tag:blogger.com,1999:blog-68735375948815338442024-02-20T23:21:48.669+07:00bukan tokoh indonesiaUnknownnoreply@blogger.comBlogger942125tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-13785216584206224872009-06-29T23:16:00.006+07:002009-07-02T22:43:18.843+07:00Minto, Merancang Energi Surya dari Buku SDMinto, Merancang Energi Surya dari Buku SD<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Runik Sri Astuti</span><br /><br />MESKI dikenal sebagai penemu dan perancang tenaga surya, Minto (52) "hanyalah" guru kelas VI Sekolah Dasar Prambon 1 Madiun, Jawa Timur. Tahun 1990 ia melahirkan karya inovasi pertamanya tentang energi alternatif terbarukan yang kekal sepanjang masa berupa kompor bertenaga surya.<br /><br />KOMPOR berbiaya Rp 75.000 dan terbuat dari cermin datar yang biasa dipasang di lemari itu kemudian bisa difungsikan sebagai parabola setelah ditambahkan receiver. Cermin itu ia sambung hingga berbentuk lingkaran dengan diameter dua meter. Bentuknya yang mirip cermin cekung jika diarahkan ke matahari dapat membentuk fokus yang menghasilkan energi panas sampai 600 derajat Celsius.<br /><br />"Panci aluminium tanpa air ditaruh di fokus akan meleleh. Kompor dengan diameter 190 sentimeter ini bisa mendidihkan satu liter air hanya dalam lima sampai enam menit," ujar pria kelahiran Desa Mruwak, Kecamatan Dagangan, Madiun, ini.<br /><br />Minto menelurkan ide-idenya berdasarkan buku Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) SD. Hasilnya antara lain kompor surya yang menghasilkan uap panas bertekanan rendah untuk memasak di dalam rumah. Cita-citanya yang sederhana, yakni menjadi menjadi orang berguna bagi masyarakat, mendorong penerima penghargaan Direktur Energi Terbarukan tahun 1992 ini terus berkarya.<br /><br />Tahun 1992 lahir ciptaannya, pemanas air tenaga surya. Selanjutnya, penerima penghargaan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2002 ini membuat pengering serbaguna bertenaga surya. Tahun 2003 ia membuat penyulingan air bertenaga surya yang menghasilkan air suling dengan kadar oksigen tinggi, yang dipercaya bagus untuk kesehatan.<br /><br />Atas penemuannya itu, putra ketiga dari empat bersaudara anak pasangan Kartokayat dan Tukimah ini diusulkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Riset dan Teknologi untuk mendapat penghargaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ini atas jasa Minto memanfaatkan energi surya di bidang kesehatan.<br /><br />Sekarang ia mendapat pesanan membuat percontohan rumah tenaga surya dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi dan Ketenagalistrikan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Riset dan Teknologi.<br /><br />Proyek yang didanai Rp 90 juta oleh pemerintah itu kini sudah rampung hampir 40 persen. Selain difungsikan sebagai hunian, rumah yang tersusun dari bahan pengantar panas itu memiliki banyak keuntungan. "Bisa untuk memasak, sebagai pengering, juga sebagai tempat penyulingan air yang semuanya bertenaga surya," papar suami Sutjiati ini.<br /><br />Meski bertenaga surya, pengering dan penyuling air buatannya bisa beroperasi sepanjang musim, termasuk saat musim penghujan. Hebatnya, dalam keadaan mendung seharian pun kemampuannya bisa 50 atau 30 persen.<br /><br />Minto berkemeja batik dipadu celana hitam ketika mempresentasikan salah satu karyanya dalam acara seminar "Penghematan Energi dan Pemanfaatan Energi Alternatif yang Terbarukan di Era Energi Mahal" yang diadakan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Rabu (23/2/2005).<br /><br />Tanpa merasa canggung, lulusan Sekolah Pendidikan Guru ini berbicara tentang teknologi terbarukan di depan mahasiswa, dosen, peneliti, bahkan Manager Bidang Perencanaan PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur.<br /><br />Hampir setiap minggu ia diminta menjadi pembicara terkait dengan bidang teknologi. Namanya terkenal sampai ke kancah nasional, bahkan internasional. Rumahnya pun tidak pernah sepi pengunjung. Setiap hari ada saja mahasiswa berbagai perguruan tinggi yang datang menimba ilmu.<br /><br />Sukses yang diraih bapak dua putra ini tentu tidak jatuh dari langit. Perjuangan panjang dan berliku telah dilalui pria yang menjadi guru sejak tahun 1975.<br /><br />Ayah Bambang Sujatmiko dan Ervin Puspita Sari ini mengaku ide pembuatan teknologi tenaga surya muncul saat sedang mencari kayu bakar di hutan. Sebagai pemuda desa yang setiap hari harus mencari kayu bakar, pegawai negeri yang mendapat kenaikan pangkat istimewa dari III/c menjadi III/d ini suatu hari bingung karena kayu di hutan semakin habis. Di sisi lain, bahan bakar yang dibutuhkan terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk.<br /><br />Beristirahat di pinggir sawah, Minto memandang ke arah sinar matahari yang memancar ke bumi. Pria yang menamatkan SMP tahun 1969 di Uteran, Madiun, ini terilhami untuk membuat berbagai formulasi supaya sinar matahari yang memancarkan panas itu bisa dimanfaatkan manusia. Ketika itu, yang ada dalam pikirannya sederhana, bagaimana bisa memasak dengan matahari yang juga menghasilkan panas sehingga ia tidak perlu mencari kayu bakar lagi.<br /><br />"Saya ingat buku IPA kelas V dan VI SD. Lalu saya pelajari konsep perpindahan panas mulai radiasi, konveksi, dan konduksi," katanya.<br /><br />Konsep yang dipakai adalah prinsip kerja lensa cembung dan pantulan cermin, di mana lensa cembung saat diarahkan ke matahari bisa membakar kertas. Agar menghasilkan panas tinggi, diperlukan sebuah alat. Lima tahun kemudian ia membuat rancangannya.<br /><br />Karya-karya Minto telah dinikmati masyarakat. Kompornya, yang sudah dimodifikasi, bisa dibeli Rp 1,75 juta dengan daya tahan sampai 30 tahun. Ia tidak pernah mengambil keuntungan. Biaya yang dikenai setara dengan ongkos yang dikeluarkan untuk membeli bahan dan alat yang diperlukan. Bahkan untuk urusan paten, dia menyerahkan kepada pemerintah.<br /><br />Kini ada 100 unit kompor yang sudah dibuat. Sebanyak 33 unit pengering terdistribusi di Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Lombok. Rata-rata mesin pengering Minto dibeli oleh bakul jamu untuk mengeringkan rempah-rempah. Ia juga sedang mengerjakan penyulingan air tenaga surya pesanan beberapa pengusaha.<br /><br />Minto mengaku tidak pernah kekurangan meski gajinya sebagai guru SD tidak besar. Namun, ia mampu menyekolahkan anaknya sampai mencapai gelar sarjana. Bagi pria yang ingin menjadi ilmuwan ini, yang terpenting adalah memberikan yang terbaik bagi masyarakat.<br /><br />Kini Minto ingin membuat teknologi pembangkit listrik dengan tenaga terbarukan untuk mengatasi kelangkaan sumber energi. (RUNIK SRI ASTUTI)<br /><br />Sumber : Kompas, Kamis, 31 Maret 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-38378381909892250622009-06-29T23:14:00.004+07:002009-07-02T22:44:16.939+07:00Komalasari, Belut untuk Pemberdayaan PetaniKomalasari, Belut untuk Pemberdayaan Petani<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Evy Rachmawati</span><br /><br />Para petani puas dengan menangkap belut untuk dikonsumsi sendiri, tetapi Komalasari (49) mengolahnya sehingga bernilai ekonomis tinggi. Kini ia dikenal sebagai perintis usaha pengolahan belut yang sukses di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Produknya dikenal luas di sejumlah daerah di provinsi itu.<br /><br />Setiap hari Komalasari beserta para anggota kelompok usaha pengolahan ikan Flamboyan yang dipimpinnya membutuhkan 100 kilogram belut segar untuk menghasilkan 10 kilogram produk jadi. Omzet penjualannya mencapai Rp 41,6 juta per bulan. Harga dendeng belut goreng berkisar Rp 90.000 per kg, sedangkan harga dendeng mujair goreng Rp 50.000 per kg.<br /><br />Mereka terus menambah variasi produk. Kini terdapat 12 jenis produk pengolahan belut yang diproduksi, di antaranya belut dendeng, belut tepung, belut balado, belut pepes, belut kerupuk, belut santan kari, dan abon. Belut juga diolah dalam bentuk jamu atau kapsul.<br /><br />Proses pembuatan produk pengolahan belut itu relatif sederhana. Untuk membuat dendeng belut, misalnya, daging ikan itu dibedah dan dibersihkan kotorannya. Setelah dikeringkan, daging belut itu lalu dibumbui dengan lengkuas, gula, bawang putih, dan beberapa bahan masak lainnya. Daging belut yang telah dibumbui itu kemudian dijemur sampai kering. “Belut yang akan diolah harus segar, sehingga bisa awet sampai beberapa bulan," tutur istri dari Zaenal Abidin itu.<br /><br />Melalui usaha pengolahan belut itu, Komalasari mampu menggali potensi persawahan dan memberi lapangan kerja bagi para petani kecil dengan cara menampung hasil penangkapan belut yang dilakukan secara tradisional. Oleh karena itu, ia dipercaya menjadi ketua kelompok usaha “Flamboyan" yang beranggotakan 190 orang dan terdiri dari enam kelompok tani.<br /><br />“Saya ingin meningkatkan pendapatan para petani agar bisa menyekolahkan anak-anak mereka," tutur ibu dari tiga anak ini.<br /><br />Sukses itu membuatnya mendapat sejumlah penghargaan di tingkat nasional dan Jawa Barat. Pada tahun 1997, ia mendapat penghargaan Lencana Keluarga Berencana, karena mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga di daerahnya melalui pengembangan usaha pengolahan belut.<br /><br />Ia diminta mengajar di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Sukabumi, dan memberikan ceramah mengenai usaha pengolahan ikan tawar di berbagai seminar kendati tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang teknologi pangan. Banyak mahasiswa dan pelaku usaha menimba ilmu di tempat usaha “Flamboyan" dengan cara magang.<br /><br />“Belut itu sangat bermanfaat bagi kesehatan," kata perempuan kelahiran Cianjur, 21 Mei 1955, ini. Selain mampu menguatkan daya tahan tubuh, ikan berbentuk menyerupai ular itu juga menormalkan tekanan darah, menghaluskan kulit, mencegah penyakit mata, menguatkan daya ingat, dan mencegah hepatitis. Kepala belut jantan membantu meningkatkan hormon vitalitas pria dan menghilangkan pegal-pegal pada pinggang.<br /><br />Komalasari mengenal belut sejak usia dini dengan membantu orangtuanya membuat dendeng belut. Lulus dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri (SMEAN), ia bekerja sebagai tenaga pembukuan. Ia berpindah tempat kerja beberapa kali. “Waktu itu kan masih jarang orang yang sekolah sampai SMEA. Jadi, saya bisa dengan mudah kerja di perkantoran seperti bank maupun perusahaan swasta," ujarnya.<br /><br />Meski bergaji lumayan besar, pada tahun 1980-an ia berhenti bekerja dan terjun langsung mengurus usaha keluarga di bidang pengolahan belut itu. Ia melanjutkan usaha keluarga yang telah berjalan selama puluhan tahun itu.<br /><br />Setelah berjuang keras memasarkan produk pengolahan belut, hasil kolam miliknya tidak mampu memenuhi kebutuhan produksi, sehingga harus dipasok oleh sejumlah tengkulak. “Saya jadi ingin melibatkan warga sekitar dalam usaha pengolahan belut, karena selama ini masyarakat hanya menjadikan belut sebagai makanan tambahan," ungkapnya.<br /><br />Pada tahun 1989, keinginan itu terwujud ketika ia aktif menjadi kader pos pelayanan terpadu (Posyandu) dan Keluarga Berencana (KB) lestari di lingkungan rumahnya. Berawal dari kegiatan penyuluhan kesehatan, ia mengajak para ibu rumah tangga itu untuk terlibat dalam pembuatan dendeng belut sehingga dapat menambah pendapatan rumah tangga. “Saya ingin agar mereka bisa mandiri," ujarnya.<br /><br />Kediaman sekaligus tempat usahanya yang terletak di Kampung Tugu, Desa Pasirhalang, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, hampir tiap hari dipadati para ibu rumah tangga. Setiap kali mengikuti pelatihan teknologi pangan di berbagai tempat, ia berbagi ilmu kepada mereka.<br /><br />Komalasari mendatangi para buruh tani dan meminta mereka untuk menangkap belut di sela-sela kegiatan bercocok tanam. “Saya kasih dulu uang muka pembelian belut yang masih dalam kondisi segar," tuturnya.<br /><br />Semula hanya sepuluh petani yang bekerja sama dengannya dalam bidang pengadaan belut segar. Pada 21 Mei 1990, Komalasari membentuk kelompok usaha pengolahan belut “Flamboyan" yang beranggotakan 20 petani kecil. Kelak jumlah anggotanya lebih dari 100 petani. Nama “Flamboyan" dijadikan label dagang produk pengolahan ikan mereka.<br /><br />Para penggarap sawah ini memperoleh tambahan penghasilan dengan menjual bibit dan belut segar. Mereka menangkap belut hingga lebih dari empat kg per hari, dengan harga berkisar Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per kg.<br /><br />Komalasari mendidik mereka untuk. Setiap kali menerima setoran belut, ia menyisihkan sebagian hasil penjualan belut itu ke dalam tabungan masing-masing petani. Uang tabungan itu hanya bisa diambil ketika terdesak kebutuhan dan untuk biaya pendidikan anak.<br /><br />Para ibu rumah tangga selain membuat dendeng belut dan aneka jenis produk pengolahan perikanan, juga membuat berbagai jenis makanan ringan. Hasil produksi mereka dipasarkan bersama di satu toko di tepi Jalan Raya Sukaraja, Sukabumi.<br /><br />Kini Komalasari mengembangkan usaha serupa yang melibatkan masyarakat daerah lain di Sukabumi seperti Cisaat. “Kami berharap bisa memiliki showroom dan mobil operasional untuk memasarkan hasil produksi," tuturnya. (EVY RACHMAWATI)<br /><br />Sumber : Kompas, Jumat, 1 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-10766465858724403022009-06-29T23:12:00.003+07:002009-07-02T22:45:27.794+07:00Terrence B Adamson : Terry dan Jendela Kuning "National Geographic"Terry dan Jendela Kuning "National Geographic"<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Edna C Pattisina</span><br /><br />Berbicara tentang majalah National Geographic, kita tidak bisa lepas dari Terrence B Adamson, Executive Vice President National Geographic Society. Pria yang biasa dipanggil Terry ini berperan dalam membuat edisi-edisi lokal yang kini berjumlah 27 edisi, selain edisi internasionalnya yang berbahasa Inggris.<br /><br />BERDIRI sejak tahun 1888, National Geographic Society yang didirikan sebagai organisasi nirlaba untuk menyebarluaskan pengetahuan yang bersifat geografis mengeluarkan publikasinya dalam bentuk majalah National Geographic.<br /><br />Terry bercerita, majalah National Geographic adalah jendela untuk melihat dunia. Persis filosofi dari bingkai kuning yang menjadi ciri khas karena selalu memagari sampul majalah tersebut. "Warna kuning itu berarti jendela dunia, di mana kita bisa orang dan tempat yang jauh lewat majalah ini," katanya.<br /><br />Berasal dari keluarga sederhana yang memiliki toko kecil di daerah pedesaan Georgia, Amerika Serikat, Terry berusia sembilan tahun saat mendapat hadiah Natal berlangganan majalah National Geographic dari neneknya.<br /><br />Setiap bulan Terry kecil bisa melakukan "perjalanan intelektual" ke tempat-tempat yang sangat jauh dan menurut dia hampir tidak mungkin bisa ia datangi secara fisik sepanjang hidupnya. "Saya ingat, saya paling suka membaca tentang China dan Indonesia," kata Terry.<br /><br />TAK disangka, saat untuk pertama kali ke luar negeri ia mendapat kesempatan untuk datang ke Indonesia. Ia dan 14 pemuda yang mendapat beasiswa dari yayasan Henry Luce Scholar magang di Jepang. Dari sana mereka memilih ke Indonesia, tempat yang sudah lama ada di benak Terry. Rombongan orang muda berbakat ini sempat menghabiskan waktu selama seminggu di Yogyakarta. "Itu tahun 1976, saya sempat ke Candi Borobudur, pengalaman yang tidak akan saya lupakan," kata pria yang lahir di Rome, Georgia, 13 November 1946, ini.<br /><br />Karier di bidang hukum menjadi jalan yang dipilihnya. Lulus sebagai sarjana sejarah dari Universitas Emory, Atlanta, tahun 1968, ia melanjutkan ke jurusan hukum di universitas yang sama. Terry menyelesaikan pendidikan sarjana hukumnya dengan predikat cum laude tahun 1973.<br /><br />Setelah itu, selama bertahun-tahun ia dekat dengan dunia politik dan hukum. Tidak hanya menjadi partner di biro hukum ternama di New York, ayah dari Kate (16) dan Elizabeth (13) ini juga bekerja sama dalam dunia birokrasi AS. Beberapa jabatan formal penting sempat disandangnya, seperti Juru Bicara Departemen Kehakiman AS (1978-1979) dan tiga kali menjadi anggota Dewan Pengawas State Justice Institute.<br /><br />Di organisasi nonpemerintah, Terry menjadi anggota Dewan Pengawas di Asia Foundation tahun 1994-1999. Ia juga aktif dalam Carter Center, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan Jimmy Carter. Selain bersahabat dekat, Terry juga menjadi pengacara pribadi mantan presiden AS itu. Carter meminta Terry mendampinginya saat tokoh itu menerima Nobel Perdamaian tahun 2002. "Saya tidak pernah mengira akan punya sahabat yang menerima Nobel Perdamaian, " kata suami Ede Holiday ini.<br /><br />Lalu apa yang dicarinya di majalah National Geographic? "Bukan uang tentunya ya," kata Terry sambil tersenyum.<br /><br />Bagi Terry, adalah sebuah keberuntungan dan kesempatan besar bagi dirinya untuk terlibat dalam usaha pendidikan dan penyebarluasan pengetahuan ke seluruh dunia. "Saya percaya, pengetahuan tentang orang lain, kebudayaan lain, dan tempat lain di dunia penting untuk menyatukan kita semua," katanya.<br /><br />MULAI menjadi tenaga sukarela tahun 1995, ia menjadi tenaga aktif untuk majalah yang dibaca sekitar 50 juta orang sedunia ini tahun 1998. Terrylah yang merealisasikan rencana pembentukan National Geographic Channel, memperbanyak edisi-edisi lokal yang dimulai di Jepang tahun 1995, dan menjalankan berbagai macam publikasi dari National Geographic Society, mulai dari majalah hingga buku.<br /><br />Ia juga anggota Corporate Secretary dari Educational Foundation Board National Geographic Society yang mendanai berbagai kegiatan pendidikan geografi untuk anak sekolah. "Saya merasakan sendiri bagaimana mendapat berbagai pengetahuan dari majalah ini, maka saya ingin sebanyak mungkin orang mengalami hal yang sama," katanya.<br /><br />Hingga kini, dengan jumlah uang ratusan juta dollar AS dari berbagai sumber, National Geographic tetap menjadi organisasi nonprofit. Sembilan puluh persen uang digunakan untuk dana pendidikan dan riset di seluruh dunia.<br /><br />Dukungan tidak hanya datang dari 10 juta anggota National Geographic Society, tetapi juga dari pemerintah dan perusahaan di berbagai penjuru dunia. "Dana untuk penelitian di Indonesia pertama kali tahun 1936, sementara majalah National Geographic telah menulis tentang Indonesia sejak tahun 1898, tentang Sumatera," katanya.<br /><br />MAJALAH ilmiah ini mendasari tulisannya pada hasil-hasil riset yang dilakukan para ahli rekanan. Menurut Editorial Director International Editions Amy Kolczak, yang membuat National Geographic bisa bertahan hingga sekitar 125 tahun adalah akurasi dari tulisan yang dihadirkan. Totalitas menjadi cara hidup di majalah ini. Untuk membuat sebuah foto atau sebuah tulisan, misalnya, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk riset. "Fotografer Jodi Cobb menghabiskan waktu empat tahun di berbagai negara untuk meliput perdagangan manusia," cerita Terry.