudah bagi Alfia Rahmaniar (45) atau biasa dipanggil Niar untuk berhenti sebagai wartawan dari kantor berita Nikei di Jakarta tahun 2002. Apalagi, bekerja sebagai wartawan sudah ditekuninya sejak tahun 1989 selepas lulus dari Institut Pertanian Bogor.
Akan tetapi, keputusan itu terpaksa diambil dengan berat hati karena harus berkonsentrasi mengurus Bayu, anak satu-satunya yang menderita autis. Namun, ketika anaknya sudah mulai besar dan masuk SMP, Niar merasakan aktivitasnya di rumah tidak terlalu produktif.
Kemudian, dia memutuskan untuk masuk dunia broker properti pada April 2005. Awalnya Niar memang sempat gamang ketika harus memutuskan untuk memasuki dunia baru itu setelah sekian lama bekerja sebagai wartawan. Bekerja sebagai wartawan lebih banyak dilandasi oleh unsur idealisme, sementara menjadi broker properti lebih banyak didasarkan pada pertimbangan pragmatis ekonomi.
Namun, karena didorong oleh kemauan keras, akhirnya dunia baru itu ditekuni dan dijalani juga sampai sekarang. ”Meski pergi ke kantor, sebagai broker saya tidak mendapat gaji seperti ketika menjadi wartawan. Oleh karena itu, setiap bulan saya harus bisa membuat strategi dan mendaftar (listing) rumah-rumah yang akan dijual. Nah, dari hasil transaksi rumah itulah saya mendapat fee yang besarnya antara 2 persen dan 3 persen dari nilai rumah yang dijual,” ujar Niar.
Meskipun wartawan tergolong sebagai ”manusia bebas”, statusnya tetap sebagai karyawan dari sebuah perusahaan. Apalagi, ujar Niar, sekarang industri media massa juga sudah menjadi bagian dari industri kapitalis. Sementara menjadi broker properti lebih banyak menonjolkan unsur kemandirian dalam berusaha.
Karakteristik pekerjaan dua profesi ini sungguh sangat berbeda. Profesi wartawan lebih banyak berkutat dengan kerja intelektual sehingga setiap saat dituntut untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan. Sementara menjadi broker properti dituntut untuk bisa menguasai ilmu pemasaran dan seni dalam bernegosiasi. Namun, sebenarnya keduanya masih memiliki persamaan, yaitu senantiasa bertemu dengan banyak orang dengan karakteristik yang berbeda.
Kini sebagai broker properti, Niar lebih bebas dalam menentukan waktu dan bisa mengurus keluarga dengan lebih leluasa. Ini didukung oleh dekatnya tempat tinggal dengan lokasi kantor tempat dia sekarang bekerja, yaitu Ray White Bintaro Jaya III di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Sebelumnya, ketika menjadi wartawan, Niar harus sudah berangkat dari rumah ke kantor sekitar pukul 06.00. Sebelum sampai ke kantor di kawasan Jakarta Pusat, dia harus menembus kemacetan Kota Jakarta. Sekarang dia merasa bebas menjalani kehidupan sehari-harinya.
Butuh kemauan
Menjadi seorang broker properti lebih banyak bersentuhan dengan dunia marketing. Ini bagi Niar merupakan sesuatu yang baru, tetapi tidak terlalu sulit untuk dipelajari dan dipraktikkan. Untuk bisa menjadi broker properti dibutuhkan kemauan untuk bekerja keras karena pendapatan seorang broker ditentukan oleh banyaknya rumah yang dijual.
Selain itu, Niar juga pada awalnya mengeluarkan uang Rp 1 juta untuk biaya training di agen properti Ray White.
Setelah ikut training, broker properti pemula juga perlu banyak mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan dunia pemasaran. Di samping itu, juga perlu banyak diskusi dengan broker senior untuk menimba pengalaman dalam menjual rumah. Sehari-hari Niar lebih banyak menjual rumah di kawasan Bintaro dengan harga antara Rp 400 juta dan Rp 1 miliar. Namun, adakalanya dia juga menjual rumah di kawasan Menteng, Jakarta.
Dalam sebulan, setidaknya dia bisa menjual satu rumah. ”Tapi, kadang bisa juga menjual tiga hingga empat rumah dalam sebulan. Di daerah Bintaro harga rumah termurah sekitar Rp 400 juta per unit. Memang banyak yang mencari rumah dengan harga Rp 300 juta, tetapi stoknya sekarang sudah sedikit,” kata Niar yang pernah mendapatkan penghargaan dari prinsipal Ray White sebagai salah satu broker yang menerima fee di atas Rp 200 juta per tahun.
