Jun 1, 2009

Haswa Kenalkan Aksara dari Pintu ke Pintu

Haswa Kenalkan Aksara dari Pintu ke Pintu
Oleh : Yamin Indas

Salah satu indikasi lemahnya sumber daya manusia Indonesia adalah buta aksara yang masih disandang sebagian warga masyarakat kita. Sebuah huruf sebesar gedung stadion olahraga di Senayan, Jakarta, pun tidak bisa dibaca akibat penyakit buta yang satu itu.

Kondisi ini menjadi keprihatinan Haswa sehingga dengan sukarela dia memperkenalkan aksara Latin dari pintu ke pintu. Itu dilakukannya sejak pria ini bertugas di SMP Negeri 6 Raha, ibu kota Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, tahun 1997.

Ia menyangsikan keakuratan data statistik yang menyebutkan penduduk buta huruf di Sultra tinggal 73.787 orang pada tahun 2006 dan di Kabupaten Muna tersisa 13.457 orang. ”Di lapangan, saya melihat penduduk buta baca tulis masih sangat banyak, termasuk di Kota Raha sendiri,” kata Haswa.

Sebagai warga baru di Kelurahan Wapunto, Kota Raha, Haswa membangun hubungan sosial mulai dari masjid. Dari pergaulan sesama jamaah masjid dia mengetahui bahwa sebagian teman barunya tidak pandai baca-tulis alias buta aksara. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh pelabuhan.

Ketika ditawari untuk belajar baca-tulis, para buruh tersebut menyatakan mau. ”Tanpa pikir panjang saya langsung mengunjungi mereka dari rumah ke rumah untuk mulai memperkenalkan huruf alfabet,” tutur anak keempat dari delapan bersaudara buah perkawinan dari Lasimpa dan Wahaya ini.

Karena mulai banyak peminat dan rata-rata dari pekerja di pelabuhan, teknik pembelajaran dilakukan secara klasikal, sistem kelas. Untuk itu, dia menggunakan balai desa atau rumah-rumah peserta yang agak luas sebagai ruang belajar. Biaya untuk pengadaan papan tulis white board, spidol, buku tulis, pensil, dan sebagainya berasal dari kocek Haswa sendiri.

Pengaruh ponsel

Waktu Haswa makin tersita ketika sebagian penyandang buta aksara di kelurahan itu enggan bergabung dengan warga yang belajar di balai desa maupun berkelompok dengan sesama peserta baru. Mereka ini kebanyakan para ibu rumah tangga.

Lagi-lagi Haswa harus melayani dari rumah ke rumah. Pelayanan seperti ini agak memberatkan dari segi finansial karena harus menyediakan alat tulis-menulis dan bahan bacaan lebih banyak untuk disebar ke rumah-rumah warga binaan. ”Ini risiko dari sebuah pekerjaan sosial,” katanya.

Untuk mencapai bobot yang diharapkan, Haswa menyusun sendiri kurikulumnya. Bahan ajar meliputi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Pekerjaan itu tidak asing baginya karena profesi Haswa memang seorang guru berijazah S-1 dari Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Haluoleo (Unhalu), Kendari.

Ketika masih studi di perguruan tinggi negeri itu, Haswa juga aktif dalam kegiatan pembebasan buta aksara. Bukan aksara Latin, melainkan buta aksara Al Quran. Santrinya mencapai ratusan anak dari berbagai kalangan, mulai dari anak tukang becak sampai anak pejabat.

Selanjutnya, selama 1997-2004 dia telah ”memelekkan” lebih kurang 300 orang buta aksara di Kelurahan Wapunto. Mereka diberi semacam sertifikat berupa Surat Keterangan Melek Aksara. Bila ingin memperoleh ijazah setara sekolah dasar, mereka bisa mengikuti ujian Paket A versi Departemen Pendidikan Nasional. ”Tetapi, mereka menyatakan sudah cukup mahir membaca dan menulis,” ujarnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan S-2 jurusan Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Makassar tahun 2006, Haswa kembali melanjutkan kegiatannya memberantas buta aksara di Wapunto. Saat ini ia tengah menangani 150 peserta baru, sekitar 80 persen di antaranya adalah ibu-ibu rumah tangga.

Pengaruh alat telekomunikasi telepon genggam atau telepon seluler (ponsel) ikut memotivasi ibu-ibu itu untuk segera bebas dari buta aksara. Seperti diungkapkan Haswa, ibu-ibu itu mengaku ingin pandai baca-tulis agar bisa menggunakan telepon genggam.

Kegiatan Haswa sebagai relawan pemberantasan buta huruf menarik perhatian Ketua Penggerak Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Muna Waode Siti Nurlaila. Istri Bupati Muna Ridwan itu kemudian menyerahkan dua kelompok PKK penyandang buta aksara untuk dimelekkan. Setiap kelompok berjumlah 20 orang. ”Tugas itu sudah saya selesaikan,” ujarnya.

Lahir pada 1 Juni 1972 di Desa Bubu, Kecamatan Bonegunu (kini Kabupaten Buton Utara), Haswa kini merasa tugasnya mulai agak ringan sebagai relawan. Sebagai Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Cabang Kecamatan Lohia, ia membagi tugas itu dengan temannya yang memiliki komitmen sama. ”Sejumlah anggota PGRI saya telah termotivasi untuk menjadi relawan,” katanya.

Dia juga bukan lagi guru biasa untuk bidang studi IPS di sekolahnya sebab sejak 19 September 2007, Haswa diangkat sebagai Kepala SMP Negeri 6 Raha.

Dibekali keterampilan

Sasaran pelayanan Haswa kini tidak lagi hanya sebatas Kelurahan Wapunto, tetapi seluruh wilayah Kecamatan Lohia. Tantangannya pun mulai bermunculan. ”Kita ini sudah tua, buat apalagi belajar,” katanya mengutip pernyataan sebagian warga.

Tantangan itu dijawabnya dengan memberikan bekal keterampilan sebagai pelajaran tambahan. Pelatihan mengolah jambu mete gelondongan menjadi kacang mete, membuat pot bunga, serta budidaya tanaman hias merupakan beberapa contoh keterampilan yang diajarkan Haswa.

Anak-anak muda putus sekolah pun digalangnya. Mereka dihimpun dalam wadah Karang Taruna Soliwunto. Sebanyak 83 anggota karang taruna itu dilatih membuat pot dan membudidayakan tanaman hias di lahan pekarangan rumah mertua Haswa yang tak seberapa luas di Jalan Sutan Syahrir Nomor 15, Kelurahan Wapunto, Raha.

Bersama istrinya, Waode Mulyana, serta kedua anaknya, Haswa masih menumpang di rumah mertua. Waode Mulyana yang berijazah S-1 juga guru IPS di SMP Negeri 1 Raha. ”Baru mulai bikin fondasi,” ujar Haswa mengenai rencana membangun rumahnya sendiri.

Sumber : Kompas, Sabtu, 24 November 2007

No comments:

Post a Comment