<br /><br />Harapannya, majalah National Geographic bisa menjadi perekat yang menghubungkan masyarakat dunia dan berbagai kebudayaan yang ada di dalamnya. Bayangkan, saat orang- orang di Indonesia membaca tentang kebudayaan dan segala hal yang berkaitan dengan negara antah-berantah seperti Skandinavia, Armenia, dan Turki, sementara mereka juga membaca tentang Indonesia.<br /><br />"Dari pengetahuan tentang kebudayaan, kebiasaan, dan kepercayaan orang lain, kita bisa menemukan persamaan dan merayakan perbedaan," katanya.<br /><br />Jendela kuning itu membawa dunia ke depan kita untuk dikenal dan diterima.... (EDNA C PATTISINA)<br /><br />Sumber : Kompas, Sabtu, 2 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-15439565390493323482009-06-29T23:10:00.005+07:002009-07-02T22:45:53.637+07:00Sunan bin Mariyat : Ustaz Sunan, Kepala Sekolah yang Tak Pernah BersekolahUstaz Sunan, Kepala Sekolah yang Tak Pernah Bersekolah<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Runik Sri Astuti</span><br /><br />MESKI menjadi kepala sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum, Ustaz Sunan (52), duduk di sekolah dasar pun ia belum pernah. Meski demikian, sejak memimpin sekolah itu tahun 1986 tak pernah ada permasalahan yang berarti. Bahkan, para guru yang pendidikannya rata-rata sarjana strata satu itu menaruh hormat padanya.<br /><br />Salah satu tokoh masyarakat lokal jebolan Pondok Pesantren Attaroqi Sampang ini menangis saat melihat anak- anak yang seharusnya pergi ke sekolah malah berjalan menuju ladang mencari rumput untuk pakan ternak.<br /><br />Banyak faktor yang membuat keadaan menjadi sulit. Di antaranya, sedikitnya gedung sekolah di daerahnya. Satu-satunya sekolah dasar negeri yang ada lokasinya lebih dari dua kilometer. Padahal, tidak ada kendaraan umum untuk menuju ke sana. Anak-anak yang rata-rata dari keluarga miskin itu juga tidak memiliki sepeda yang bisa dikayuh menuju sekolah.<br /><br />ORANGTUA mereka rata-rata petani penggarap ladang yang gersang, nelayan, atau pemelihara ternak orang lain dengan sistem gaduh, yakni pemeliharaan yang upahnya didapat dari bagi hasil setelah penjualan. Untuk kehidupan sehari-hari saja susah apalagi menyekolahkan anak.<br /><br />Di musim paceklik banyak warga yang makan jagung atau ketela pohon yang dikeringkan sebagai pengganti beras. Jarang warga makan dengan lauk-pauk. Ketidakberdayaan masyarakat, yang salah satu faktornya diyakini Sunan akibat kebodohan mereka, telah membangkitkan semangatnya. "Modal saya hanya nekat dan keyakinan yang kuat bahwa Allah pasti memberi jalan," katanya.<br /><br />Sebagai anak petani yang disegani di desa kecil yang letaknya 45 kilometer dari Kota Sampang, pria yang kenyang hidup susah di Kalimantan ini mendapat warisan sebidang tanah yang luasnya seperempat hektar. Di atas tanah itu berdiri bangunan rumah sederhana milik orangtuanya Mariyat dan Bu Sikin yang letaknya di pojok. Di sebelahnya dibangun masjid. Di atas sisa tanah itulah didirikan sekolah.<br /><br />Pada tahap awal pembangunan lima gedung sekolah menghabiskan dana Rp 17 juta. Sunan sempat bingung mencari uang karena tabungan hasil bekerjanya di perantauan yang menurut rencana akan digunakan untuk memperbaiki rumah, jumlahnya pas-pasan. Maka ia mengumpulkan warga sekitar, bahkan sampai ke tetangga desa. Dibeberkannya rencana pendirian sekolah gratis.<br /><br />Ada warga yang memberi uang. Ada yang membantu tenaga. Dibantu beberapa donatur, terkumpullah uang. Biaya operasional sekolah tidak pernah dipikirkan karena Sunan tidak bekerja.<br /><br />Departemen Agama yang menaungi sekolah dengan status terdaftar itu tidak pernah memberikan bantuan dana operasional. Bahkan, subsidi biaya minimal pendidikan, yakni program bantuan dana untuk siswa miskin yang digembar-gemborkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, tidak pernah sampai. Namun, selalu saja ada orang datang menyumbang. Kebanyakan justru orang-orang yang tidak dikenalnya, yang disebutnya sebagai "kemurahan Tuhan".<br /><br />Berdirilah lima gedung pada tahap berikutnya. Ia juga mampu membayar gaji guru Rp 17.500 untuk sehari mengajar dan membeli buku serta kapur tulis.<br /><br />MEMASUKI kompleks Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum Ketabang Daya, Kecamatan Ketabang, Kabupaten Sampang Madura sama sekali tidak tampak adanya aktivitas belajar mengajar. Seluruh bangunan kelas berlantai tanah yang jumlahnya 12 ruang itu tampak berantakan. Tidak ada kaca penutup jendela. Meja dan kursi di ruang kelas tidak teratur.<br /><br />Di depan bangunan kelas terletak dua buah balai dari bambu sebagai tempat duduk. Di sinilah para guru berdiskusi seusai menunaikan kewajiban mengajarnya. Saat ini jumlah guru 10 orang dengan latar pendidikan berbeda. Ada yang bergelar sarjana pendidikan, sarjana ekonomi, dan guru agama.<br /><br />Para guru diterima tanpa perekrutan formal. Asalkan mau mengajar dengan ikhlas, pasti diterima. Semua guru merupakan tenaga honorer. Ia pernah mengajukan mendapat guru bantu, tetapi sampai sekarang belum juga diberikan.<br /><br />Aktivitas belajar dibagi dua kelompok. Pagi hari digunakan untuk sekolah madrasah ibtidaiyah setara dengan pendidikan sdasar. Sore dipakai untuk diniyah, yakni sekolah khusus agama.<br /><br />Selain sebagai kepala sekolah, Sunan juga mengajar materi pendidikan agama untuk kelas satu dan kelas dua di madrasah ibtidaiyah, yang kurikulumnya ia pelajari secara autodidak. Khusus sekolah diniyah, ia mengajar di semua kelas.<br /><br />Tidak ada seragam atau sepatu khusus bagi murid Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum. "Mereka mau sekolah saja saya sudah senang. Nanti kalau dipaksa-paksa, malah tidak masuk," ujarnya.<br /><br />Selain mendirikan sekolah dan menjadi tokoh masyarakat, Sunan juga membantu puskesmas setempat. Ia menjadi leader dalam program pencarian penderita kusta.<br /><br />DI sela-sela kesibukannya mengajar, Sunan mendatangi rumah-rumah warga. Selain untuk mengajak anak-anak yang belum sekolah agar mau bersekolah, ia mencari informasi tentang penderita kusta yang cenderung mengasingkan diri. Berkat ketekunan dan keuletannya, ada 50 lebih penderita kusta yang berhasil diantarkan berobat ke puskesmas. Setiap bulan ia pula yang mengambil obat yang harus diminum penderita dan mengantarkannya ke rumah.<br /><br />Sunan bekerja tanpa pamrih. Jika para gurunya setiap hari mengajar pasti menerima gaji Rp 17.500, Sunan tidak menerima sepeser pun. Istrinya, Wasilah (29), yang ia nikahi pada tahun 1990, dan enam anaknya, hidup sederhana. Rumahnya berdinding tembok tanpa kulit luar dan jendelanya hanya tertutup kayu tipis.<br /><br />Kini Sunan yang tak begitu lancar berbahasa Indonesia ingin mendirikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas agar anak-anak di desanya bisa menikmati pendidikan secara gratis. (Runik Sri Astuti)<br /><br />Sumber : Kompas, Senin, 4 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-27132061246953377622009-06-29T23:07:00.004+07:002009-07-02T22:48:01.214+07:00Arif Havas Oegroseno, di Balik Pertahanan AmbalatArif Havas Oegroseno, di Balik Pertahanan Ambalat<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Rakaryan S</span><br /><br />SETAHUN sebelum persoalan "perebutan" klaim atas wilayah perairan di Laut Sulawesi yang kita namakan blok Ambalat dan Ambalat Timur mencuat ke permukaan, Arif Havas Oegroseno SH LLM (42) telah sibuk memperdalam pemahamannya atas wilayah di Laut Sulawesi itu dan hak Indonesia atas wilayah tersebut.<br /><br />SEBAGAI Direktur Perjanjian Internasional, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri, Havas menyurati Pemerintah Malaysia ketika negara itu meributkan pemberian konsesi baru oleh Indonesia untuk mengeksplorasi kekayaan minyak dan gas di blok Ambalat Timur. Pada intinya, ditegaskan bahwa wilayah Ambalat dan Ambalat Timur adalah milik Indonesia.<br /><br />"Sejak tahun 1960-an kita juga sudah melakukan eksplorasi di wilayah itu, dan mereka tidak pernah ribut. Bahkan setelah peta Malaysia tahun 1979 diumumkan, kita juga memberikan beberapa konsesi minyak di sekitar itu, Malaysia juga diam saja. Itu kan artinya mereka mengakui kedaulatan kita atas wilayah itu. Mengapa mereka sekarang ribut dan mengklaimnya?" kata bapak dua anak ini.<br /><br />Maka dari itu, ketika Malaysia meneruskan klaim mereka dengan mengeluarkan konsesi untuk eksplorasi migas di sekitar blok Ambalat dan Ambalat Timur, Havas langsung menyiapkan "amunisi" untuk menghadapi para pemikir Malaysia. Untuk perundingan dengan Malaysia, tim perunding Indonesia memiliki 10 kasus serupa dan sejumlah perjanjian antarnegara yang bisa mendukung posisi Indonesia dalam penarikan garis landas kontinen dan ZEE di laut Sulawesi.<br /><br />HAVAS mencapai kursi Direktur Perjanjian Internasional, Keamanan, dan Kewilayahan sejak 31 Desember 2003 melalui perjalanan panjang. Lulusan Universitas Diponegoro, Semarang, ini mendapat gelar LLM dari Harvard Law School, Amerika Serikat.<br /><br />Putra keluarga pegawai negeri Amir Fattah dan Yuniarti ini sempat pulang ke Indonesia untuk meminang Sartika, putri pelukis kenamaan Barli Sasmitawinata. Ia kemudian mengambil cuti kerja setahun dari Deplu dan bekerja di Lawyer, Bracewell and Patterson Law Firm, sebuah kantor hukum yang terbilang kecil di Houston, AS.<br /><br />"Saya hanya ingin mencari pengalaman. Di sana saya bertugas di legal advice department, jadi bukan orang yang tampil di pengadilan. Tapi sampai akhir saya bekerja di sana, saya lulus tes jadi lawyer di Amerika," ungkap pria kelahiran Semarang 12 Maret 1963 ini.<br /><br />Menyadari Indonesia memiliki beberapa persoalan perbatasan dengan negara-negara tetangganya, pada tahun 2004 ia mengikuti kursus khusus mengenai hukum perbatasan di satu-satunya tempat untuk studi perbatasan, yaitu International Boundaries Research, Durham University, Inggris.<br /><br />Pada kursus itu, Havas mempelajari sejumlah kasus perbatasan dan tinjauan dari sisi aturan hukumnya, termasuk kasus yang mirip dengan persoalan Indonesia-Malaysia sekarang ini terkait blok Ambalat.<br /><br />Dosen pengajar di Kursus Studi Perbatasan itu antara lain David Anderson, negosiator kawasan Inggris untuk soal delimitasi yang sekarang menjadi hakim di tribunal Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention On the Law of the Sea/Unclos); Rodman Bondy, pengacara kawakan delimitasi batas laut yang sudah sering berperkara di Mahkamah Internasional; Prof Morris Mandelson, pakar public international law; Dr Fox Smith, pakar US Ocean Policy Division.<br /><br />Hasilnya, Havas pun kini semakin yakin akan kebenaran garis-garis perbatasan yang sudah dibuat para pakar hukum laut Indonesia terdahulu. Cara Indonesia menentukan batas-batas wilayahnya sudah berpegangan pada aturan-aturan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB.<br /><br />LULUSAN pendidikan calon diplomat Deplu angkatan 13 (1986-1987) dengan peringkat kelulusan terbaik di angkatannya itu semakin terasah setelah bertugas sebagai petugas urusan hak asasi manusia (HAM) di Perwakilan Tetap RI Geneva (1993-1997). Di kota ini pula Havas membesarkan Faiz (11) yang lahir di Jakarta dan mendapatkan putra kedua, Nabila (8).<br /><br />Havas sempat menduduki jabatan Kepala Seksi HAM Direktorat Organisasi Internasional Deplu (1997-1998), kemudian merintis dibukanya kembali hubungan diplomatik antara Indonesia dan Portugal yang dibekukan tahun 1989. Diawali dari petugas Kantor Urusan Kepentingan Portugal (1999-2000) bersama seorang karyawan Deplu lainnya, dia kemudian menjabat sebagai Kepala Bagian Informasi dan Sosial-Budaya (2000-2003) setelah Kedutaan Besar RI secara resmi hadir di Lisabon, Portugal.<br /><br />"Setelah masalah Timtim selesai, hubungan kita dengan Portugal jadi luar biasa. Dari dua negara yang tadinya akan berkelahi, kini menjadi sangat dekat sekali. Kami menyelenggarakan cultural week Indonesia, tetapi hampir sebulan penuh di Lisabon. Kita menggelar tarian Bali, dan tiketnya sudah habis dipesan sebulan sebelumnya. Saya juga menyelenggarakan festival film Indonesia, memutarkan film Cut Nyak Dien, Daun di Atas Bantal, dan Bulan Tertusuk Ilalang, juga sambutannya sangat baik," kenang Havas.<br /><br />Ketika itu dia memang bertekad mengubah wajah Indonesia, yang di kalangan warga Portugal hanya dikenal karena soal Timor Timur, menjadi wajah sebuah negeri yang sepatutnya dikunjungi. Hasilnya, kunjungan warga Portugal ke Indonesia yang semula rata-rata lima orang per hari menjadi hampir 100 orang per hari.<br /><br />Meninggalkan Portugal, Havas dioleh-olehi Pemerintah Portugal sebuah buku mewah, yaitu buku puisi karya-karya Luis De Camoes bertitel Lusiadas. "Kita mewarisi banyak dari Portugal. Prosesi Paskah yang sekarang ada di Flores, itu persis sama dengan yang pernah ada di Portugal, dan terakhir kali dilaksanakan di sana tahun 1950," papar Havas, yang tinggal empat tahun tiga bulan di negeri itu.<br /><br />Meski hari-harinya sangat padat dengan masalah, seperti masalah perbatasan dengan Malaysia, Timor Timur, Singapura, serta menyelesaikan sejumlah perjanjian internasional, dalam keseharian Havas tetap terlihat tenang dan riang. Ketenangan itu pula yang dipertunjukkannya sebagai Ketua Tim Perunding Indonesia saat berunding dengan tim teknis Malaysia, beberapa pekan lalu di Bali.<br /><br />Hasilnya? "Nothing to worry about…. Di lihat dari sisi mana pun, posisi kita sangat kuat," ungkap diplomat yang hobi membaca dan menonton itu. (RAKARYAN S)<br /><br />Sumber : Kompas, Selasa, 5 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-40514878462723193442009-06-29T23:05:00.002+07:002009-07-02T22:48:26.553+07:00Avril Lavigne : Lagu Pembebasan Avril LavigneLagu Pembebasan Avril Lavigne<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Frans Sartono</span><br /><br />SEKITAR 3.000 penonton yang didominasi remaja belasan tahun berjingkrak-jingkrak mengikuti lagu Sk8er Boi-dibaca Skater Boy-yang dibawakan Avril Lavigne. Itulah yang terjadi pada penampilan penyanyi Kanada, Avril Lavigne (20), yang menggelar konser Bonez Tour 2005 di Stadion Tenis Tertutup, Senayan, Jakarta, Senin (4/4/2005) malam.<br /><br />Avril tampil dengan celana blue jeans dan kaus hitam. Keempat personel band pendukung mengenakan kostum serupa, jeans dan kaus hitam. Ia menenteng gitar elektrik dengan body kotak-kotak hitam-putih. Strap atau tali selempang gitar bergambar deretan tengkorak di atas tulang bersilang. Gambar itu menjadi ikon resmi konser Bonez Tour 2005.<br /><br />Di pentas yang diterangi lampu berkekuatan 200.000 watt, ia tampak kurang komunikatif. Ia tidak banyak bicara untuk menjalin komunikasi dengan penonton kecuali sekadar ucapan thank you. Boleh jadi ia memang tak suka basa-basi. Persona Avril di atas pentas terkesan nyaris dingin, tidak ramah. Di panggung ia hanya menjadi sekadar tontonan. Kebetulan lagu-lagu Avril dikenal baik oleh penggemarnya dan itulah yang menghidupkan konser.<br /><br />Avril memuncaki konser dengan lagu Sk8er Boi. Usai lagu tersebut panggung gelap dan penonton memanggil Avril untuk manggung lagi. Muncullah kembali Avril menabuh drum untuk sebuah lagu. Ia kemudian maju ke depan dan menyanyikan lagu Complicated sebagai gong konser yang disambut koor seru dari penonton.<br /><br />LIRIK lagu Avril bertutur soal kehidupan sehari-hari kaum muda. Sk8er Boi bertutur tentang gadis yang menolak cinta seorang lelaki penggemar skate board. Belakangan cowok itu menjadi bintang rock yang sering muncul di MTV. Avril yang lahir pada 27 September 1984 itu memang tumbuh dan besar di era MTV, sebuah era ketika rock menjadi santapan harian remaja.<br /><br />Pada peta belantika musik pop dunia, jika diukur dari zaman Michael Jackson, Avril terbilang sebagai "anak kemarin sore". Ia lahir ketika Michael Jackson sedang bertakhta di belantika musik sebagai King of Pop.<br /><br />Akan tetapi, belantika musik tidak mengenal senioritas. Yang lebih penting adalah daya jual. Avril yang hadir di jagat musik pada tahun 2000 itu mampu menjual hampir 20 juta kopi album di seluruh dunia. Di Indonesia, album Avril yang berada di bawah label Sony-BMG terjual sebanyak 420.000 kopi dengan perincian, 320.000 untuk album pertama Let Go dan 100.000 untuk Under My Skin, album keduanya keluaran tahun 2004. Jumlah tersebut diperkirakan masih akan terus bertambah. Dari dua albumnya, ia juga mendapat delapan unggulan Grammy.<br /><br />Avril yang datang dari Napnee, kota kecil di Ontario, Kanada, itu datang ke belantika musik yang sedang diramaikan oleh musik jenis pop rock, atau ada yang menyebutnya sebagai pop alternatif. Anak kedua dari tiga bersaudara itu tumbuh dari lingkungan yang dekat dengan musik country dan folk.<br /><br />"Waktu saya masih kecil, setiap ada kesempatan, ibu selalu mengajak saya untuk tampil di acara nyanyi. Entah itu di acara gereja atau di pasar malam di kota kami. Saat itu saya nyanyi lagu apa saja yang bisa. Seperti anak-anak sebaya, saya juga nyanyi lagu country atau folk," tutur Avril menjawab pertanyaan Kompas dalam jumpa pers Senin siang di Hilton Executive Club, Jakarta.<br /><br />"Waktu mendapat kesempatan rekaman, saya mengembangkan kemampuan dalam menulis lagu dan kemudian yang muncul musik seperti yang saya bawakan sekarang, yaitu pop rock," kata Avril yang mulai belajar gitar pada usia 12 tahun.<br /><br />AVRIL hadir di belantika musik hampir bersamaan dengan Michelle Branch, Norah Jones, atau juga Vanessa Carlton. Mereka masing-masing mempunyai jalur musik tersendiri. Norah Jones, misalnya, cenderung dekat dengan gaya jazz dan country.<br /><br />Avril memilih jalur pop rock-ada yang menyebutnya sebagai alt(ernative) rock dan adult alternative. Menjelang tahun 2000-an, slot atau celah pasar untuk alt rock yang pernah diramaikan Alanis Morissette memang terbuka lebar. Avril muncul sebagai bintang muda pop rock-setidaknya Avril sepuluh tahun lebih muda dari Alanis. Akan tetapi, Avril menolak jika dikatakan bahwa keberadaannya merupakan hasil fabrikasi para pelaku bisnis musik.<br /><br />"Saya bukan hasil fabrikasi. Saya menulis lagu saya sendiri," katanya.<br /><br />Seperti banyak artis lain, Avril pun merasa tidak membakukan diri ke satu jenis musik tertentu, termasuk punk.<br /><br />"Saya sama sekali tidak pernah mengklaim sebagai artis punk. Medialah yang memberi label pada saya sebagai penyanyi punk atau apa. Itu semata karena saya gadis remaja dan bukan tipikal artis pop yang manis," kata Avril yang bertinggi tubuh 160 cm.