Di kawasan Bintaro, rumah-rumah baru yang dibangun pengembang di pasar primer (primary market) umumnya dijual dengan harga di atas Rp 1 miliar. Mereka yang membeli rumah di atas harga Rp 1 miliar sebagian besar maunya di kluster. Kalangan broker properti biasanya menjual rumah di pasar sekunder.
Harga sebuah produk properti, katakanlah rumah, lebih banyak ditentukan unsur lokasi di samping desain serta luas tanah serta luas bangunannya. Umumnya rumah yang dijual di pasar sekunder rata-rata di atas harga nilai jual obyek pajak (NJOP).
Keluar dari zona nyaman
Perjanjian seorang broker dengan penjual bisa bersifat open dan eksklusif. Yang pertama, penjual menjual produk propertinya melalui agen properti mana saja atau penjual juga bisa menjual sendiri. Adapun perjanjian yang bersifat eksklusif hanya dilakukan pada satu agen properti yang ditunjuk dengan jangka waktu tiga bulan.
Kalau rumah belum laku, perjanjian eksklusif bisa diperpanjang lagi. Sebelum rumah terjual, tidak ada fee apa pun yang dikeluarkan si penjual. Kecuali, kalau menghendaki adanya iklan di media massa, ada tambahan biaya untuk itu. Karakteristik penjual dan pembeli rumah, kata Niar, sangat beragam.
Karakteristik penjual dan pembeli rumah berbeda. Namun, umumnya mereka yang membeli rumah berpedoman pada uang yang dimilikinya. Akan tetapi, ada juga pembeli yang memang ingin membeli rumah sesuai dengan seleranya sehingga dia bisa membeli dengan harga berapa pun juga.
Karakter penjual juga begitu, umumnya ingin menjual dengan harga tinggi meskipun ada juga penjual yang kepepet karena didesak kebutuhan uang sehingga berapa pun dijual. Bagi Niar, setiap orang pasti membutuhkan rumah karena itu dunia properti, khususnya profesi broker yang dijalaninya sekarang akan tetap menarik.
Itulah antara lain tantangan lain yang mendorong Niar terjun menjadi calo properti ini, sementara di Nikei sudah tidak ada lagi tantangan. ”Selain itu, saya juga memang suka akan rumah dan orang juga butuh rumah. Makanya, saya juga tidak tertarik dengan dunia asuransi. Kalau kita sudah suka dengan sesuatu, pekerjaan apa pun akan lebih asyik untuk dijalani dan bisa lebih fokus,” kata Niar.
Meski dunia broker properti menarik, Niar menargetkan menjalani pekerjaan ini antara tiga dan lima tahun lagi disesuaikan dengan umurnya. Setelah itu, dia bersama suaminya, Adi, harus mempersiapkan bisnis baru yang bisa dilakukan bersama.
Untuk itu, dia dan suaminya sejak sekarang sudah membuka dua toko yang buka selama 24 jam di Jalan Kesehatan dan Jalan Veteran Bintaro. Usaha mandiri dengan nama Daily Shop ini sudah berjalan sejak setahun terakhir. Toko ini dikelola sendiri dengan merekrut tenaga manajer dan karyawan khusus yang bisa dipercaya.
Selain menjual minuman dan makanan ringan, Daily Shop juga menyediakan penyewaan internet. Usaha toko ini di bawah tanggung jawab suaminya, sedangkan Niar sendiri lebih fokus menjalani profesi sebagai broker dan mengurus anak di rumah. Semua usaha yang digagas keluarga kecil ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan rencana kehidupan mereka setelah nanti berusia di atas 50 tahun.
Semua usaha itu juga dilakukan untuk menghadapi kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, sang suami yang kini bekerja di perusahaan swasta secara tiba-tiba harus menjalani pensiun dini.
Keputusan Alfia Rahmaniar untuk berhenti sebagai wartawan (karyawan) di saat sudah berada di posisi yang mapan, kemudian merintis pekerjaan baru dari bawah sebagai broker properti, merupakan sebuah keberanian tersendiri. Bekerja di tempat yang sudah mapan, apalagi menempati posisi strategis, adakalanya membuat orang terlena dan tidak mau keluar dari zona nyaman itu.
Sebaliknya, kalau orang menghadapi tantangan baru, apalagi kalau dirintis dengan usaha sendiri, bisa memacu diri untuk berkreasi dan berprestasi lebih baik lagi. Hal itu setidaknya sudah dilakukan Alfia Rahmaniar. Bagaimana dengan Anda?
Sumber : Kompas, Kamis, 18 September 2008
0 comments:
Post a Comment