<br /><br />Cara berpakaian Avril memang mengingatkan pada gaya artis punk. Setidaknya Avril lebih banyak tampil apa adanya, dalam pengertian santai, tidak formal. Dalam konser-konsernya dia lebih sering mengenakan blue jeans dan tank top. Jangan kaget jika pada konser Avril di Jakarta tampak gadis-gadis muda mengenakan tank top mengekor artis yang mereka tonton.<br /><br />DALAM wawancara dengan majalah Rolling Stone, Avril pernah mengatakan tidak betah jika harus berpakaian seperti Britney Spears yang serba cantik dengan sepatu hak tinggi atau celana ketat hingga membuatnya tidak bisa duduk. Dia memang tidak tunduk pada protokoler belantika musik yang kadang mengasingkan artis dari jatidirinya.<br /><br />"Saya ungkapkan apa yang ingin saya ungkapkan. Saya membuat keputusan sendiri. Orang tidak bisa mendiktekan apa yang harus saya lakukan, atau mengatur ke mana saya harus pergi. Saya melakukan apa yang ingin saya lakukan," kata Avril menanggapi anggapan bahwa dia hanyalah produk industri musik.<br /><br />Boleh jadi itu bagian dari "ideologi" pembebasan Avril. Persis kata yang tertera pada bagian dada di kaus Avril yang dikenakan dalam konser: "Freedom". (Frans Sartono)<br /><br />Sumber : Kompas, Rabu, 6 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-12326436208127768212009-06-29T23:03:00.001+07:002009-07-02T22:48:48.890+07:00Jalal Talabani, Orang Kurdi yang Jadi Presiden Irak<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Musthafa Abd Rahman</span><br /><br />SETIAP berakhirnya sebuah rezim di Irak ibarat suatu anugerah yang jatuh dari langit bagi Jalal Talabani. Puncak anugerah itu adalah tumbangnya rezim Saddam Hussein yang kini mengantarkannya ke kursi presiden.<br /><br />TATKALA berakhir sistem monarki Irak tahun 1958, Talabani dibebaskan dari penjara yang didiaminya sejak tahun 1956 lantaran aktivitas politiknya yang antimonarki. Jatuhnya rezim Presiden Abdel Karim Kasim tahun 1962 membuka jalan pula bagi Talabani menjadi juru runding tangguh dengan presiden baru Irak, Abdel Salam Arif.<br /><br />Era baru di Irak ternyata selalu memihak Talabani. Majelis Nasional Irak (parlemen) hari Rabu (6/4/2005) menggores sejarah dengan memilih Talabani, seorang pemimpin Kurdi, sebagai presiden di negeri yang mengusung atribut negara Arab. Memang kedengaran aneh, seorang Kurdi bisa menjadi presiden di negara Arab.<br /><br />Seorang analis politik asal Irak, Mustafa Kadhimi, dalam artikelnya pada harian Asharq Al Awsat edisi Sabtu (2/4/2005), mengatakan, fenomena tampilnya tokoh-tokoh Kurdi pada posisi strategis di Irak, seperti Hoshyar Zebari sebagai menteri luar negeri dan Jalal Talabani sebagai presiden, memberi kesan positif bagi kehidupan demokrasi di negeri itu.<br /><br />"Tampilnya Talabani sebagai presiden adalah sebuah era baru bagi negeri Irak yang ditandai oleh semakin kuatnya prinsip persamaan hak antara warga negaranya, tanpa melihat latar belakang etnis, agama, dan mazhab agama. Prinsip itu bisa berandil memperkuat persatuan Irak," kata Kadhimi.<br /><br />MENURUT Kadhimi, terpilihnya Talabani sebagai presiden akan berandil besar mengurangi kecenderungan sektarianisme di Irak yang semakin mencemaskan karena sudah terhapus stigma bahwa presiden harus dari Sunni, perdana menteri dari Syiah, dan ketua parlemen dari Kurdi.<br /><br />Talabani dilahirkan tahun 1933 di Desa Kelkan dekat Danau Dokan. Ia menjalani sekolahnya, dari SD sampai SMP, di kota Koy Sanjak. Kemudian dia pindah ke Erbil dan Kirkuk untuk melanjutkan ke SMA. Pada masa SMA, Talabani sudah dipercaya sebagai pengarah organisasi bawah tanah pelajar Kurdi di Irak yang misinya membangkitkan nasionalisme kaum Kurdi.<br /><br />Seusai SMA, Talabani bergabung dengan Partai Demokrasi Kurdistan pimpinan Mulla Mustafa Barzani. Pada tahun 1951 ia terpilih sebagai anggota komite pusat partai tersebut.<br /><br />Mungkin karena aktivitas politiknya, Talabani ditolak masuk pada sebuah fakultas bergengsi meskipun nilainya lebih dari mencukupi. Pada tahun 1953 Talabani diterima pada Fakultas Hukum Universitas Baghdad.<br /><br />Semasa mahasiswa, Talabani menjadi sekretaris umum persatuan mahasiswa Kurdi di Baghdad. Pada tahun 1956 aparat keamanan menangkap Talabani karena aktivitas politiknya yang membuat studinya terhenti.<br /><br />Seusai kudeta tahun 1958 yang mengakhiri sistem monarki di Irak, Talabani melanjutkan studinya. Ia sempat menjabat pemimpin redaksi dua koran terkemuka Kurdi yang menjadi corong sosialisasi misi Partai Demokrasi Kurdistan.<br /><br />Lepas dari perguruan tinggi pada tahun 1959, ia menjalani latihan kemiliteran yang membuka jalan ke arah bergabungnya dengan Peshmerga (milisi bersenjata Kurdistan-Red). Ambruknya koalisi antara Kurdistan dan rezim Abdel Karim Kasim pada akhir tahun 1960 memaksa Talabani hengkang ke wilayah Kurdistan.<br /><br />Pada bulan September 1961 meletus pertempuran antara pasukan pemerintah Irak dan Peshmerga. Talabani menjadi komandan militer di front Kirkuk dan Sulaimaniyah, melawan pasukan pemerintah Baghdad. Pada bulan Maret 1962 ia memimpin serangan balik untuk mengembalikan wilayah Sharbazhar dari tangan pasukan pemerintah Baghdad.<br /><br />PERTEMPURAN kedua belah pihak berlanjut hingga jatuhnya rezim Abdel Karim Kasim. Pada masa pemerintahan Presiden Abdel Salam Arif tercapai kesepakatan gencatan senjata. Di tahun 1963 Talabani memimpin perundingan dengan Presiden Abdel Salam Arif, namun juga mengalami kegagalan.<br /><br />Ketika Partai Baath kembali berkuasa di Baghdad pada tahun 1968, partai yang berbasis pada ideologi nasionalisme Arab itu berhasil memecah belah kesatuan Kurdi, antara kubu Talabani dan kubu Barzani, dalam tubuh Partai Demokrasi Kurdistan.<br /><br />Perundingan antara pemerintah Baghdad dan Barzani menghasilkan kesepakatan pemberian otonomi pada kaum Kurdi. Kesepakatan itu ditolak oleh Talabani yang menilainya merugikan pihak Kurdi karena tidak memasukkan kota Kirkuk ke dalam wilayah otonomi.<br /><br />Talabani lalu membentuk organisasi baru dengan nama Uni Patriot Kurdistan pada tahun 1975. Pecahnya Perang Iran-Irak tahun 1980-1988 memberi peluang kepada Talabani yang berbasis di wilayah perbatasan dengan Iran untuk membangun kembali kekuatan militer Kurdi, guna melawan pasukan Pemerintah Irak yang sedang sibuk berperang dengan Iran.<br /><br />Ia memanfaatkan Perang Iran-Irak itu untuk berunding dengan Baghdad, namun pemerintah Baghdad tetap menolak memberi konsesi kepada kaum Kurdi. Pasca-Perang Teluk I tahun 1991 dan didirikannya zona aman di wilayah Kurdistan menaikkan kembali bintang Talabani.<br /><br />Pada pemilu parlemen pertama di wilayah Kurdistan Mei 1992, ia terpilih sebagai anggota parlemen serta juru bicara Kurdi pada forum regional dan internasional.<br /><br />Pada tahun 1994 meletup konflik berdarah antara dua kekuatan utama Kurdi, yakni Partai Demokrasi Kurdistan di bawah pimpinan Masoud Barzani dan Uni Patriot Kurdistan di bawah pimpinan Jalal Talabani, menewaskan sekitar 3.000 orang. Keduanya mencapai gencatan senjata pada tahun 1998 di Washington dan setuju membagi wilayah Kurdistan menjadi dua bagian, dengan Barzani bermarkas besar di kota Erbil dan Talabani di Sulaimaniyah.<br /><br />PADA tahun 2000 mereka sepakat melakukan normalisasi hubungan dan mengaktifkan kembali parlemen Kurdi yang beku total selama enam tahun. Perkembangan politik di Irak pascatumbangnya rezim Saddam Hussein semakin memuluskan rekonsiliasi Talabani-Barzani. Puncaknya menjelang pemilu 30 Januari lalu, ketika terbentuk Daftar Koalisi Kurdistan yang berintikan dari dua faksi utama Kurdistan tersebut.<br /><br />Bersatunya dua kekuatan utama Kurdi itu mengantarkan mereka menduduki urutan kedua pada pemilu lalu dengan meraih 75 kursi parlemen dan membentangkan jalan terpilihnya Talabani sebagai presiden Irak. (MUSTHAFA ABD RAHMAN, dari Cairo)<br /><br />Sumber : Kompas, Kamis, 7 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-12462568303618272362009-06-29T23:00:00.002+07:002009-07-02T22:40:56.943+07:00Okky Asokawati, Perjalanan dari Panggung ke PanggungOkky Asokawati, Perjalanan dari Panggung ke Panggung<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Ninuk MP</span><br /><br />PADA tahun 1980-an nama Okky Asokawati identik dengan peragawati top Indonesia. Hampir semua desainer meminta perempuan kelahiran Jakarta, 6 Maret 1961, ini memeragakan rancangan mereka. Bahkan, Okky selalu membawakan gaun terakhir, karya puncak sang perancang. Tepuk tangan selalu mengiringi penampilannya.<br /><br />LALU suatu saat saya ikut pergelaran Edward Hutabarat. Ternyata, saya tidak lagi membawakan gaun penutup. Saya terpukul, bertanya-tanya, apa yang salah dengan saya," cetus Okky awal pekan ini dalam percakapan di Jakarta Selatan.<br /><br />Okky dihibur Firman Ichsan, suaminya ketika itu, bahwa dari segi fisik, pengalaman, dan kemampuan Okky tidak kalah. "’Orang hanya bosan dengan kamu,’ kata Mas Firman. Tentu saja saya sangat terpukul. Lalu saya mesti bagaimana?" kenang Okky.<br /><br />Di situlah Okky mengalami ujian yang kesekian kali dalam hidup. Bagaimana memenuhi kebutuhan untuk menjadi terkenal seperti keinginannya sejak kecil? Menurut lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, bila orang ingin hidup sehat bukan hanya fisik yang mendapat cukup makan, tetapi ego juga harus kenyang. Kalau masa di fashion sudah lewat, ke mana bisa mengenyangkan ego?<br /><br />Saat itu sebuah majalah perempuan meminta Okky menjadi pembicara dalam seminar pengembangan kepribadian. Okky mati-matian menyiapkan makalah untuk presentasi itu. Dari situ Okky merasa panggung seminar bisa memuaskan egonya karena dia menjadi pusat perhatian.<br /><br />Sebelumnya, dia mendirikan sekolah model OQ (1988) yang kini ada di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, selain memberi in house training. Okky sempat pula terjun dalam multilevel marketing (MLM) produk kesehatan dan gaya hidup, bermain sinetron, dan menjadi pembawa acara gaya hidup di sebuah stasiun televisi.<br /><br />"SAYA ketika kecil itu minder, tidak percaya diri. Saya merasa tidak cantik. Tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan. Tetapi, sejak kecil saya punya keinginan menjadi orang terkenal," kata Okky, anak kelima dari enam bersaudara.<br /><br />Kebutuhan menjadi terkenal itu tumbuh dari situasi masa kecil. Dia ingin dihargai, diperhatikan, sementara keluarganya yang sangat sederhana menurut Okky membuat dia tidak diperhatikan teman-temannya.<br /><br />Ketika Okky baru kelas I sekolah dasar (SD), ayahnya yang polisi di Jakarta, (almarhum) A Tanuamidjaja, diadili dengan tuduhan terlibat G30S/PKI dan 14 tahun berada di tahanan. Ibunya, Sutardjiah, harus menghidupi enam anak yang masih bersekolah dengan memberi les piano dan bahasa Inggris. Ke mana-mana mereka naik bus.<br /><br />Tanpa sadar Okky belajar, bila dia menonjol orang akan berteman dengannya. "Pertama kali saya rasakan nikmatnya sebagai orang menonjol ketika kelas II SD. Mulanya saya tidak bisa kali-kalian, tetapi kakak memaksa belajar. Ketika nilai saya bagus, teman-teman mengajak bermain. Saya lalu belajar harus cerdas supaya dihargai karena saya tidak punya apa-apa lainnya," ujar Okky yang memaparkan pengalaman hidupnya itu dalam buku Jangan Menoleh ke Belakang, yang ditulis Muara Bagdja dengan editor Threes Emir dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.<br /><br />Perjalanan Okky sebagai peragawati bisa dikatakan berawal ketika dia memenangi Putri Remaja Berpakaian Malam Terbaik dalam lomba Putri Remaja yang diadakan majalah Gadis pada tahun 1978. Okky mendaftar sendiri untuk ikut lomba itu karena memimpikan bisa seterkenal remaja yang sering muncul di majalah yang dia pinjam dari temannya karena tidak punya uang untuk membeli.<br /><br />"Saya punya kebiasaan menulis impian saya dalam dream book, saya tempeli gambar-gambar. Radar otak kita akan bergerak ke arah impian itu," kata Okky yang memajang di kamarnya gambar penyanyi Emilia Contessa menjelang masuk ke SMAN XI Bulungan, Jakarta Selatan. Di antara daftar impian Okky saat tahun 2000 adalah gaji Rp 50 juta per bulan, pensiun (dari MLM) dengan peringkat Diamond, umroh, ajak Diva (putrinya) ke Disneyland, deposito Rp 100 juta, pembantu punya TV di kamar belakang, great artist great mother, punya rumah besar di Pondok Indah, dan buka OQ Modelling di Bandung dan Surabaya. Beberapa mimpinya itu sudah terwujud.<br /><br />"Ketika disalami Mas Iwan Tirta yang jadi salah satu juri, dia mengatakan, ’Suatu saat kamu akan jadi model saya’," papar Okky. Setelah itu berkali-kali Okky menjadi model Iwan Tirta dan membawakan gaun pengantin perancang dan seniman batik yang saat itu menjadi barometer model top Indonesia.<br /><br />PERAN model Okky adalah ibu dan ayahnya. Dari ibunya, Okky ingat nasihat untuk tidak pernah menyandarkan diri kepada orang lain. Sementara dari ayahnya, Okky belajar hidup bermanfaat bagi banyak orang dan jangan pernah minder kepada siapa pun karena dasarnya setiap orang egois, selalu ingin didengar, tidak mau dipotong percakapannya.<br /><br />Nasihat itu diterapkan Okky ketika masuk dunia MLM, dunia yang jauh dari gemerlap panggung mode, karena merasa tertantang saat ada yang mengatakan dia tidak akan bisa. Okky memandang MLM adalah akademi kehidupan sesungguhnya karena dia harus merendahkan ego untuk membuat orang merasa nyaman dengan mendengar pembicaraan mereka.<br /><br />Kini kesibukannya antara lain mengajar di sekolah model OQ dan memberi ceramah, membesarkan putrinya dari pernikahan dengan Firman Ichsan, Diva (9), serta mengurus rumah tangganya dengan Nono Padmodimuljo, pengusaha di bidang pemasaran minyak dan gas bumi.<br /><br />Tentang perpisahannya dari bekas suaminya, Firman Ichsan, yang diakui Okky mengajarinya mandiri dan menghormati komitmen kerja, menurut Okky, justru merupakan keberhasilan dalam arti menyelesaikan secara baik-baik perbedaan yang tidak mungkin dipersatukan lagi. "Saya merasa ini pelajaran yang baik. Saya jadi bisa mengatakan perkawinan yang baik itu bagaimana," katanya.<br /><br />Dia juga tidak menampik bila ada orang mengatakan Okky selalu ingin menjadi nomor satu sehingga kelihatan amat berambisi. "Saya tidak apa-apa dibilang berambisi, yang penting dalam mencapai itu tidak menjegal orang lain," katanya.<br /><br />Satu lagi pelajaran hidup yang dia dapat adalah jangan pernah merasa tidak enak berbeda dari orang lain. "Selama kita menjaga integritas dan berada dalam nilai-nilai yang benar, jalan terus. Ini juga yang saya ajarkan kepada murid-murid saya," katanya.<br /><br />Sumber : Kompas, Jumat, 8 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-1863594328608649932009-06-29T22:49:00.003+07:002009-07-02T22:41:41.695+07:00Raisa Aurora, Menulis dengan Penuh PerasaanRaisa Aurora, Menulis dengan Penuh Perasaan<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Elok Dyah Messwati</span><br /><br />USIANYA masih 13 tahun, tetapi kemampuan berpikir dan menulisnya melebihi teman-teman seusianya. Tak heran jika Raisa Aurora, siswa Kelas II SMP Negeri 12 Bekasi, Jawa Barat, mendapatkan penghargaan untuk penulis muda Indonesia bersama dengan Pratitou Arafat (siswa SMA Negeri 3 Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam).<br /><br />PADA Lomba Penulisan Esai Remaja yang diselenggarakan oleh Unicef dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Raisa mengirim esai berjudul "Dari Temanku Asih, Aku Belajar Banyak".<br /><br />Esainya bertutur tentang pengalamannya bergaul dengan Asih, teman sekelasnya saat kelas I SMP yang menderita down syndrom. Asih dipaksa bersekolah di sekolah umum, padahal kemampuannya mencerna pelajaran jauh di bawah rata-rata.<br /><br />"Betapa ingin aku mengatakan padanya bahwa engkau punya hak untuk dimengerti, engkau punya hak untuk mendapat perawatan, pengasuhan, kasih sayang, dan pendidikan yang dibutuhkan seorang anak ’istimewa’ sepertimu," demikian cuplikan esainya.<br /><br />Perasaan Raisa memang tertumpah dalam tulisannya. Bahkan ketika menerima penghargaan pekan lalu, ia sempat berhenti sejenak saat bertutur tentang Asih. Matanya berkaca-kaca. Beberapa juri menitikkan air mata ketika membaca karyanya.<br /><br />Raisa mengaku, ia berusaha menulis dengan penuh perasaan, pengaruh dari tulisan Pramoedya Ananta Toer dan Lemony Snicket yang menulis A Series of Unfortunate Events.<br /><br />Ketika hendak mengikuti lomba esai, sebenarnya Raisa ingin menulis mengenai hak anak-anak jalanan. Namun, saat ia memikirkan ide itu, ia bertemu dengan Asih. Asih bercerita tentang keluarganya, teman-temannya, dan apa yang ia rasakan. Muncullah keinginan Raisa untuk menulis kehidupan Asih.<br /><br />Anak tunggal pasangan Abubakar Soeis (54) dan Jenny Rianita (40) ini kemudian membuat poin-poin tulisan per paragraf, lalu ia kembangkan saat mengetik di komputer-yang sudah ia kuasai sejak kelas III SD.<br /><br />RAISA gemar menulis sejak kelas I SD. Saat itu ia minta dibelikan buku harian di mana ia bisa menuliskan semua perasaannya. Sejak kecil ia juga membuat puisi. Prestasi pertamanya diraih saat kelas III SD sebagai juara ketiga lomba mengarang "Andai Aku Punya Sayap" yang diselenggarakan sebuah restoran waralaba.<br /><br />Kelas IV SD Raisa mengikuti lomba Konferensi Anak tentang Lingkungan Hidup yang diselenggarakan majalah Bobo dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2001. Ia menjadi salah satu dari 25 anggota delegasi terpilih. Itu pengalaman yang sangat menyenangkan baginya. Seluruh delegasi dikarantina selama tiga hari di Hotel Santika Jakarta. Mereka belajar tentang lingkungan dengan suasana yang fun.<br /><br />"Saya bertemu dengan Pak Emil Salim, Pak Sonny Keraf (Menteri Negara LH saat itu-Red), saya dapat kenang-kenangan pohon matoa. Kami diajar banyak hal tentang lingkungan hidup," kata Raisa, yang mengisi kesehariannya dengan kursus bahasa Inggris, berenang, dan gitar.<br /><br />Berbagai prestasi ia raih. Ia, antara lain, menjadi pemenang harapan kedua Lomba "Menulis Surat untuk Presiden" tahun 2000, pemenang kedua Lomba Mengarang Esai tingkat SMP yang diselenggarakan oleh IKAP DKI Jaya tahun 2003.<br /><br />Tahun 2004, tulisannya terpilih pada lomba yang sama yang diselenggarakan YKAI-Unicef. Ia pun menjadi pemenang pertama Lomba Membalas Surat Pramoedya Ananta Toer dalam buku "Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer". Total 20 penghargaan ia dapatkan.<br /><br />Menurut ibunya, Raisa bisa menulis puisi dengan unik. "Yang aneh, saat dia menulis puisi, puisinya tidak seperti puisi anak-anak. Kata-katanya tidak seperti anak-anak. Saya tidak mengerti dari mana ia mendapatkan kata-kata untuk puisinya," kata Jenny.<br /><br />Raisa mengaku mendapatkan kata-kata untuk puisinya dari buku-buku yang ia baca. Saat kecil, selain berlangganan majalah Bobo, ia juga membaca buku dongeng yang halamannya tebal-tebal. Raisa memang suka sekali menulis karena melalui tulisan ia bisa mengungkapkan jalan pikirannya.<br /><br />"Menulis itu sangat menyenangkan dan saya jadi lebih dewasa. Teman-teman sekelas saya bilang saya sok tua," tutur Raisa.<br /><br />Kalau bicara dengan teman sebayanya, Raisa dianggap berbeda. Cara bicaranya seperti orang dewasa. "Padahal saya bicara biasa saja, tapi dianggap berbeda. Mungkin karena saya banyak membaca," kata Raisa, yang koleksi bukunya sampai empat lemari.<br /><br />MENULIS tentu berkaitan dengan mengarang. Namun anehnya, Raisa tak terlalu menyukai cara pengajaran mengarang (pelajaran Bahasa Indonesia) di sekolah. Jika diminta mengarang, biasanya tema sudah ditentukan oleh guru, termasuk paragraf-paragrafnya.<br /><br />"Kalau seperti itu caranya, isi paragraf sudah ditentukan, saya merasa terkekang. Mau nulis apa saya? Dari awalnya sudah tidak enak menulis kalau semua sudah ditentukan, tidak sesuai dengan jalan pikiran saya," kata Raisa.<br /><br />Menurut Raisa, seharusnya pelajaran mengarang itu memberikan keleluasaan kepada murid. Murid cukup diberi tema yang menarik. Dengan demikian, minat untuk mengarang bisa bertumbuh.<br /><br />Ia mengkritik pelajaran mengarang yang hanya menekankan pada teori dan jarang mengajarkan materi mengarang. "Padahal kalau menulis sendiri, kita bisa berkembang sendiri tanpa harus menggunakan teori," ucap Raisa.<br /><br />Raisa juga mengungkapkan keprihatinannya atas isi majalah dinding (mading) di sekolahnya yang jarang diisi artikel yang bermanfaat untuk remaja, tetapi justru diisi dengan artikel seputar percintaan remaja. "Saya pikir itu karena pengaruh sinetron, sesuatu yang tidak nyata dan kita membuatnya menjadi kenyataan. Saya buat puisi dan artikel di mading, tidak ada yang baca. Saya tersiksa sekali menghadapi hal seperti itu," keluhnya.<br /><br />Pengetahuannya yang demikian luas membuatnya kadang tak "nyambung" jika berbicara dengan temannya. "Saya bilang, ’Kemarin aku menang lomba membalas surat kepada Pramoedya lho.’ Teman saya balik tanya, ’Pramoedya itu siapa?’" tutur Raisa.<br /><br />Raisa bercita-cita menjadi dokter hewan sekaligus penulis seperti James Herriot. Ia memiliki 15 kucing di rumahnya. "Saya sayang pada binatang, jadi saya tergerak jadi dokter hewan. Tapi saya juga ingin jadi wartawan BBC, bisa merambah ke mana-mana, subyeknya mendunia," kata Raisa Aurora yang bertekad terus menulis.<br /><br />Sumber : Kompas, Sabtu, 9 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-69978530269874187532009-06-29T22:41:00.002+07:002009-07-02T22:50:00.927+07:00Makarim WibisonoLebih Jauh Dengan : Makarim Wibisono<br />Pewawancara : <span style="font-weight: bold;">Nugroho F Yudho</span><br /><br />ADA yang menarik dalam Sidang Ke-51 Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komisi HAM PBB) yang digelar di Geneva, Swiss, mulai 15 Maret dan akan berakhir 22 April 2005 mendatang. Untuk tahun 2005, sidang Komnas HAM dipimpin oleh diplomat Indonesia, Makarim Wibisono. Menarik, karena Indonesia yang sering dicitrakan sebagai negara pelanggar HAM, kini justru tampil untuk pertama kali memimpin forum tertinggi di PBB untuk promosi dan perlindungan HAM.<br /><br />Makarim, yang juga menjabat Wakil Tetap Indonesia di PBB Geneva, memang bukan orang baru di dunia diplomasi multilateral. Mantan wartawan lulusan Fisipol Universitas Gadjah Mada yang bergabung ke Departemen Luar Negeri sejak tahun 1972 itu, memang sudah malang melintang di dunia diplomasi. Awalnya, hingga tahun 1982, dia memang masih berkutat di dalam negeri dengan menjalani hampir semua direktorat di Departemen Luar Negeri. Setelah mengambil gelar master di The Paul Nitze School di John Hopkins University Washington DC (1984) dilanjutkan dengan master sekaligus gelar doktor di Political Economy di Ohio State University, Columbus, Ohio (1987), Makarim kembali ke Indonesia untuk setahun. Tapi sejak tahun 1988, ketika dia kembali ke AS menjadi Minister Counsellor di Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC, Makarim mulai bergaul dengan perundingan multilateral sejak tahun 1991, ketika diangkat menjadi Minister Counsellor di Perwakilan Tetap RI di PBB, New York. Sejak itulah lelaki kelahiran Mataram, 8 Mei 1947 ini terus mengukir prestasinya sebagai diplomat multilateral mulai dari Grup 77, UNCTAD UNDP, ESCAP ASEAN, APEC, sampai IOR-ARC. Dia pernah menjadi Deputi Wakil Tetap Permanent Mission of Indonesia di PBB New York (1994-1997) dan Ketua Grup 77 (1998). Dia juga menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat President Economic and Social Council di PBB New York. Dia juga menjadi Ketua World Peace Assembly on Interreligious and Dialogue Among Civilizations di PBB (2000), serta Ketua Tim Antiterorisme untuk APEC (2003).<br /><br />Terpilihnya Makarim bukan urusan mudah. Menurut Eddi Hariyadhi, Wakil Duta Besar RI di PTRI Geneva, setelah disetujui pemerintah di Jakarta, nama Makarim diusung lewat lobi di kelompok negara Asia di PBB. Makarim diajukan di tengah persaingan India, Pakistan, dan Jepang yang juga menginginkan posisi ketua Komisi HAM PBB untuk tahun 2005. Namun setelah melewati lobi intensif, justru ketiga negara itu ditambah China dan Korea Selatan yang memuluskan jalan Makarim memperebutkan posisi prestisius itu. Beberapa negara Asia serta kawasan dunia lain, akhirnya harus menerima kuatnya dukungan terhadap Makarim.<br /><br />Empat bulan setelah ditugaskan memimpin Perwakilan Tetap RI di PBB Geneva September 2004, Makarim menduduki jabatan Ketua Sidang Komisi HAM PBB. Makarim kini tinggal di rumah dinas yang padat lalu lintas di Geneva bersama istrinya, Eny Sekarwati, yang dinikahinya sejak baru saja lulus kuliah tahun 1972. Tiga anaknya, yaitu Aria Teguh Mahendra (31), Adhy Surya Sidharta (30), dan Aryanti Wulan Savitri (29) tak satu pun yang ikut dengannya karena sudah tinggal di AS dan Indonesia. Di tengah tugas beratnya sekarang, Makarim harus menerima cobaan lain. Istrinya Eny sejak beberapa waktu lalu menderita penyakit kanker yang cukup berat. Tapi Eny terus mendampingi Makarim di Geneva. "Dari begitu banyak dukungan yang saya terima, yang paling memotivasi adalah dorongan istri saya. Dialah yang mendorong saya agar bisa membuktikan kemampuan dan kepemimpinan di Komisi HAM PBB ini. Tak ada yang lebih berarti dari dorongan istri saya," ujar Makarim yang di tengah ketatnya jadwal sidang menyediakan waktu untuk wawancara. Berikut petikannya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">SELAMA bertahun-tahun Indonesia sering menjadi sorotan, sasaran tembak sebagai pelanggar hak asasi manusia, kok berani tampil memimpin Sidang Komisi HAM PBB?</span><br /><br />Isu hak asasi manusia adalah diplomatic matters, masalah diplomatik. Ada beberapa cara menghadapinya. Pertama, kita bersikap reaktif saja, yaitu defensif. Sehingga kita hanya bereaksi dan membela diri jika ada negara atau organisasi yang mempersoalkan pelaksanaan HAM di Indonesia. Tapi pendekatan defensif rasanya hanya cocok untuk masa lalu. Kini kita ccnderung memakai cara proaktif. Artinya, kita secara aktif menentukan agenda setting, kita yang mengarahkan pembahasan atau bahkan konsensus. Sekarang dan di masa-masa akan datang, kita harus tunjukkan kita sudah menjadi Indonesia baru.<br /><br />Kita sudah memilih demokrasi sebagai cara kita hidup, cara berpolitik yang ingin kita tegakkan, termasuk hak asasi manusianya. Kita tunjukkan bahwa kita bangsa bermartabat. Sejarah menunjukkan bahwa kita mampu berkontribusi pada civilization, budaya luhur. Bahwa kita punya kisah hitam selama 32 tahun tidak demokratis, tidak berarti kita akan tetap begitu selamanya. Sejarah hitam itu sudah lewat. Sudah tutup buku. Dengan cara proaktif, kita bisa menunjukkan kita sudah berbeda. Kita tidak bisa menutup realitas bahwa masih ada kekurangan di sana-sini, tapi kita harus melihatnya secara menyeluruh. Kita harus berupaya agar masalah-masalah HAM tidak lagi dilihat secara selektif.<br /><br />Selama ini kalau pelanggaran HAM terjadi di negara berkembang, sorotan begitu tajam diarahkan. Tapi jika terjadi di negara-negara maju, tidak dipersoalkan. Kita jangan cuma melihat HAM secara sepotong-sepotong. Jangan cuma persoalkan kebebasan berbicara (freedom of speech) atau kebebasan pers (freedom of the press) dan informasi (freedom of information), tapi juga right to food (hak untuk makan) atau right to shelter (hak atas perumahan yang layak) dan hak untuk membangun (right to develop). Jangan lagi kita memolitisasi isu HAM di forum-forum internasional.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Tapi bukankah pembahasan isu HAM memang sangat politis?</span><br /><br />Justru karena itulah kita berinisiatif mengambil posisi pimpinan sidang. Kita ingin agar usaha promosi dan perlindungan HAM tidak selalu dipolitisasi. Sering kita terjebak pada perdebatan yang tidak menyentuh substansi pelanggaran HAM, tapi malah menuntut perubahan sistem politik sebuah negara, menjatuhkan atau mengganti pemerintahannya. Dengan memimpin Sidang Komisi HAM PBB, kita tunjukkan bahwa upaya yang harus dilakukan adalah memperbaiki keadaan agar perlindungan HAM bisa dilakukan maksimal, apa pun sistem pemerintahannya siapa pun penguasanya. Setelah perang dingin usai, masalah ideologi tidak lagi menggigit, tidak lagi banyak dipersoalkan. Yang kini berkembang adalah tema-tema yang perdebatannya bisa sekuat ideologi, seperti HAM, lingkungan hidup, atau prinsip-prinsip good governance.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan maupun High Level Panels Report yang dibentuknya, mengusulkan adanya reformasi di tubuh PBB. Apa masalahnya?</span><br /><br />Begini. Tahun 2005 ini, PBB genap berusia 60 tahun. Di usianya yang sudah cukup lama ini, gereget PBB justru berkurang. Kepercayaan terhadap multilateralisme kini sedang di ambang bahaya. Gaungnya makin mengecil. Kini banyak langkah-langkah unilateral yang dilakukan tanpa mengindahkan lagi Piagam PBB. Negara bisa menyerang negara lain, tanpa otorisasi dari PBB, seperti yang dilakukan AS di Irak.<br /><br />Berkurangnya kepercayaan terhadap multilateralisme ini juga terjadi dalam bidang HAM, seperti juga terasa di Komisi HAM PBB. Komisi ini kini juga punya masalah kredibilitas. Semakin banyak resolusi yang dilahirkan komisi tidak bisa secara efektif dilaksanakan di lapangan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apa Anda sendiri masih percaya pada efektivitas multilateralisme? Bukankah forum regional atau terbatas lebih efektif?</span><br /><br />Saya sudah menekuni masalah-masalah di PBB sejak 1991. Selama itu pula saya melihat adanya dua kubu yang berkembang dalam manajemen di forum internasional. Ada yang percaya pada forum multilateral. Tapi tidak banyak juga yang meragukan efektivitas multilateral karena dianggap bertele-tele dan hanya bisa merumuskan hal-hal berjangka panjang. Mereka memilih untuk penyelesaian lebih mudah, cepat, dan responsif terhadap perkembangan masalah, lewat pengelompokan yang lebih kecil. Barangkali di satu sisi hal itu ada betulnya. Tapi yang harus disadari adalah inti dari multilateralisme adalah kerja sama internasional yang inklusif dengan hasil yang lebih kokoh, karena melibatkan semua pihak.<br /><br />Semua pihak, semua negara, duduk bersama-sama, mencari konsensus dengan prinsip kesetaraan. Tidak ada eksklusivisme. Tidak ada satu negara yang lebih penting dari negara lain sehingga bisa diberi hak veto atau keistimewaan apa pun. Cara-cara eksklusif seperti yang terjadi di Dewan Keamanan PBB adalah cara yang menjauhkan masyarakat internasional dari prinsip demokrasi. Mengapa harus ada negara-negara yang punya hak veto. Anehnya negara-negara yang mengaku pendekar demokrasi-dan setiap saat mendesak negara berkembang agar menjunjung tinggi demokrasi-justru mengingkari prinsip demokrasi dalam forum internasional. Mana mau Dewan Keamanan PBB bicara dengan Indonesia secara setara? Itu tidak fair, itu tidak demokratis.<br /><br />Prinsip demokrasi harusnya tidak hanya diterapkan di tingkat nasional, tapi juga kerja sama internasional. Saya yakin multilateralisme adalah cara paling baik dan benar, apalagi di Komisi HAM PBB ini. Kita harus democratize Komisi HAM PBB. Tidak boleh ada bangsa yang dibiarkan merasa lebih tinggi dari bangsa lain. Saya percaya pada multilateralisme dan itulah yang harus kita perjuangkan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apa ada hasil konkretnya?</span><br /><br />Ada. Saya baru saja berhasil mengajak semua negara-negara anggota Komisi HAM PBB untuk mau menggelar informal meeting atau pertemuan informal pada 12 April minggu depan untuk membahas upaya reformasi Komisi HAM PBB, seperti yang diusulkan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan serta High Level Panels bentukan Sekjen PBB. Ini bukan forum special sitting, yang memang dimungkinkan oleh mekanisme sidang Komisi HAM PBB. Special sitting bisa digelar secara paralel dengan sidang untuk membahas isu tertentu. Tapi biasanya pesertanya terbatas pada negara-negara yang berkaitan dengan isu tertentu. Kali ini, informal meeting melibatkan semua anggota.<br /><br />Sejak dibentuk 59 tahun lalu, baru dalam sidang kali inilah, kita punya forum baru yang namanya informal meeting, yang digelar bersamaan dengan berlangsungnya sidang Komisi HAM PBB. Awalnya tidak ada negara yang setuju dengan gagasan itu. Beberapa negara malah bereaksi keras menolak. Tapi lewat lobi dan pendekatan, saya mempertanyakan sikap mereka yang menolak. Mengapa kita harus menolak munculnya gagasan atau konsep baru tentang perlindungan HAM. Kalau Komisi HAM PBB tidak mau membahas, forum apa lagi yang akan membahas.<br /><br />Akhirnya semua mendukung gagasan informal meeting itu. Maklumlah, karena sudah terbiasa dengan politisasi isu-isu HAM, hal-hal yang bersifat konsep malah sering diabaikan, hanya karena dampak politiknya kurang kuat. Informal meeting itu memang belum tentu menghasilkan konsensus yang konkret. Tapi apa pun hasilnya, acara ini akan memberi gaung baru pada bekerjanya mekanisme multilateral di Komisi HAM PBB.<br /><br />Saya sendiri tidak yakin reformasi Komisi HAM PBB akan terlaksana dalam waktu dekat. Sebab, dengan reformasi itu, Kofi Anan mengusulkan agar Komisi HAM PBB diubah menjadi Human Rights Council, tidak lagi berada di bawah Ecosoc, tapi menjadi sejajar dengan Dewan Keamanan PBB dan Sidang Umum (General Assembly) PBB. Ini ideal sekali. Tapi harus diakui bukan hal mudah, karena negara-negara maju cenderung menolak, apalagi di dalamnya tidak ada eksklusivitas. Tidak ada negara yang punya hak veto seperti di DK PBB.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Bagaimana dengan gagasan agar Komisi HAM PBB membuat global report atas pelaksanaan HAM di seluruh dunia?</span><br /><br />Gagasan itu bagus sekali dan sudah muncul sejak tiga-empat tahun terakhir. Masalahnya, Komisi HAM PBB tak punya kapasitas untuk melakukan global report atas seluruh 191 negara. Kita tidak cukup equipped untuk melakukan itu. Sekretariat Komisi HAM PBB hanya punya 200 staf dan anggarannya hanya dua persen dari total budget PBB. Tanpa adanya global report saja, Komisi HAM PBB menerima sekitar 17.000 laporan pelanggaran HAM setiap tahun. Gagasan agar semua negara menyerahkan 0,7 persen dari GNP-nya sampai sekarang tidak juga jalan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Buat Indonesia sendiri, apa arti kepemimpinan Anda di Komisi HAM PBB?</span><br /><br />Saya berharap bisa membuka mata hati semua elemen bangsa di Indonesia bahwa masalah HAM sudah menjadi arus utama global. Jangan lagi memandang HAM sebagai masalah yang harmful, yang merugikan kepentingan nasional. Penghargaan dan perlindungan HAM justru akan meningkatkan kualitas hidup bangsa. HAM adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan kita sebagai bangsa. Indonesia adalah bangsa bermartabat, yang tahu apa arti humanisme. Artinya, dalam kompetisi globalisasi, kita bukan bangsa nomor dua. Kita jangan lagi punya inferiority complex. Kita harus punya dignity. Pelanggaran HAM adalah masalah dunia yang terjadi di mana saja, termasuk di negara-negara maju yang dikenal sebagai pendekar demokrasi.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Bagaimana rasanya memimpin Komisi HAM PBB, berbanding lembaga lain di PBB?</span><br /><br />Sejak hampir 15 tahun bermain di dunia diplomasi multilateral, Komisi HAM PBB adalah tempat paling berat. Ini menyangkut dignity, sehingga semua negara, apalagi NGO (nongovernmen organization) menjadi sangat sensitif soal HAM. Di sini dimensi sensitivitasnya tinggi. Di sini semua delegasi bicara dengan nada tinggi, cepat meledak. Di Ecosoc, misalnya, kita bisa bicara soal ketimpangan negara maju dan negara berkembang dari tahun ke tahun dengan nada bicara yang sama. Tapi di sini, pelanggaran HAM begitu bervariasi. Inggris yang dikenal pembela HAM, misalnya, tiba-tiba menjadi begitu defensif ketika delegasi dari Irlandia Utara mempersoalkan terbunuhnya hakim di sana. Semuanya emosi. Sebagai ketua saya harus belajar untuk mendengar dan secara sabar menampung semua ledakan emosi itu. Level kemarahan orang di sini, tiga sampai empat kali lebih peka dibanding semua lembaga PBB yang pernah saya masuki.<br /><br /><span style="font-style: italic;">NGO menambah ramai sidang, apa tidak menyulitkan?</span><br /><br />Dibanding semua lembaga PBB lain, tidak ada lembaga lain yang seperti Komisi HAM PBB, yang memberikan keterlibatan begitu besar pada NGO. Ini menjadi bagian penting dari perlindungan HAM, karena dari tangan merekalah pelanggaran berbagai aspek HAM diangkat untuk dicari jalan keluarnya. Ada yang memang berangkat dari humanisme, tapi tidak sedikit juga yang membawa agenda tertentu atau menjadi kelompok penekan untuk kepentingan negara tertentu. Tapi itu sah-sah saja dalam demokrasi kan. Ide melibatkan NGO itu merupakan terobosan penting yang bagus. Kalaupun ada yang mengganjal adalah jumlahnya terlalu banyak dan masalah yang mereka sampaikan sering kali sama atau tumpang tindih.<br /><br />Anda lihat sendiri kan, untuk satu topik saja, jumlah NGO yang bicara bisa 110 delegasi. Padahal kita punya belasan topik di sidang. Mengapa begitu banyak, maka yang mesti menjawab adalah komite NGO di Ecosoc. Sebab, merekalah yang memberi dan mengevaluasi akreditasi sekitar 1.200 NGO setiap tahun. Syukur-syukur kalau di antara mereka sendiri ada kerja sama sehingga untuk masalah-masalah yang sama, mereka bisa bergabung. Saya sendiri banyak meluangkan waktu untuk berdialog dengan mereka, sebelum atau bahkan secara paralel dengan sidang-sidang. Memang dibanding lembaga PBB lain, Komisi HAM PBB terasa agar hiruk-pikuk, ramai oleh pernyataan, aksi, atau diskusi paralel yang digelar bersamaan dengan sidang. Pengambilan keputusan memang dilakukan hanya oleh negara. Tapi sebelum keputusan, biasanya di luar sidang lobi gencar dilakukan, bukan saja antarnegara, tapi juga melibatkan NGO. Tapi bukankah itu bagian dari indahnya demokrasi.<br /><br />Sumber : Kompas, Minggu, 10 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-45322467773214790322009-06-28T23:03:00.001+07:002009-07-02T22:55:22.147+07:00Endang Wiharso, Energi Seni Kulit TelurEntang Wiharso, Energi Seni Kulit Telur<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Efix Mulyadi</span><br /><br />Para bakul telur puyuh mendapat rekanan baru yang unik: seorang perupa. Sang perupa tidak membeli isi untuk dimakan, melainkan hanya kulit semata untuk bahan pembuatan karya-karya seni.<br /><br />"Semula saya beli telur puyuh untuk mendapat kulitnya. Lama-lama terpikir, wah, jadi mahal banget nih. Akhirnya saya temui bakul untuk membeli khusus kulitnya saja," tutur Entang Wiharso selagi asyik mengawasi pemasangan sejumlah patung atau obyek dari seni instalasinya untuk pameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta tanggal 8-17 April 2005. Pameran tunggalnya yang ke-14 ini bertajuk "Inter-Eruption".<br /><br />Bagian permukaan patung dari bahan resin ia lapisi kulit telur dengan lem kayu. Jadilah permukaan patung, yang umum menggambarkan manusia atau makhluk mirip manusia, menjadi kasar. Warnanya didominasi oleh bercak coklat tua atau putih padam, yaitu warna asli kulit telur itu.<br /><br />"Saya minta para bakul itu mengupas telur dengan hati-hati sehingga bisa diperoleh kulit-kulit dengan bentangan luas. Mereka mau. Rupanya mereka senang karena menjual kulit itu artinya sekaligus membuang sampah basah yang bau bukan main. Giliran saya yang terkena bau, he-he-he...," katanya tentang kulit telur yang mesti dijemur sampai setengah kering agar masih tetap lentur, sementara bau ikut pergi.<br /><br />Justru berkat sifat gampang retak atau pecah itulah kulit telur menjadi berharga bagi dunia seni.<br /><br />"Tiga teman yang mengerjakannya menjadi lebih berhati-hati agar tetap utuh ketika ditempel. Fragility itu yang saya cari. Saya menempelnya ke patung manusia seperti memberi sifat rapuh manusia kepada karya-karya tersebut," tutur Entang yang menampilkan karya kulit telur puyuh pertama kali untuk pamerannya di CP Artspace Jakarta pada tahun 2004.<br /><br />Butuh berbulan-bulan lamanya untuk menemukan metafor yang tepat seperti itu. Pada awalnya ia tertarik pada cara tradisional ketika mencari telur ayam yang baik, yaitu dengan cara menerawangnya. Hal itu muncul untuk karyanya In the Name of President seiring dengan kesibukan orang Indonesia memilih pemimpin yang baru.<br /><br />Ia lukis tubuh-tubuh yang koyak di kanvas ekstra besar untuk mengungkap kecemasan, ketegangan, atau teror yang membuat masyarakat sakit jiwa. Ia memasang ratusan biji mata seukuran kepalan tangan, gergaji, atau boneka untuk seni instalasinya di dalam kisah senada.<br /><br />Memang berbagai pengalaman personal, yang tak jarang ternyata juga menyuarakan pengalaman bersama, menjadi semangat keseniannya. Tinggal di berbagai wilayah budaya, yaitu Tegal, Yogyakarta, dan sempat di Jakarta, menyuburkan pengalaman tersebut. Pengalaman Indonesia yang bangkrut, munculnya ancaman diskriminasi atas nama nilai tertentu, ikut memicu pencarian metafor yang tepat guna seperti kulit telur puyuh.<br /><br />Belakangan, sesudah menikah dengan warga Amerika Serikat keturunan Italia, ia memasuki kancah perbenturan budaya juga dengan intensitas yang berbeda. Bersama keluarga ia bermukim di Kalasan, Yogyakarta, dan di Providence, Rhode Island, Amerika Serikat. Ketegangan budaya itu diimbuh dengan peristiwa 11 September, yang membuat banyak warga Amerika paranoid.<br /><br />"Waktu itu keluar rumah sendirian terasa ngeri. Suhu patriotisme naik. Kalau paspor kita Indonesia, diperiksanya lebih lama dan rumit," tutur Entang tentang pengalaman tidak enak pada bulan-bulan selepas kejadian mencekam tersebut. "Saya naik pesawat Northwest, pesawat pertama yang masuk ke AS selepas 11 September. Saya diinterogasi selama tiga jam di Amsterdam."<br /><br />Pengalaman seperti itu memicu kelahiran sejumlah karya, antara lain Portrait in the Gold Rain-disertakan di dalam pameran di Bentara Budaya Jakarta kali ini. Lukisan tersebut membuat batal pameran tunggalnya di Rhode Island, AS, bulan Januari 2003. Ia menolak permintaan pihak galeri agar lukisan itu tidak disertakan karena menganggapnya illegal, jorok, dan menjurus seksual. Isi lukisan menonjolkan satu sosok lelaki telanjang tengah berjongkok.<br /><br />"Saya tidak suka hal jorok, dan persoalan di lukisan itu juga bukan seksual. Saya ingin menggambarkan manusia yang ditindas oleh sistem, didiskriminasi, dilabelisasi, disisihkan, sampai terkentut-kentut," kata Entang.<br /><br />Pencekalan itu memicu solidaritas para seniman setempat maupun para kurator, yang memindahkan pameran Entang ke tempat lain. Peristiwa yang terjadi di negara kampiun demokrasi itu menyulut dukungan di berbagai media massa terhadap seniman warga Indonesia tersebut. Sempat dibuat pula diskusi untuk membela haknya sebagai seniman.<br /><br />Tinggal di AS juga membuatnya akrab dengan ikon dunia kartun seperti Bart Simpson, yang kemudian ia comot untuk karyanya. "Kartun Bart Simpson itu mengungkap masalah kita, manusia biasa di dalam kehidupan sehari-hari, bukan manusia super," tuturnya.<br /><br />Belakangan sejumlah lukisan maupun karya instalasinya menampilkan sosok berkuping lebar mirip Teddy Bear. Boneka kesayangan anak itu ia sulap menjadi simbol Amerika, yang banyak dipuja tetapi lebih banyak lagi yang membenci.<br /><br />"Saya tertarik ketika Dominic lahir, banyak kado berupa Teddy Bear. Saya tanya ke istri, apa maknanya? Ternyata itu berangkat dari kisah seorang Teddy Roosevelt, pemimpin Amerika saat itu, menyelamatkan bayi beruang," tutur Entang. Dominic Ensar Wiharso dan Marco Emil Wiharso adalah buah pernikahannya dengan Christine Cocca tahun 1997. Christine seorang ahli sejarah seni dan kini mengurus aktivitas seni suaminya.<br /><br />Lelaki kelahiran Tegal, 19 Agustus 1967, ini menjalani masa mahasiswanya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan kerja keras. Ia sempat cuti kuliah untuk membantu keluarga mengelola bisnis makanan kaki lima di Jakarta, yang dikenal sebagai "warung tegal".<br /><br />Kini secara ekonomi kehidupannya sangat baik, tetapi sebagai seniman ia tak hendak mapan di dalam arti berhenti "mencari". Pamerannya di Bentara Budaya Jakarta yang dibuka Jumat (8/4) malam lalu membuktikan hal itu. Ia terpilih bersama tiga seniman lain untuk tampil di dalam Biennale Venesia pada bulan Juni tahun ini. (EFIX MULYADI)<br /><br />Sumber : Kompas, Senin, 11 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-58900438624475716712009-06-28T23:01:00.001+07:002009-07-02T22:59:27.380+07:00Soedjono : Pak Jon dan Keprihatinan Tembang "Dolanan" JawaPak Jon dan Keprihatinan Tembang "Dolanan" Jawa<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">P Bambang Wisudo</span> dan <span style="font-weight: bold;">Rien Kuntari</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Kidang Talun,</span><br /><span style="font-style: italic;">nduwe anak, talun</span><br /><span style="font-style: italic;">mil ketemil, mil ketemil,</span><br /><span style="font-style: italic;">si kidang mangan lembayung…</span><br /><br />BISA dipastikan, petikan syair lagi dolanan bocah berjudul Kidang Talun itu tak lagi akrab di telinga anak zaman sekarang. Justru lagu-lagu bertema dewasa, seperti Cucak Rowo, Rondho Kempling, serta Bojo Loro, yang lebih mereka kenal.<br /><br />Bukan karena lagu-lagu itu kurang bagus, tetapi rasanya sangat tidak tepat untuk dikonsumsi anak-anak. Tetapi, anak-anak pun tidak bisa disalahkan karena minimnya lagu-lagu yang baik bagi mereka." Kalimat itu meluncur dari bibir Soedjono (45), seorang guru agama yang juga pencipta lagu di Salatiga, sebuah kota sejuk nan alami di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.<br /><br />Ia prihatin dengan kondisi itu. Katanya, "Setiap generasi mempunyai hak untuk mendapatkan bimbingan di segala sektor, termasuk budaya." Tidak adanya tembang dolanan anak-anak, lanjutnya, menjauhkan anak-anak dari kehidupan dan budaya yang seharusnya.<br /><br />Pak Jon, begitu ia biasa dipanggil, lalu memberi contoh tembang dolanan berjudul Plek-emplek Ketepu.<br /><br /><span style="font-style: italic;">"Plek-emplek ketepu, wong lanang goleko kayu, lamun golek aja dha menek, lamun menek aja dha mencit, lamun mencit aja dha tiba, lamun tiba aja nganti lara". </span><br /><br />Lagu ini mengingatkan tentang peran seorang lelaki yang kelak menjadi kepala keluarga. Ia harus "mencari kayu", dalam arti mencari nafkah, tetapi tidak perlu ngoyo dan selalu waspada dalam hidup.<br /><br />Dalam tembang Jago Kate, misalnya, Soedjono mengatakan, lagu yang bersyair "jago kate te te te, kukukluruuk … Kok! Amecece ce ce ce, kukuklurukkk… dibalang watu bocah kuncung, keok… mari umuk, mari ngece, sikate katon yen tukung" itu memang sebuah ledekan. Sasarannya seseorang bertubuh kecil, pendek, yang berlagak seperti jagoan tetapi ternyata gampang dikalahkan. Lagu itu menyiratkan sindiran kepada Jepang ketika menjajah Indonesia di era tahun 1942-an.<br /><br />Katanya dengan tandas, "Kita, para orang tua dan guru, cukup risih ketika menyaksikan penampilan anak-anak di media audio visual, di mana mereka diperlakukan sebagai obyek eksploitasi untuk kepentingan komersial semata dengan mengabaikan perkembangan jiwa anak."<br /><br />MAKA Soedjono tergerak untuk mengumpulkan, kemudian melestarikan tembang dolanan bocah tersebut. "Bagi saya, tembang dolanan bocah ini adalah warisan kebudayaan yang adiluhung, karena itu harus dilestarikan," ujarnya.<br /><br />Selain itu, ia pun menangkap keresahan rekan-rekan seprofesi, khususnya guru taman kanak-kanak, sekolah dasar, atau pun madrasah aliah. Dalam arti, animo para guru untuk tetap mengajarkan filosofi dan nilai-nilai budaya kepada anak-anak cukup tinggi. Kendalanya, bahan maupun media tidak tersedia.<br /><br />Hingga saat ini, ia berhasil mengumpulkan sekitar 70 lagu dolanan. Dari jumlah itu, 15 lagu telah ia kemas dalam bentuk satu rekaman kaset. "Semua itu semata-mata untuk keperluan sekolah karena banyak guru yang merasa tidak memiliki bahan dan media untuk mengajarkan tembang dolanan itu," ujarnya.<br /><br />"Saya hanya berharap, anak-anak tidak tercerabut dari akar budaya mereka. Selain itu, lagu adalah bahasa universal, karena itu tidak akan pernah lekang," katanya. Melalui volume I, rekaman yang telah ia buat, Soedjono sengaja mengambil lagu-lagu yang sudah jarang dinyanyikan. Sebut saja, misalnya, Kidang Talun, Dodo Satrio, Esuk-esuk Srengengene, Sinten Numpak Sepur, Jago Kate, ataupun Pitik Tukung.<br /><br />Sengaja ia memilih lagu-lagu yang kurang top karena lagu lain, seperti Gundhul-gundhul Pacul dan Cublak-cublak Suweng, masih cukup sering dinyanyikan. Selain itu, ia mengaku bahwa upaya itu masih menggunakan modal sendiri. Untuk menelurkan volume I kumpulan tembang dolanan bocah itu, ia telah menghabiskan setidaknya Rp 70 juta, jumlah yang memang tidak sedikit.<br /><br />Sementara itu, masih ada sekitar 55 lagu yang perlu dilestarikan. "Yah, pelan-pelanlah. Yang penting, sekarang ini para guru sudah bisa memiliki media untuk mengajar, dan sedikit demi sedikit tembang dolanan ini bisa dilestarikan," katanya perlahan.<br /><br />SOEDJONO memang sosok yang unik. Tak terlalu salah rasanya jika mengatakan ia hidup di dua "dunia". Untuk menopang kehidupan sehari-hari, lulusan Fakultas Tarbiah IAIN ini mengajarkan Ilmu Agama Islam di sekolah dasar negeri di Salatiga. Selain itu, lebih karena seorang teman, ia diminta mengajar seni teater dan musik di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah, Salatiga, serta khusus teater di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, juga di Salatiga.<br /><br />Terlepas dari itu, ia adalah salah satu vokalis Ken Arok, kelompok musik dangdut ternama di Salatiga. Dengan kata lain, di siang hari ia bicara soal agama, sedangkan di malam hari ia sibuk dengan kegiatan musik yang sarat dengan goyang. Pria kelahiran Susukan, Kabupaten Semarang, 12 Agustus 1959, itu hanya tersenyum menghadapi "benturan" tersebut, jika kedua hal itu memang dibenturkan.<br /><br />Bagi ayah empat anak ini, kedua soal itu tidaklah saling berlawanan. "Kita bicara agama adalah untuk mendasari hidup, sementara seni, khususnya musik dangdut, adalah realita," ujarnya.<br /><br />Ia merasa tidak perlu membenturkan kedua hal tersebut.<br /><br />"Bagi saya, semua ini justru membawa kita pada proses pendewasaan dan pematangan diri dalam beragama," kata pria berkulit sawo matang itu. "Malah yang saya takutkan adalah satu hal, jangan sampai saya mengharamkan orang lain, dan yang tidak baik lagi adalah jika saya munafik," ujarnya.<br /><br />Di belantika musik dangdut, ia memang bukan orang asing, bahkan pada tingkat nasional. Tahun 1995, ia menerima penghargaan HDX Award untuk lagu Jodoh yang ia ciptakan.<br /><br />"Lagu itu meledak cukup luar biasa ketika dinyanyikan kelompok (dangdut) Manis Manja," katanya sambil tersenyum.<br /><br />Sumber : Kompas, Selasa, 12 April 2005Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-17942510474515591112009-06-28T22:59:00.000+07:002009-06-28T23:01:02.628+07:00Wayan Sadha : sadha, Kartun, dan Anjing "Sompret"Sadha, Kartun, dan Anjing "Sompret"<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Putu Fajar Arcana</span><br /><br />BAGI orang "desa" seperti Wayan Sadha (57), pariwisata Bali menimbulkan banyak ironi. Kurang dari 10 tahun, Jimbaran, di mana ia dilahirkan 29 Juli 1948, berubah pesat. Dulu desa di selatan kota Denpasar itu hanyalah dusun nelayan kecil yang hanya memiliki akses ke kota lewat laut. Kini kata Jimbaran sendiri mengenangkan akan seafood cafe yang berderet di sepanjang pantai. Lalu turis-turis yang bersantai sembari meneguk berbotol-botol bir.<br /><br />SECARA ekonomi, gerusan perubahan itu jauh meninggalkan Sadha seorang diri. Ia tetap tidak terangkut oleh mesin industri yang bergerak cepat meraih obsesi "kemakmuran". Sebagai manusia "masa lalu", tetapi hidup di riuh industri masa kini, Sadha hadir sebagai paradoks.<br /><br />Sebelum memutuskan hidup sebagai kartunis, Sadha menjalani beragam profesi, yang erat kaitannya dengan kelaparan yang menyertainya sejak kecil.<br /><br />IA pernah menjadi pedagang ikan keliling dengan sepeda ontel di kawasan Denpasar Selatan. Desa-desa seperti Jimbaran, Pecatu, Kedonganan, Suwung, Sesetan, Pemogan, dan sekitarnya adalah wilayah-wilayah yang jadi pasaran ikannya. Tahun-tahun 1970-an, bisa jadi Sadha adalah sedikit dari lelaki Bali yang mau berjualan. Tak lama sesudah itu, dengan sepeda yang sama ia hidup sebagai tukang foto keliling.<br /><br />"Mungkin waktu itu saya satu-satunya tukang foto keliling di wilayah Denpasar Selatan," tutur Sadha. Bagi desa-desa tadi, berfoto menjadi ritual yang "mahal" dan "aneh" karena masih sangat jarang orang yang memiliki kamera.<br /><br />Justru Sadha yang hanya sampai kelas I SR (sekolah rakyat) mengisi peluang itu. Ia belajar memotret dari pengalaman, sebagaimana pula nantinya ia lakukan ketika memutuskan menjadi kartunis.<br /><br />"Saya selalu dipanggil kalau ada upacara, terutama perkawinan. Bahkan pernah pula memotret untuk pembuatan KTP, hi-hi-hi," kenang Sadha terkekeh. Ketika kemudian banyak orang memiliki kamera dan studio foto merebak di mana- mana, profesi tukang potret keliling itu tak lagi laku. Sadha pun kehilangan pekerjaan, padahal ia menanggung enam orang adik.<br /><br />Ibunya, Ni Ketut Jegu, meninggal tahun 1969. Sementara, kata Sadha, ayahnya, I Nyoman Cateng, termasuk nelayan yang kurang rajin. "Jadi sebagai anak tertua saya harus menanggung hidup keluarga," katanya. Tadinya pekerjaan ibunya sebagai buruh angkut di Pasar Badung cukup membantu kehidupan keluarga mereka.<br /><br />SEKITAR awal tahun 1980-an, setelah bersentuhan dengan antropolog asal Perancis Jean Couteau, Sadha memutuskan menjadi kartunis sekaligus wartawan untuk sebuah majalah berbahasa Inggris terbitan lokal Bali bernama Archipelago. Tentulah itu sebuah "profesi" yang sungguh asing bagi orang "desa" seperti dia. Menggambar kartun hampir-hampir tak dikenal dalam tradisi rupa di Bali. Kalau toh sekarang banyak kartunis berasal dari Bali, itu terjadi bukan karena kesadaran tradisi. Profesi kartunis secara langsung "diadopsi" dari dunia Barat.<br /><br />Pada Sadha soalnya menjadi unik. Mungkin kartun-kartunnya ia bikin untuk kepentingan siaran di media massa, tetapi secara bentuk dan isi ia mencerminkan "kedesaan". Gambar-gambarnya mengingatkan pada ilustrasi-ilustrasi yang dibikin untuk dongeng-dongeng Bali. Sementara isinya, yang diungkapkan dalam bahasa Bali, sebagian besar mengisahkan ironi-ironi hidup di alam tradisi yang digempur pariwisata.<br /><br />Dalam satu kartun yang dimuat pada buku Bali To Day karya Jean Couteau, Sadha "menyindir" perilaku para gigolo di Bali. Ia melukiskan seorang gigolo sedang membeli bensin. Seorang karyawan bertanya, "Ngudiang diketone ngejang pipis." (Kok pada itumu menyimpan duit). Dijawab, "Mapan icang ngalih gae nganggon ikut." (Itu karena aku kerja dengan ekor). Gambarnya memperlihatkan seorang lelaki di atas sepeda motor bermerek "Gigolo", membonceng turis perempuan, sedang mengeluarkan uang dari dalam celananya.<br /><br />Tanpa harus menjelaskan modal kerja seorang gigolo untuk meraih uang, kita sudah paham apa yang dimaksudkan Sadha. Di luar soal itu, inilah ironi-ironi yang dibangun Sadha untuk mengkritik berbagai kepincangan yang dihasilkan pariwisata. Ia tidak berangkat dari narasi-narasi di dalam buku, tetapi menjadi saksi pola perilaku "saudara-saudaranya" ketika "bergembira" menyambut pariwisata.<br /><br />HAMPIR pada setiap karyanya suami dari Ni Made Kondri ini memunculkan tokoh anjing bernama Sompret. "Sompret adalah anjing kacang, di mana tak seorang majikan pun yang sudi merawatnya," ujar Sadha. Sompret selalu nyeletuk untuk menyuarakan kepincangan, ketidakadilan, dan pengingkaran terhadap kebenaran.<br /><br />Mungkin Sompret hanya metafor. Dalam bahasa Indonesia sompret artinya terompet. Dan anjing kacang adalah terompet untuk menyuarakan aspirasi orang-orang marjinal, seperti Sadha.<br /><br />Apa yang dilakukan Sadha mengingatkan kita kepada cerita-cerita rakyat di Bali tentang tokoh-tokoh yang bodoh dan miskin, tetapi justru selalu beruntung, atau dengan kebodohannya bisa memperdayai orang lain. Ini juga cerminan hidup Sadha sehari-hari sekarang, yang sepenuhnya bergantung pada kebisaannya menggambar kartun di media-media lokal.<br /><br />Kartun bagi Sadha tak sekadar media untuk menyindir. Ia juga cerminan dari kondisi-kondisi sosial yang kini melanda Bali dengan perspektif lokal. Oleh karena itu, ujar Sadha, apa yang ia kerjakan itulah yang sesungguhnya terjadi. "Tidak ada bumbu-bumbu, saya hanya mengucapkan apa yang saya lihat sehari-hari," tuturnya.<br /><br />Selain tidak terangkut oleh gemuruh industri pariwisata, sebagai kartunis Sadha juga sesungguhnya sebuah anomali. Ia tidak mengikuti arus besar diskursus gambar dan isi kartun di Tanah Air. Bahasa Bali yang digunakannya adalah bahasa rakyat, tetapi ia memotret sebuah realitas aktual yang sedang riuh rendah melanda daerah ini. Maka di situlah ironi-ironi itu berkembang menjadi penggambaran sebuah pencapaian yang timpang dari cita-cita "kemakmuran".<br /><br />Karya-karya Sadha kini tersebar di berbagai penerbitan lokal Bali. Bahkan, tahun 2006 ia berhasrat memamerkan karya-karyanya sebagaimana orang menikmati lukisan. Karya-karya Sadha merupakan cermin yang lain di dalam memahami Bali secara lebih menyeluruh.<br /><br />Sumber : Kompas, Rabu, 13 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-88969689720719901592009-06-28T22:50:00.000+07:002009-06-28T22:59:29.400+07:00Ko Houw Houw : Iwan Nit-Net, "Bank Data" Budaya BantenIwan Nit-Net, "Bank Data" Budaya Banten<br />Oleh : MH <span style="font-weight: bold;">Samsul Hadi</span><br /><br />Sebagai Ko Houw Houw, ia tak dikenal. Namun, jika Iwan Nit-Net (40) yang disebut, warga Kampung Pamarican di Banten Lama hingga orang Baduy Dalam di Kampung Cibeo sekalipun akrab.<br /><br />BERBEKAL kamera, ia suka keluar masuk kampung untuk mencatat dan merekam berbagai informasi seputar budaya Banten. Akibat hobinya itu, anak tunggal pasangan Ko Kian Hoe-Tjioe Lan Eng ini pernah dijuluki "China Edan".<br /><br />"Saya bosan dengan ritual buka toko di pagi hari dan tutup toko di malam hari," tutur Iwan. "Saya kumpulkan data-data kesenian tradisional dan budaya Banten, mumpung orangnya (pelaku kesenian) masih ada."<br /><br />Dokumentasi kesenian tradisional dan budaya Banten itu berupa catatan-yang juga ia simpan di komputer usang berperangkat Pentium 3-selain foto, rekaman kamera, dan barang antik. Semua terserak di ruang kerja yang sempit pada lantai dua rumahnya di Jalan Diponegoro, Kota Serang.<br /><br />ADA juga tumpukan koran lama yang menyentuh langit-langit rumah. Tersimpan juga beberapa barang antik seperti Jejodog (tempat duduk) karya pahatan pelukis Hendra Gunawan (1918-1983) yang diabadikan dalam lukisan Aku dan Istriku di Lonceng Kedua.<br /><br />"Waktu aktif di lingkungan seni kampus, saya kesulitan mencari literatur tentang budaya Banten. Orang-orang sini pun ketika ditanya soal itu, banyak yang tidak tahu," papar pria bernama lengkap Muhammad Iwan Subakti Koharjaya soal awal mula minatnya pada dokumentasi budaya Banten.<br /><br />Sejak itulah ia berkelana dari satu kampung ke kampung lain di wilayah Banten. Ia bertemu kiai, tokoh pendekar, hingga para kokolot (tokoh adat). Asal-usulnya yang keturunan Tionghoa tidak menghambat interaksinya dengan mereka.<br /><br />Ia mampu menjalin persahabatan dengan Jaro Karis, tokoh jawara karismatik dari Lebak, sejak tahun 1985 dan sejumlah kokolot Baduy sejak tahun 2001. "Tidak benar kalau orang Banten fanatik. Kuncinya adalah komunikasi yang kita bangun," kata pria kelahiran Bandung, 23 November 1965, itu.<br /><br />Iwan juga mengumpulkan benda-benda cagar budaya. Data tentang budaya Banten dan benda-benda cagar budaya tersebut menjadikan rumahnya seperti "bank data" budaya Banten.<br /><br />Benda cagar budaya itu berupa gerabah, pedang, keris, meja, lemari, mata uang, fosil batu, alat pertanian, serta keramik kuno buatan Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Eropa. Sebagian dari benda-benda itu diserahkan pemiliknya karena bosan atau ingin ada yang merawatnya.<br /><br />"Sebagian benda-benda tersebut masih disimpan pemiliknya sampai saya mempunyai mitra untuk membuat sebuah tempat penyimpanan," ujar Iwan. Ia bercita-cita benda-benda cagar budaya itu kelak mengisi museum daerah Banten, yang tengah dia rintis bersama rekan-rekannya.<br /><br />"Banyak benda cagar budaya Banten yang berpindah tangan, berpindah tempat bahkan hingga ke luar negeri. Ini sangat merugikan Banten yang kelak sangat sulit menemukan titik terang sejarah Banten," kata ayah dari Mimosa Pudica Koharjaya (11), hasil perkawinannya dengan wanita asli Serang, Lia Mulyasih (35).<br /><br />MINAT Iwan pada dokumentasi budaya Banten terbangun sejak ia masih di sekolah dasar. Saat itu ia sering diajak berkeliling ke berbagai tempat oleh ayahnya, Ko Kian Hoe (72) alias Sianfu atau Chemy SNF, wartawan dan pendiri majalah bulanan Oetoesan Banten, media cetak pertama di Banten setelah Indonesia merdeka, yang terbit tahun 1954.<br /><br />Berbekal kamera yang dibelikan ayahnya waktu itu, ia mulai mengasah kemampuannya di bidang fotografi. Sebagian koleksi fotonya tentang budaya Banten telah dimuat di beberapa media cetak. Berkat kekayaan data-datanya, jebolan Fakultas Teknik Sipil Sekolah Teknik Tinggi Tirtayasa Cilegon tanpa ijazah itu dipercaya menggarap Menara Banten, majalah bulanan yang dikelola Pemerintah Provinsi Banten, tahun 2003-2004.<br /><br />Iwan sering didatangi mahasiswa yang menyusun skripsi tentang Banten maupun wartawan yang memerlukan foto-foto itu. "Semua itu saya berikan secara gratis dan tidak ada yang ditutup-tutupi," ujarnya.<br /><br />Foto-foto mengenai budaya Banten tidak dia jual, kecuali kepada perusahaan, seperti kepada PT Angkasa Pura II yang membeli 50 lembar foto berukuran 10R untuk dipasang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.<br /><br />Ia sering diminta memandu para pemburu khazanah budaya Banten. Beberapa peneliti di Badan Arkeologi Nasional, Museum Nasional, Universitas Leiden (Belanda), Universitas Kyoto (Jepang), dan Pusat Kebudayaan Jepang juga sering mengontaknya untuk berdiskusi soal budaya Banten.<br /><br />SEPERTI diakuinya, Iwan telah keluar dari stereotip tentang keturunan Tionghoa: piawai berbisnis, kurang peduli sekitar, dan pasti kaya raya. Berkali-kali usahanya gagal, mulai dari layanan jasa desain, perusahaan furnitur, hingga usaha warnet. Tidak ada peninggalan dari bekas usahanya kecuali nama "Nit-Net" yang dikutip dari nama warnetnya.<br /><br />Selain menekuni jalur budaya, ia juga aktif dalam Yayasan Seng Pho-bergerak di bidang pendidikan dan dokumentasi sejarah-di mana ia menjadi salah satu pendiri dan sekretarisnya.<br /><br />Iwan menggalang komunitas Wong Banten sebagai basis gerakan untuk membentuk karakter masyarakat lokal, dengan jaringan para warga Banten yang tersebar hingga ke luar negeri. Komunitas itu berupaya menggali identitas budaya lokal, yang hingga 4,5 tahun setelah Provinsi Banten berdiri, masih menjadi tanda tanya.<br /><br />Belakangan ini ia mulai menggarap komunitas pertanian dengan menawarkan pupuk gratis kepada para petani sebagai uji coba meningkatkan produksi padi. "Jika produksi padi mereka meningkat lebih dari satu ton, petani memberikan gabahnya 50 kilogram yang dikumpulkan untuk membantu warga yang kekurangan pangan," tuturnya.<br /><br />Dengan begitu, Iwan ingin membuktikan: bergerak di jalur budaya bukanlah sesuatu yang mengawang-awang, teoretis, dan elitis. Mengenai hal itu, ia berkata, "Bagaimana mau bicara soal character building plan jika perut masih kosong." (MH SAMSUL HADI)<br /><br />Sumber : Kompas, Kamis, 14 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-32128472618614279422009-06-28T22:45:00.000+07:002009-06-28T22:48:45.449+07:00Catharina Wijanto : Rini Akan Mengantarkan Anda di HamburgRini Akan Mengantarkan Anda di Hamburg<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Taufik H Minhardja</span><br /><br />Ayahnya bilang begini,"Sebelum usia kamu 40 tahun, kamu itu mesti kerja mati-matian. Kalau kamu tidak bisa melakukan itu, maka hidupmu gagal."<br /><br />PESAN almarhum ayahnya itu terngiang-ngiang terus dalam pikiran perempuan paruh baya bernama Catharina-yang akrab dipanggil Rini. Karena itu, ia ingin selalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari supaya ia tidak termasuk dalam orang-orang yang hidupnya gagal.<br /><br />Ayahnya yang keturunan China meninggal tahun 1995, sedangkan ibunya yang berdarah Betawi meninggal berbarengan dengan peristiwa gempa bumi dan tsunami di Aceh pada 26 Desember tahun lalu.<br /><br />Tahun 1988 Rini dinikahi Hermann Wijanto, seorang pelaut yang sudah selama 30 tahun bekerja di kapal Jerman. Hermann mengajaknya pindah ke Hamburg. Di sana Rini gigih mencari pekerjaan, yang membawanya ke dunia yang selama ini digeluti kaum pria, yakni menjadi sopir taksi. Profesi itu sudah ia jalani selama delapan tahun terakhir.<br /><br />PERTEMUAN Kompas dengan Rini pada hari Sabtu, 9 April, itu tidak disengaja. Cuaca yang dingin di bawah 10 derajat Celsius yang disertai angin kencang pada petang itu memaksa kami berempat untuk naik taksi, daripada berjalan kaki, dari sebuah kantor di pusat kota ke hotel, yang jaraknya sekitar tiga kilometer.<br /><br />Kami berjalan ke arah taksi yang sedang berjejer menunggu penumpang di seberang mal C & A. Kepada sopir taksi yang terdepan itu, kami bertanya apakah empat orang boleh naik dalam satu taksi. Tanpa diduga, sopir itu menjawab dalam bahasa Indonesia, "Boleh!"<br /><br />Suaranya terdengar suara perempuan. Rupanya jaket penghangat tubuh berwarna kuning serta topi putih yang dikenakannya tidak serta-merta menunjukkan bahwa sopir itu seorang perempuan.<br /><br />Mendapat jawaban seperti itu, kami lalu menaiki taksi tersebut dengan penuh keriangan disertai kekaguman. Sambil ngobrol macam-macam, Rini lalu mengantarkan kami ke Suitehotel. Sesampainya di depan hotel, kami lalu menyerahkan ongkos taksi 6 euro atau sekitar Rp 75.000.<br /><br />Sayang Rini waktu itu menolak diajak makan malam bersama. "Saya malam ini sudah punya janji untuk ngerumpi dengan ibu-ibu asal Indonesia," kata Rini, sambil menyebutkan sebuah tempat. Ia menyatakan tidak enak kepada tuan rumah kalau ia harus membatalkan janji begitu saja. Apalagi pertemuan itu diselenggarakan hanya sebulan sekali.<br /><br />Perempuan asal Cibubur, Jakarta Timur, itu kini memakai nama Catharina Wijanto dan tinggal di Marienthaler Strasse, Hamburg. Pasangan ini memiliki tiga anak: dua anak perempuan yang dilahirkan di Indonesia dan bungsu laki-laki lahir di Jerman.<br /><br />Ketiganya masih bersekolah. Yang terbesar akan menjadi guru taman kanak- kanak, yang kedua ingin menjadi asisten dokter, sedangkan yang ketiga masih di tingkat SMP.<br /><br />Sebagai seorang ibu, Rini biasa bangun pagi, pukul 06.00 atau 08.00. Lalu ia mengerjakan pekerjaan seperti ibu-ibu lainnya, misalnya mempersiapkan masakan bagi anak-anaknya dan mencuci. Sekitar pukul 10.00 ia baru memulai pekerjaannya sebagai sopir taksi hingga sekitar pukul 16.00 atau 18.00.<br /><br />Dengan begitu, ia bisa membantu suami dalam menghidupi kebutuhan keluarganya pada tingkat yang cukup.<br /><br />"Saya harus membayar sewa apartemen 700 euro sebulan (sekitar Rp 8,6 juta). Belum lagi kebutuhan sehari-hari, urusan listrik, dan macam-macam," katanya.<br /><br />RINI bercerita, selama menjadi sopir taksi, ia tidak mengalami kesulitan apa- apa karena hanya membawa kendaraannya siang hari. "Malam hari giliran suami saya membawa mobil ini," ujarnya.<br /><br />Suaminya yang dulu pelaut kini beralih profesi, dengan memiliki taksi yang bermesin Mercedes Benz itu. Di Jerman, kata Rini, setiap taksi harus dimiliki oleh sebuah perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaan itu hanya memiliki satu taksi saja, seperti perusahaannya itu.<br /><br />Menjadi sopir taksi, kata Rini, tidak gampang. Rini harus melalui dua tahap, yakni memiliki SIM biasa, lalu SIM taksi, yang keseluruhannya baru bisa dimiliki dalam waktu enam bulan. Tesnya macam-macam. Salah satu jenis tes yang harus dijalani adalah mencari alternatif jalan terdekat untuk satu tujuan tertentu.<br /><br />Tes itu penting, ujar Rini, sebab berdasarkan kuitansi pembayaran taksi itu, penumpang bisa mengajukan tuntutan kalau ternyata ia dibawa melalui rute yang jauh, apalagi berputar-putar dengan sengaja.<br /><br />"Jarang di sini penumpang yang kurang ajar. Mereka baik-baik. Biasanya kita yang mengucapkan selamat pagi atau siang terlebih dahulu. Di sini sering sekali saya disapa lebih dulu oleh mereka," ujar Rini.<br /><br />Sering juga Rini membawa penumpang nenek-nenek. "Mereka paling banyak ngoceh-nya. Ngomong melulu sepanjang jalan. Mungkin karena di rumahnya sendiri jarang ngomong ya," kata Rini sambil tersenyum.<br /><br />Dulu Rini sering bertemu dengan ibu-ibu dari Konsulat RI. "Sekarang enggak pernah sejak Dharma Wanita bubar. Paling-paling pertemuan sebulan sekali, seperti nanti malam, dengan ibu-ibu lainnya. Kangen-kangenan bercanda dalam bahasa Indonesia," kata Rini.<br /><br />Selama menjadi sopir taksi selama delapan tahun, Rini juga belum pernah bertemu dengan sopir perempuan.<br /><br />Rini mengatakan tidak tahu lagi harus bekerja di mana di Hamburg untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Tetapi, menjadi sopir taksi secara bergantian dengan suaminya, menurut Rini, sudah bisa mencukupi kebutuhan standar hidupnya di Hamburg.<br /><br />"Pilihannya memang kita harus bekerja 24 jam untuk cari duit, ya untuk anak-anak saya itu," kata Rini.<br /><br />Kepada Rini ditawarkan untuk mengantarkan kami dari hotel ke bandara Hamburg keesokan harinya, Minggu siang. Namun Rini mengatakan tidak bisa memberikan janji, apalagi Minggu merupakan hari libur, kesempatan yang jarang bagi dirinya untuk bercengkerama dengan keluarga.<br /><br />AKHIRNYA Rini berpamitan, menyetir sendiri lagi taksinya, berharap mendapatkan penumpang baru.<br /><br />Kalau Anda ke Hamburg, mudah-mudahan Anda berkesempatan bertemu dengan Rini, seorang pejuang yang dengan senang hati akan mengantarkan Anda dengan Mercedes Benz kuning bernomor HH UM 2521 itu.... (TAUFIK H MIHARDJA)<br /><br />Sumber : Kompas, Jumat, 15 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-48753867706530117662009-06-28T22:42:00.000+07:002009-06-28T22:45:24.165+07:00Andy Pramoedya, Cetak "Offset" dari BanyuwangiAndy Pramoedya, Cetak "Offset" dari Banyuwangi<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">S04</span><br /><br />Kelangkaan akibat penghentian produksi menjadikan P Andy Pramoedya (61) memutuskan membuat mesin cetak offset berkemampuan cetak maksimal seukuran kertas folio. Permintaan pasar terhadap jenis mesin ini cukup tinggi sehingga harganya mahal, padahal yang ada di pasaran sekarang ini pun teknologinya masih sederhana. Hal itu membuat Andy semakin menggebu-gebu membuat mesin cetak offset kecil berteknologi tinggi, andal, dan murah.<br /><br />Teknologi yang diterapkan adalah pengaplikasian sensor cahaya dengan serat optik. Cara kerjanya, dengan memanfaatkan celah masuk kertas yang menutup sensor pada saat kertas lewat.<br /><br />Ketika cahaya merah sensor itu tertutup kertas, secara otomatis tabung ketiga (impression tube) naik ke atas, memberikan tekanan pada kertas yang berada di antara impression tube dan tabung kedua berupa gulungan karet padat (blanket tube). Gulungan karet padat ini sebelumnya juga menerima tekanan dari tabung pertama yang dipasangi pelat cetak untuk menerima pencitraan cetak yang ditembakkan dari pelat tabung pertama.<br /><br />"Aplikasi teknologi ini untuk mengatasi paper jam (kemacetan kertas–Red), terutama pada saat mencetak kertas rangkap yang sangat tipis," ujarnya menguraikan.<br /><br />Sejak dua setengah tahun lalu Andy membuat 11 prototipe mesin dengan membedah tiga mesin cetak offset bermerek Toko 820 dari Jepang. Awal Januari 2005 Andy berhasil membuat mesin cetak offset yang layak dilempar ke pasaran.<br /><br />ANDY bisa menjual mesin produksinya seharga Rp 17 juta. Padahal, mesin sejenis harganya Rp 87 juta.<br /><br />Hanya dua bulan sejak produksi perdananya, mesin itu terjual enam unit. Dua unit dijual ke Jakarta. Sisanya ke Denpasar, Probolinggo, Bandung, dan Toli-toli, Sulawesi Tengah. Mesin cetak offset buatannya memiliki pasar sangat besar, terutama pengusaha yang bergerak di skala cetak menengah-kecil.<br /><br />Kecepatan mencetak sebesar satu rim (500 lembar-Red) per 10 menit, lebih tinggi dibandingkan dengan mesin sejenis, menjadi fitur unggulan dalam merengkuh pasar. Konsumsi listrik yang hanya sekitar 250 watt menjadi kelebihan lain.<br /><br />Dengan empat karyawan dan kemampuan produksi rata-rata hanya dua unit per bulan, Andy tidak berani mengikat perjanjian dengan pemasok di Jakarta. Karyawan berpendidikan SMA didatangkan dari Tuban dan Probolinggo serta dididik langsung oleh Andy.<br /><br />Untuk memudahkan calon konsumen mengenali mesinnya, Andy melekatkan angka 820 di belakang merek Smart. Mirip mesin sejenis produksi Jepang bermerek Toko 820. "Kenapa takut, ini kan seperti kata mild, yang dipakai beberapa merek rokok," ujarnya ketika ditanya soal hak atas kekayaan intelektual berkaitan dengan merek yang dipasang itu.<br /><br />SEJAK memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Mater Dei Probolinggo, dilanjutkan ke SMP Kolese Santo Yusuf Malang, sampai menamatkan pendidikan menengah atas di sekolah Hwa In (nama lain Kolese Santo Yusuf) di Klojen, Malang, pria kelahiran Banyuwangi, 24 Desember 1944, ini tidak pernah merasa cocok dengan pendidikan di sekolah. Ia sempat drop out dari sebuah perguruan tinggi di Jakarta sebelum menekuni dunia industri.<br /><br />Andy belajar mengenal segala jenis mesin, seperti mesin penggilingan (milling), rajut (weaving), dan tenun (woven), dari seorang petinggi di perwakilan Fuji Engineering Industrial di Jakarta bernama Yuichi Ishijiwa. Ia mengenal Yuichi lewat sopir pribadinya pada tahun 1970-an.<br /><br />Yuichi mengajak Andy menengok sejumlah pabrik di Indonesia, seperti pabrik kaolin di Bangka Belitung dan pabrik kalsium karbonat di Simalungun, Sumatera Utara, bahkan sampai Tokyo, Jepang. "Saya dipanggil Apollo oleh Yuichi karena sangat cepat saat bekerja," ujar Andy yang meniti karier di Fuji Engineering Industrial sejak tahun 1976.<br /><br />Tahun 1980 Andy menjadi manajer pabrik pada perusahaan oil seal di Kawasan Industri Jatake, Tangerang. Perusahaannya, PT Arsartamara, merupakan hasil kongsi antara Yuichi Ishijiwa (Fuji Engineering Industrial) dengan Hendrik Suhardiman dari Bank Tamara serta Ronny Mandagi dari Bank Artha Pusara.<br /><br />Tahun 1983 ia kembali ke Surabaya, menekuni dunia percetakan. Tahun 1987 Andy mulai belajar prosedur impor mesin-mesin cetak rekondisi-mesin bekas yang telah digunakan sekitar lima tahun di Jepang-yang diakrabinya hingga tahun 1997. Penyakit diabetes dan krisis ekonomi membuat Andy merumahkan belasan karyawannya dan menjual seluruh aset perusahaan sekitar Rp 800 juta.<br /><br />Kondisi ekonomi yang tak menguntungkan memaksanya untuk "banting setir". Kegelisahan akan ketergantungan Indonesia pada barang-barang impor membuat Andy "gatal" untuk mengutak-atik berbagai mesin yang dulu diimpornya. "Kita ini sangat import minded," tutur anak kedua dari lima bersaudara itu.<br /><br />KINI usahanya menemukan titik terang. Andy sangat yakin terhadap pasar mesin produksinya. Perkembangan mesin cetak yang menuju konvergensi dengan berbagai perangkat digital, menurut Andy, belum memengaruhi besarnya permintaan mesin-mesin cetak konvensional seperti yang saat ini ia kembangkan. "Dalam 10 tahun pun kita belum tentu bisa menyejajarkan diri dengan perkembangan teknologi digital dalam dunia percetakan," katanya.<br /><br />Andy yang beristrikan Maria Magdalena memiliki tiga anak perempuan, yaitu Rika Agrippina (37), Rita Faira (35), dan Jeanne Christine (20). Dua di antaranya telah memiliki karier mapan, masing-masing sebagai manajer sebuah hotel berbintang di Jakarta dan instruktur piano. Karena tidak seorang pun anaknya berminat mengikuti jejaknya, Andy mempersiapkan karyawannya sebagai penerus usahanya. (S04)<br /><br />Sumber : Kompas, Sabtu, 16 April 2005Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-73547412359091930402009-06-28T22:05:00.000+07:002009-06-28T22:40:59.598+07:00I Gusti Agung Rai KusumayudhaI Gusti Agung Rai Kusumayudha<br />Pewawancara : <span style="font-weight: bold;">Brigitta Isworo L</span> dan <span style="font-weight: bold;">Ida Setyorini</span><br /><br />SOSOK pria tinggi besar dengan tubuh kekar ini, yang dikenal dengan nama Ade Rai, sudah identik dengan dunia binaraga dan dunia fitness. Mungkin tidak banyak yang tahu, di balik tubuh besarnya, Ade adalah sosok dengan tutur kata yang halus, sikap santun, ramah, dan cerdas.<br /><br />Putra kedua dari empat putra-putri pasangan I Gusti Rai Widaja (almarhum) dengan Selena Susanti ini dalam setiap kesempatan selalu menekankan, "Mengapa punya badan gede harus sangar? Seolah-olah badan gede adalah tukang pukul, badan gede itu galak. Kenapa mesti begitu? Justru mestinya adalah bagaimana kita memotivasi orang lain menjadi inspirasi bagi orang lain. Bukan intimidasi."<br /><br />Bagi Ade, prestasi mendunia yang telah diraihnya di bidang binaraga bukanlah tujuan utama. Kini di depannya terpapar tantangan berat, bagaimana membuat olahraga binaraga dan olahraga fitness menjadi sebuah gaya hidup, yaitu gaya hidup sehat menjadi lebih memasyarakat. Selebihnya, dia bercita-cita mengembangkan industri di seputar olahraga ini.<br /><br />Diselingi menyantap hidangan kembang tahu-makanan tinggi protein yang sesuai bagi kebutuhan tubuhnya sebagai binaragawan-dan mencicip cake oatmeal buatan sang istri, Kenny Amelia, perbincangan berlangsung hangat di apartemen Ade dan Kenny yang mungil, rapi, dan apik di Kelapa Gading.<br /><br />Ade, duta antirokok WHO pada tahun 2002 yang dilahirkan di Jakarta, 6 Mei 1970, ini bertutur banyak tentang kasus skorsingnya tahun 2002, usahanya di bidang fitness dengan Klub Ade Rai-nya, tentang keterlibatannya di dunia karate, penghargaan terhadap atlet, perlawanannya terhadap penyalahgunaan obat, sukses hidupnya, dan tentang sang bapak yang disebutnya sebagai number one fan- nya. Di bawah ini kami sajikan cuplikan wawancara Kompas dengan pria penikmat film dan musik ini. (Film yang inspiratif bagi Ade antara lain Over the Top dan Rocky-keduanya dibintangi Sylvester Stallone).<br /><br /><span style="font-style: italic;">APA saja prestasi tertinggi di binaraga?</span><br /><br />Tahun 2000 saya juara dunia di kejuaraan binaraga Professional Super Body dan Muscle Mania World di Amerika Serikat. Mulainya tahun 1995 saya juara dua, lalu tahun 1996 di Amerika saya juara overall, tahun 2000 saya juara pro. Sekarang bukan hanya saya yang juara, Komang juga juara di Muscle Mania World di California, AS, tahun 2004. Sedangkan Ricky Syamsuri dan Taat Pribadi juara di tingkat amatir. Sama-sama di kejuaraan dunia natural.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Perpecahan di organisasi binaraga, dengan dikeluarkannya binaraga dari PB PABBSI (Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi, Binaraga, dan Angkat Berat Seluruh Indonesia) dan dimasukkan ke Federasi Binaraga Indonesia (FBI), bagaimana Anda bersikap?</span><br /><br />Menurut saya, ini karena sebagian dari pengurus itu memiliki perbedaan visi sehingga keluar dan membentuk organisasi baru. Padahal, atletnya ada di PABBSI. Memang sekarang FBI yang diakui Federasi Binaraga Asia (ABBF), dan opini publik dibuat, bahwa PABBSI tidak benar. Menurut saya justru ABBF sendiri yang kurang bijaksana dalam melihat permasalahannya. Akhirnya atletnya bingung. ’Gimana De, boleh enggak bertanding di FBI?’ Menurut saya, atlet sih bisa bertanding di mana saja. Kalau kenyataannya FBI bisa memajukan olahraga ini, mengapa tidak. (Namun, bagi saya, kalau membantu mereka, ya jangan harap. Menurut saya, ide pendirian federasi ini tidak dengan cara yang benar). Inovasi muncul karena kompetisi, prestasi muncul karena kompetisi. Kalau dilihat dari sisi itu, positif. Tetapi ada negatifnya, yaitu saling jegal, saling mendiskreditkan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Anda punya kekhawatiran?</span><br /><br />Cepat atau lambat perpecahan itu akan lebih besar lagi. Andai Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat bijaksana, KONI bisa bilang begini, ’Selama ini PABBSI sudah menjalankan binaraga dan sudah jalan. Pembinaan lokal biar dipegang PABBSI, kalau internasional khususnya untuk multievent, FBI bertanggung jawab memilih atlet. Artinya, KONI bisa menyatukan mereka. Biarkan saja atlet memilih. Kalau multievent, atlet FBI saja yang ikut. Saat single event tetap bisa ikut Muscle Mania, dengan PABBSI. Kalau PON, bisa dua-duanya ikut. Kalau KONI memilih satu pihak saja, perpecahan itu akan terjadi. (Tahun 2000 Ade kena skors tidak boleh turun di Kejuaraan Asia akibat mengikuti kejuaraan Muscle Mania yang terakhir kali diikutinya tahun 1999. Kejuaraan Muscle Mania tidak diakui Federasi Binaraga Internasional atau IBBF. Dia juga dilarang turun di Asian Games tahun 2002 akibat main iklan- yang sudah tidak tayang tahun 2000). Binaraga bukan olahraga mayoritas. Sangat menyedihkan jika peminatnya sendiri mau memecah belah seperti itu. Di Indonesia binaraga tidak seterkenal bulu tangkis, sepak bola, voli, dan basket. Padahal, federasi internasional binaraga itu no boundaries, no politics involved, no money, no apa pun. Dalam kenyataannya tidak seperti itu. Lambat laun respek saya terhadap federasi bina raga internasional yang resmi semakin pudar.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Bagaimana prospek binaraga di kompetisi internasional?</span><br /><br />Kalau KONI hanya berpikir binaraga itu multievent, itu salah. Binaraga tidak selalu ada di multievent, bahkan di Olimpiade tidak pernah. Di Asian Games (AG) baru sekali dipertandingkan, yakni di Pusan tahun 2002. Kita banyak diatur- atur. Atlet tidak boleh main iklan, tidak boleh pakai colour tertentu. Jadi, untuk SEA Games ke depan, kita bisa hitung-hitungan. Bisa dapat satu emas saja sudah bagus. Lalu, bagaimana mau mengangkat citra bangsa di mata internasional?<br /><br /><span style="font-style: italic;">Lalu, nasib binaragawan jika tidak ada pertandingan?</span><br /><br />Menjadi binaragawan tidak harus menjadi competitive body builder. Misalnya, Nano de Mayo dulu kerjanya jaga di beberapa tempat, seperti di Hard Rock. Karena kecintaannya terhadap fitness, dia mau belajar. Dia tidak pernah jadi juara DKI, dia tidak pernah juara nasional. Namun, dia bisa ikut kejuaraan di Malaysia. Dia belajar dengan baca buku. Akhirnya dia lancar menjelaskan olahraga ini. Kini dia menjadi personal trainer. Itu bayarannya bagus.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Dulu Anda juara panco, lalu pernah ikut bulu tangkis dan bola voli, bagaimana bisa jatuh cinta pada binaraga?</span><br /><br />Potensi, bakat, dan kesukaan saya ada di sana. Waktu badminton, saya setiap hari latihan dengan Ardy Wiranata (peraih medali perak tunggal putra di Olimpiade Barcelona-Red), teman baik saya di klub Djarum. Niat saya juga mau jadi pemain bulu tangkis, tetapi motivasi saya kalah besar dari Ardy. Kalau week end atau libur, Ardy bilang, ’De, kita lari yuk ke Ancol’. ’Gila aja ha-ha-ha. Orang sudah bisa libur santai’. Secara teknis kondisi fisiknya dan kekuatan otot setiap orang berbeda. Didukung faktor genetik, badan saya bertulang kecil, pinggang kecil, kepala saya juga kecil (tertawa). Jadi, seolah-olah badan saya cepat besarnya. Jadi, ada pengakuan dari luar maupun dari dalam. Binaraga is not about competition, binaraga is about life style, soal gaya hidup sehat. Di dunia fitness, di dunia kesehatan, pemeonya adalah we are what we eat.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Kegiatan di luar binaraga?</span><br /><br />Kebetulan semua berhubungan dengan fitness. Majalah sudah pasti. Kami punya fasilitas olahraga Klub Ade Rai, ada 12 di Indonesia. Jangan salah ya, tempatnya bukan tempat saya, tetapi Klub Ade Rai- nya. Saya memiliki reputasi dan kemampuannya. Kalau ada yang mau membuat sarana olahraga dan punya investasi, bisa kerja sama dengan saya, membuat sesuatu yang positif. Saya selalu ajarkan, atlet harus memiliki multiperan. Jangan hanya selalu berpikir: latihan-bertanding-menang, latihan-bertanding-menang. Di olahraga Indonesia, "ada uang abang disayang, tidak ada uang abang melayang". Atlet juga begitu. Selama dia masih berprestasi, dia akan disayang dan aman posisinya. Tetapi, pada saat prestasinya menurun, tidak ada yang memandang dia. Istilahnya, masa depan atlet suram. Penyebabnya, karena golden age-nya pendek. Maka, saya katakan bahwa atlet harus sekolah, harus belajar, harus punya wawasan. Syukur, untuk binaraga saya bisa buktikan sendiri. Saya bisa kuliah. Jadi, binaraga memungkinkan untuk selesai kuliah dan menjadi atlet binaraga. Di binaraga memungkinkan kita bekerja di bidang lain. Menjadi personal trainer, instruktur, pengusaha, model, bintang sinetron, dan yang lain. Seperti Primus (Yustisio), Marcellino (Lefrand), dan Adrian (Maulana), dulu job-nya jumpa fans lalu foto-foto. Sekarang mereka juga diundang untuk senam dan talk show kesehatan. Menjadi pembicara. Menurut saya, that what body building is all about (itulah makna sebenarnya binaraga). Kemandirian tetap yang paling utama. Orangtua saya pensiunan ABRI. Dulu di SMA ada teman saya mau sekolah ke luar negeri. Saya cuma bisa mimpi. Harga tiket pesawat saja sudah tiga kali gaji bapak saya. Kalau dapat oleh-oleh dari teman kayaknya berharga banget, saya simpen. Tetapi, kemudian ternyata olahraga ini bisa membawa saya ke sana. Gratis, bahkan saya dibayar.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Investasi awal Klub Ade Rai?</span><br /><br />Tidak susah, kami buat sendiri di Senen. Teman saya yang investasi. Berdiri saat krisis moneter tahun 1998. Sering terjadi, jika fasilitas bagus biasanya pasti mahal. Kalau murah, alatnya sederhana dan seadanya. Jadi, kami menggunakan alat-alat buatan dalam negeri. Pola usaha ini sukses, bisa balik modal dalam satu sampai tiga tahun, cepat sekali. Itu memotivasi orang lain untuk buka usaha fitness center (pusat kebugaran) yang sama. Ini bagus, lapangan pekerjaan bertambah banyak.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Bagaimana awalnya Ade mengenal Muscle Mania, padahal informasi tentang dunia binaraga amat minim di Indonesia?</span><br /><br />Awalnya ada teman saya sekolah di AS, dan saya pikir di sana sumber segala informasi tentang fitness. Tahun 1993 saya juara dua di PON XIV. Dari Gubernur DKI Jakarta Surjadi, saya dapat uang Rp 5 juta. Lalu saya pergi ke rumah teman saya di Washington DC, AS. Saya berterima kasih sekali bisa nebeng di rumah dia. Karena tidak ada uang, kadang saya ke toko buku, saya catatin saja semua. Makannya tiap hari mi instan. Saat berangkat berat saya 98-99 kilogram, ketika pulang tinggal 83 kilogram. Lalu saya terapkan informasinya. Saya ikut kejuaraan nasional di Jakarta tahun 1994. Saya juara. Saya iseng-iseng ikut Muscle Mania ketika itu. Saya juara satu, dari satu peserta, ha-ha-ha (tertawa). Saya juara empat dari empat peserta (tertawa lagi). Saat saya bertanding, salah satu presiden Muscle Mania itu melihat saya lalu bilang, "Wah kamu punya potensi. Suatu saat kamu harus bertanding di kejuaraan saya, Muscle Mania California." Saya bilang, "Kasih masukan saja ke saya, saya mesti apa latihannya." Undangan itu memotivasi karena pada saat saya sendiri tidak yakin dengan kemampuan saya, tiba-tiba ada orang yang punya pengaruh besar di dunia binaraga di sana bisa bilang bahwa saya punya potensi gede. Tahun 1995 saya ke sana, saya juara dua. Tahun 1996 saya ke sana lagi, saya juara overall. Sejak tahun 1997 sampai tahun 2000 saya ke Amerika dibayarin terus. Mulai tahun 2000 sampai 2004 saya hanya jadi bintang tamu saja.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Anda dikenal selalu mempromosikan binaraga tanpa obat terlarang. Bagaimana kondisinya di Indonesia?</span><br /><br />Memang dari awal saya memilih berjuang untuk binaraga tanpa obat terlarang. Dalam waktu dekat ini saya bersama-sama dengan pihak berwajib mencoba membuat kebijakan-kebijakan memerangi penyalahgunaan obat. Sekarang ini semakin marak banyak drug dealer yang datang ke fitness center. Kian meresahkan. Ini terjadi di seluruh fitness center di Indonesia. Saya serius memeranginya. Masalahnya adalah kita ini sulit melakukan drug test karena mahal. Akhirnya tidak semua pertandingan di Indonesia bisa menggunakan konsep drug test. Sekarang oleh Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) dicoba membuat solusinya. Mengapa saya perangi? Simbolnya kan olahraga itu sehat, olahraga kuat. Lha kok binaragawan malah pengguna obat? Kan jadi aneh. Sekarang menjualnya sudah tidak main-main. ’Lu mau gede enggak, nanti saya suntikin’. Kalau sekarang pemerintah fight against narkoba, saya fight melawan narkoba di binaraga, yaitu anabolic steroid, growth hormone, dan performance enhancer. Saya minta kepada dokter-dokter di Indonesia harus punya tanggung jawab, jangan hanya sekadar menjual obat, tetapi harus melihat manfaatnya. Lain dengan suplemen seperti amino acid, protein, multivitamin, susu, atau powder, itu enggak apa-apa. Mulai bulan depan saya bekerja sama dengan Gubernur Jawa Tengah, ke sekolah-sekolah di SMA untuk kampanye program anti-drugs baik narkoba maupun doping.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Anda sudah menjadi figur publik. Tertarik terjun ke dunia hiburan?</span><br /><br />Jawaban saya sederhana. Dunia hiburan membutuhkan saya tidak sebesar dunia fitness. Saat ini dunia fitness lebih banyak membutuhkan saya, maka prioritas saya ke sana. Dunia fitness ini menurut saya juga dunia hiburan. As an athlete, as an entertainer, as an entrepreneur, sebagai seorang pengusaha juga. Belakangan ini saya juga bikin peralatan olahraga, sepatu, video, buku, seminar- seminar, dan majalah.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Bagaimana peta prestasi binaraga Indonesia di dunia?</span><br /><br />Sekarang ini Komang Arnawa, Ricky Syamsuri, dan Taat Pribadi sudah juara dunia, tetapi yang natural, bukan kejuaraan dunia resmi. Kami memang tidak diakui. Buat saya tidak masalah. Kami butuh pengakuan dari diri sendiri. Tetapi, orang Australia mengundang saya sebagai juara dunia untuk menjadi bintang tamu di kejuaraan nasionalnya, di Melbourne Crowne Plaza. Besar sekali. Saya sering menjadi bintang tamu di kejuaraan nasional Australia dan kejuaraan nasional Filipina. Siapa pun bisa menjadi diplomat, semua punya tanggung jawab menjaga nama baik Indonesia. Saya bersyukur banget dan bangga banget bisa menjadi bintang tamu.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Banyak yang sudah Anda lakukan, dari prestasi di tingkat internasional hingga mengembangkan binaraga dan fitness di Indonesia. Anda banyak meraih sukses…?</span><br /><br />Yang namanya sukses tidak pernah habis dan relatif bagi setiap orang. Kalau sukses dalam arti juara nasional, ya saya sukses. Menjadi juara Asia, saya juara terus dari tahun 1995 hingga tahun 1998. Di kejuaraan dunia walau tidak resmi, saya sudah juara. Selebihnya yang lainnya, ya membangun industri ini. Saya ingin melihat orang-orang yang ada di sekitar saya bisa hidup layak. Itu tantangan buat saya. Keinginan untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap olahraga ini, juga meluruskan pandangan masyarakat. Seperti misalnya seolah-olah saya ini cuma mempromosikan orang badan gede berotot dan kuat. Padahal, saya juga mau orang yang baru melahirkan badannya menjadi langsing, orang yang badannya kegemukan bisa lebih kurus. Orang yang sakit diabetes bisa sembuh. Itu yang ingin saya tawarkan. Atau misalnya masyarakat bisa mempunyai satu fokus yang bagus ketimbang terdistorsi ke hal-hal negatif. Yang saya rasain sendiri, badan menjadi lebih oke, badan menjadi lebih enak, penampilan lebih bagus, eh bisa hidup pula di dalamnya. Saya tidak muluk-muluk, seperti Indonesia menjadi better place. Paling tidak bagi orang yang dekat dengan saya, minimal apa yang saya lakukan ada manfaatnya bagi mereka. Membuka lapangan kerja yang lebih luas. Karena itu, saya misalnya membikin majalah. Itu untuk mengedukasi masyarakat. Kalau tanpa edukasi, masyarakat tidak terlalu mengerti. Kalau bicara sukses, itu secara moral, material, atau finansial. Secara moral saya banyak kepuasannya. Secara material saya masih jauh dari cukup. Saya mau seimbang dan hidup layak. Sampai saat ini saya harus akui bahwa orang-orang yang berkecimpung di dunia ini kadang-kadang hidupnya masih susah secara materi. Orang mengira saya mendapat banyak karena memiliki banyak gym. Padahal, itu bukan milik saya. Saya juga harus membayar orang-orang yang bekerja di kantor saya. Tetapi, buat saya ini investasi. Ibaratnya latihan dulu. Sebagai awal industri, saya berani miskin dulu. Menurut saya, kesuksesan saya kalau seandainya saya juga bisa membuat teman-teman saya bisa mandiri. Sebagai contoh Nano atau yang lain, termasuk Ricky, Taat, dan sebagainya. Perkembangannya, ibaratnya dulu orang investasi fitness center dengan Rp 50 juta-Rp 60 juta, sekarang orang bisa investasi fitness center miliaran rupiah. Berani, karena kesadaran masyarakatnya semakin tinggi. Saya tidak butuh pengakuan dari media atau dari orang. Saya mendapat pengakuan minimal dari diri saya sendiri dan dari orang-orang yang mengenal saya bahwa kita bisa menjadi bagian dari sebuah sejarah yang positif, yaitu majunya kesadaran hidup sehat masyarakat di Indonesia. Itu yang saya banggakan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Dulu citra binaraga belum sepositif sekarang. Mengapa tertarik menerjuni?</span><br /><br />Dari awal saya melihat, kita harus menjadi wakil yang baik bagi olahraga. Kita tidak bisa cuma latihan saja. Kalau diajak ngobrol, diajak ngomong, tidak bisa hanya ngomong tentang olahraga saja. Itu yang coba saya lakukan, bagaimana membuat suatu kemasan yang bagus. Itu saya tampilkan ke dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan diri saya. Saya tidak mau melihat atlet binaraga itu mengesankan intimidasi. Saya lebih senang kita mengesankan simpati. Saya senang kalau kita badan gede tapi bukan banyak lawan, melainkan banyak kawan. Dari kecil saya selalu berusaha menjadi sesuatu yang lain dari yang lain. Saya selalu berpikir kebalikan dari yang disukai orang lain. Begitu juga dalam memilih olahraga. Pada saat orang menganggap binaraga itu adalah olahraganya "kuli", olahraga yang tidak jelas, saat itu tantangan buat saya jadi semakin besar. Saya pikir kalau ada sesuatu tantangan kita hadapi, apakah kita jatuh, apakah kita bisa jadi lebih bagus kalau bisa mengatasinya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Masih suka panco?</span><br /><br />Saya mempromosikan panco. Saya bersyukur karena panco ini bisa mempersatukan kelompok-kelompok pekerja kasar. Mereka diajarkan sportivitas. Ini gara-gara setiap minggu disiarkan di depan teve. Salah satu warisan olahraga adalah sportivitas. Peserta diajarkan bagaimana to be a good winner dan to be a good loser. Ini mempererat hubungan antara mereka sendiri sehingga kriminalitas atau keributan berkurang. Mereka akhirnya bergabung dalam organisasi Persatuan Olahraga Panco Indonesia. Semua berteman. Saya paling syukuri ini. Saya lakukan ini karena saya dulu juara nasional panco, kedua saya senang olahraganya, ketiga ternyata olahraga ini mempererat hubungan manusianya. Itu yang menurut saya paling oke dari dunia panco. Sementara tiga-empat tahun terakhir saya ikut Kyokushin Karate Indonesia (KKI). Saya pengurus daerah di DKI Jakarta. Awalnya saya mendapat sabuk hitam kehormatan karena membantu mereka di gym saya. Saya lalu berlatih sungguh- sungguh. Ternyata nilai-nilai budho karate yang diajarkan itu luar biasa sekali. Saya paling hargai ketua dewan guru, shihan JB Sujoto, dan para pemimpin lainnya. Mereka mengajarkan betapa dengan karate ini kita punya budi pekerti yang lebih bagus.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Di rumah tidak ada alat fitness?</span><br /><br />Biar lebih santai, lebih tenang. Semakin tua, kenyamanan seseorang berarti kalau materi semakin kuat, kenyamanan jika dengan penampilan optimal, semakin nyaman jika punya fisik bagus. Padahal, kalau sudah meninggal semuanya akan ditinggal, tidak dibawa. Harta tidak dibawa, rumah tidak dibawa, mobil tidak dibawa, selama fisik sehat juga tidak dibawa. Yang satu lagi adalah spiritual. Tidak hanya jasmani yang dilatih, tetapi juga rohani.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Maksudnya?</span><br /><br />Sama dengan jasmani kita, rohani kita harus dilatih. Supaya lebih tajam ibarat pisau, diasah dulu. Makanya, saya belajar meditasi, berusaha menjadi lebih sabar, apalagi setelah bapak pergi pada Desember 2003. Satu-satunya penyesalan yang ada adalah saya belum puas menyenangkan dan membahagiakan bapak saya. Ibaratnya, saya bisa membuktikan seratus, saya baru membuktikan 20. Saya masih punya 80 di kantong saya. Berat sekali bagi saya. Ibaratnya, Papa adalah fan terbesar saya. Number one fan saya adalah bapak saya. Ketika kehilangan bapak, saya seperti kehilangan mesin. Dia yang paling menghargai saya. Di lemarinya lengkap semua data tentang saya. Saya tidak ngeh (tahu). Saya baru tahu itu setelah bapak saya pergi.<br /><br />Sumber : Kompas, Minggu, 17 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-5923113991918047312009-06-28T18:01:00.000+07:002009-06-28T18:03:23.618+07:00Nusjirwan Tirtaamidjaja : Iwan Tirta, Emban Seni Kriya IndonesiaIwan Tirta, Emban Seni Kriya Indonesia<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Ninuk M Pambudy</span><br /><br />TUJUH puluh tahun bukan usia sedikit. Banyak orang pada usia ini merasa telah selesai melakukan tugas di dunia sehingga sisa umur adalah untuk menikmati hasil kerja selama ini.<br /><br />NAMUN, Iwan Tirta pada usia yang hari ini memasuki 70 tahun merasa begitu cepat waktu berlalu, sementara masih panjang deretan pekerjaan yang ingin dia lakukan. "Banyak hal yang harus dilakukan kalau ingin bertahan dan bahkan berkembang. Saya masih punya banyak ide untuk mengembangkan batik, perak, porselen, dan perhiasan, tetapi waktu kok rasanya singkat sekali," kata Iwan di rumahnya yang kental dengan suasana Indonesia.<br /><br />Di teras samping rumahnya terpampang dua galaran yang padanya tersampir dua kain batik yang masih dalam proses pembuatan motif dengan menggunakan malam. "Saya masih terus membatik, tetapi malam hari. Lebih enak karena sepi. Saya akan terus membatik sampai tanganku buyutan," kata Iwan diiringi tawanya yang khas. Buyutan adalah istilah umum untuk tangan yang bergetar karena usia lanjut.<br /><br />Batik memang dunia Iwan Tirta sampai kini meskipun pendidikan formalnya adalah School of Oriental and African Studies di London University dan master of laws dari Yale University, Amerika Serikat, serta mendapat fellowship dari Yayasan Adlai Stevenson di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perkenalannya dengan batik berawal dari ketika dia bersekolah di Amerika Serikat dan mendapat banyak pertanyaan tentang budaya Indonesia.<br /><br />Namun, sebetulnya perkenalan Nusjirwan Tirtaamidjaja, nama asli Iwan Tirta, pada budaya Jawa berawal lebih jauh lagi, yaitu dari pendidikan masa kecilnya. Iwan sebetulnya berdarah campuran Purwakarta, Jawa Barat, dari ayahnya Mr Moh Husein Tirtaamidjaja, anggota Mahkamah Agung RI (1950-1958), dan Sumatera Barat dari ibunya yang berasal dari Lintau. Iwan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, belajar mengenai budaya Jawa ketika orangtuanya menjelma menjadi priayi Jawa saat ditugaskan di Jawa Tengah.<br /><br />Ketertarikan secara khusus kepada batik lahir ketika atas dana hibah dari Dana John D Rockefeller III Iwan mendapat kesempatan mempelajari tarian keraton Kesunanan Surakarta. Di sanalah Iwan memutuskan mendalami batik dan bertekad mendokumentasi serta melestarikan batik. Kemudian lahirlah bukunya yang pertama, Batik, Patterns and Motifs pada tahun 1966.<br /><br />SUMBANGAN Iwan paling nyata adalah ketika dia berhasil mentransformasi batik dari selembar kain batik yang secara tradisional digunakan dengan dililitkan di tubuh menjadi gaun indah yang tidak kalah dengan gemerlap dari Barat. Kepraktisan berbusana cara Barat perlahan tetapi pasti memang telah menggerus cara berbusana tradisional perempuan Jawa, dan Iwan berhasil memadukan keindahan batik dengan kepraktisan pakaian ala Barat.<br /><br />Kepekaan seni dan pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan dari Timur dan Barat membuat Iwan mampu membawa batik menjadi busana yang diterima bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Kecenderungannya pada bidang keilmuan membuat Iwan melihat batik secara rasional dan dia melahirkan buku berikutnya, Batik, A Play of Light and Shades (1996).<br /><br />Ketertarikannya kepada budaya Jawa dan sebenarnya juga budaya Nusantara lainnya serta kedekatannya dengan kalangan keraton Jawa membawa pengelanaan Iwan kepada seni kriya lain. Perak adalah penjelajahan berikut Iwan. Motif modang, misalnya, dijadikan ragam hias pada tutup tempat perhiasan, sementara seperangkat tempat sirih peraknya menghiasi lobi Hotel Dharmawangsa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.<br /><br />Pengetahuannya yang luas dan mendalam mengenai batik membuat Iwan tidak lagi dalam tataran teori ketika berbicara mengenai motif batik yang dapat muncul dalam bentuk apa saja. Itu dibuktikannya ketika mendesain perangkat makan porselen yang menggunakan motif batik. Energi kreatifnya juga tersalur dengan merancang perhiasan yang inspirasinya dari perhiasan keraton.<br /><br />"KUNCINYA adalah pendidikan dan riset. Kita sangat kurang dalam dua hal itu," kata Iwan yang selalu berkemeja batik dalam setiap acara, tetapi siap pula mengenakan celana pendek denim dengan kaus ketat ketika di rumah dan siap membatik. Pandangan ini secara konsisten dikukuhinya sejak mulai berkenalan intens dengan batik pada tahun 1960-an.<br /><br />Dalam hal riset, Iwan melakukannya sejak bertahun lalu. Dia terus mendokumentasikan motif batik tua, termasuk milik Puri Mangkunegaran, Solo, ke dalam data digital dan ke atas kertas dengan bantuan pengusaha Rachmat Gobel. Data tersebut menjadi pegangannya dalam mengembangkan motif baru yang terus dia kembangkan sesuai selera zaman dengan tetap mempertahankan ciri khasnya, yaitu antara lain warna yang cerah dan motif berukuran besar.<br /><br />Pekan lalu dia diminta Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono untuk ikut menyumbangkan pemikiran dalam pengembangan batik sebagai ikon nasional. Bicara mengenai hal itu Iwan kembali prihatin pada kondisi pendidikan, riset, dan kemampuan promosi Indonesia sebagai negeri batik. "Sekarang Malaysia ke mana-mana mengaku batik sebagai milik mereka. Itu karena kita tidak punya kemampuan public relations," kata penerima Anugerah Kebudayaan 2004 kategori individu peduli tradisi ini.<br /><br />Dengan fasih Iwan menjelaskan di mana kekuatan batik Jawa yang menjadi dasar batik nasional yang tidak bakal bisa ditiru negara lain. Pertama adalah adanya teknik yang pasti, yaitu penggunaan malam dan canting; kedua, adanya pakem berupa ragam hias dengan dasar geometris nongeometris; ketiga, jalinan erat dengan budaya lain; dan ketidakterikatan dengan satu agama tertentu.<br /><br />"Itu semua kekuatan batik Indonesia yang tidak dipunyai bangsa lain, tetapi untuk mengeluarkan potensi ini perlu pendidikan dan riset," kata Iwan kukuh.<br /><br />Keyakinan itu dan tugas baru yang disandangnya membuat Iwan bertekad akan mengabdikan hidupnya sebagai emban seni kriya Indonesia. "Tugas emban itu ya mengasuh, mendampingi, untuk semua, tidak hanya batik Iwan Tirta," tuturnya.<br /><br />Senin ini Iwan akan memperingati 70 tahun usianya dan malam ini rencananya dia akan mengadakan syukuran bersama teman-temannya. "Saya tidak melahirkan batik, tetapi saya akan terus mengasuh dan memelihara yang ada. Seperti tugas emban."<br /><br />Sumber : Kompas, Senin, 18 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-12311025197837611572009-06-28T17:59:00.000+07:002009-06-28T18:01:03.471+07:00Glenn Fredly, Sukses Menuruti Kata HatiGlenn Fredly, Sukses Menuruti Kata Hati<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Dahono Fitrianto</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Dengarkan...</span><br /><span style="font-style: italic;">Dengarkan lagu...</span><br /><span style="font-style: italic;">Lagu ini... melodi rintihan hati ini</span><br /><span style="font-style: italic;">Kisah kita berakhir di Januari</span><br /><br />ITULAH sepenggal lirik lagu Januari yang dibawakan Glenn Fredly. Lagu yang menggambarkan kepedihan hati seorang laki-laki karena harus berpisah dengan kekasihnya tersebut diyakini terinspirasi kisah kehidupan Glenn yang sesungguhnya.<br /><br />Namun, kata demi kata yang tertuang dalam lagu itu sama sekali bukan sebuah akhir dari kisah perjalanan Glenn Fredly Deviano Latuihamallo. Lagu itu justru menjadi titik awal perjalanan yang membawa lelaki kelahiran Jakarta, 30 September 1975, itu menjadi penyanyi pop pria terpopuler di Indonesia saat ini.<br /><br />Lagu itu juga yang kemudian terpilih untuk dinyanyikan berduet dengan saksofonis dunia Kenny G dan dimasukkan dalam album terbarunya, At Last... The Duets Album, yang diedarkan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam mulai 8 April lalu.<br /><br />Di Taiwan, Sabtu (9/4/2005) lalu, Glenn mendapat kesempatan tampil secara langsung melantunkan Januari dengan iringan tiupan saksofon Kenny G di panggung Red Theater, Taipei. Ratusan penonton terpana kagum menyaksikan penampilan mereka meski tidak tahu arti kata-kata dalam lagu itu.<br /><br />Momen tersebut menjadi satu tahapan sukses lain dari perjalanan karier Glenn, setelah album ketiganya, Selamat Pagi Dunia, yang diluncurkan April 2003 lalu mencetak sukses dengan laku terjual hingga 700.000 kopi.<br /><br />GLENN Fredly terlahir dari pasangan Hengki David Latuihamallo dan Linda Mirna Siahaya, pasangan asli Ambon yang lama menetap di Jakarta. Sejak awal Glenn kecil sudah dekat dengan dunia musik karena aktif menyanyi di gereja.<br /><br />Adalah opanya dari pihak ibu, Gustaf Siahaya, yang sejak awal telah melihat bakat tarik suara lelaki berkulit hitam ini.<br /><br />"Beberapa waktu sebelum meninggal dunia, Opa berpesan kepada saya untuk menekuni musik dan nyanyi. Menurut beliau, lewat musik saya akan selalu menemukan hal yang baru dan pada akhirnya akan menemukan siapa saya sebenarnya," kata Glenn.<br /><br />Gustaf juga yang mendorong orangtua Glenn untuk mengikutsertakan anak tersebut dalam berbagai lomba menyanyi. Hasilnya, dalam usia belum genap 10 tahun dan masih duduk di bangku kelas IV SD Tirtamartha, Glenn telah meraih juara I lomba menyanyi yang digelar Yayasan Musik Indonesia dan menjuarai lomba menyanyi Vini Vidi Vici yang diselenggarakan Sekolah Musik Yamaha.<br /><br />Perjalanannya di dunia industri musik Indonesia mulai terbuka setelah ia meraih hadiah utama dalam ajang Cipta Pesona Bintang yang digelar stasiun televisi RCTI pada tahun 1992 saat ia masih sekolah di SMA YPK Wijaya. Meski begitu, keinginan Glenn untuk masuk dapur rekaman harus ditahan karena berulang kali ia ditolak oleh berbagai perusahaan rekaman. "Saya waktu itu masih ragu apakah benar-benar ingin meneruskan karier di dunia musik atau tidak," tuturnya.<br /><br />Sampai akhirnya pada tahun 1995, saat ia duduk di kelas III SMA, bakat Glenn terlihat oleh Mus Mujiono dan Yance Manusama, dua musisi yang sedang ingin membentuk band. Glenn langsung direkrut menjadi vokalis band bernama Funk Section yang beranggotakan Mus Mujiono, Inang Masalo, Yance Manusama, Eka Bhakti, dan Irvan Chesmala.<br /><br />Itulah pertama kali publik mendengar nama Glenn di pentas musik pop. Lewat dua lagunya, Terpesona dan Pantai Cinta, Glenn bersama Funk Section mencetak hit.<br /><br />Melalui gaya bermusik band tersebut yang agak jazzy dan karakter vokal Glenn yang sangat R&B, Glenn dengan cepat mengumpulkan penggemar.<br /><br />Selepas dari band itu, Glenn kembali menempuh jalur solo. Rentang waktu tiga tahun setelah itu ia isi dengan menyanyi di berbagai festival dan mengisi acara TV di samping menekuni kuliahnya di Fakultas Komunikasi Universitas Moestopo Beragama, Jakarta.<br /><br />Baru pada tahun 1998 Glenn berhasil menyelesaikan album pertamanya berjudul Glenn di bawah label Sony Music. Dua lagu dari album ini, Cukup Sudah dan Kau, sempat menjadi singel yang populer dan albumnya meraih angka penjualan 80.000 kopi.<br /><br />Dua tahun kemudian ia menelurkan album keduanya, Kembali, yang mencatat penjualan hingga 60.000 kopi dan menampilkan singel hit Kasih Putih.<br /><br />Daya tarik Glenn saat tampil di panggung juga dipandang layak untuk disandingkan dengan aksi panggung artis-artis internasional. Ia pernah menjadi penampil pembuka konser Enrique Iglesias di Jakarta tahun 2004 lalu. Kemudian pada Jakarta International Java Jazz Festival di Jakarta pada bulan Maret lalu, ia duet sepanggung dengan George Duke.<br /><br />Peraih dua penghargaan Anugerah Musik Indonesia (AMI) Award itu juga memenangi beberapa penghargaan internasional, seperti Anugerah Industry Music Malaysia dan Planet Musik Award Singapura.<br /><br />SAAT masih dalam masa promosi album keduanya, tepatnya pada bulan Januari 2002, datanglah cerita sedih itu. Kisah cinta Glenn dengan sesama penyanyi dari sebuah grup vokal yang juga sedang populer waktu itu tiba-tiba harus putus setelah dijalin selama delapan tahun lebih. "Glenn benar-benar hancur waktu itu...," kenang seorang teman terdekatnya.<br /><br />Namun, ternyata di balik perpisahan itu, ada sebuah rencana lain baginya. Kesedihan hati karena harus berpisah dengan kekasih justru menjadi lautan inspirasi baginya untuk menciptakan karya-karya terbaiknya.<br /><br />Tiga lagu paling populer dari album Selamat Pagi Dunia, yakni Januari, Sekali Ini Saja, dan Sedih Tak Berujung (dalam versi album kemas ulang), berlatar belakang suasana putus cinta yang tampil dengan sangat menyentuh. "Saya tidak pernah berpikir Januari atau lagu- lagu lainnya itu sebagai masterpiece, karya terbaik saya. Saya hanya menuruti isi hati saya saja dan menuangkannya dalam bentuk lagu, tidak lebih," ujarnya.<br /><br />Menyimak kembali perjalanan hidup anak muda ini, ada kutipan menarik yang ditulisnya sendiri di website pribadinya, www.glennfredly.com, "Apa yang tercipta merupakan jawaban dari putaran waktu yang Tuhan telah sediakan buat G... emosi, ego, luapan tawa, tetes air mata, impian, semua lebur jadi satu, menjadi sebuah pengakuan yang penuh arti buat perjalanan hidup G..."<br /><br />Sumber : Kompas, Selasa, 19 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-82963510380561677572009-06-28T17:56:00.000+07:002009-06-28T17:58:05.698+07:00Dradjat Hoedayanto, "Otak" Tol CipularangDradjat Hoedayanto, "Otak" Tol Cipularang<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Dwi Bayu Radius</span><br /><br />APA yang terlintas dalam kepala Ketua Tim Ahli Teknis Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang Dradjat Hoedayanto ketika diminta sarannya dalam pembangunan jembatan tol tertinggi dan terpanjang di Indonesia? Menimbang waktu pembangunan yang sangat terbatas, sekitar satu tahun, tanpa ragu dia mengutarakan, kecepatan dan kesederhanaan fondasi adalah kunci utama.<br /><br />NAMUN, pembangunan jembatan tol yang dikenal dengan nama Tol Cipularang ini tidak semudah yang dibayangkan. Dradjat dan rekan-rekan timnya harus menghadapi medan berat berbukit-bukit, lembah di proyek sepanjang 40 kilometer itu. Bahkan, di salah satu lembah di Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung, diperlukan pembangunan jembatan dengan tinggi tiang 60 meter di Jembatan Cikubang.<br /><br />Di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Dradjat kembali harus merencanakan jembatan tol dengan panjang sekitar 700 meter, yang disebut Jembatan Cipada. Kedua bangunan itu sampai saat ini merupakan jembatan jalan tol tertinggi dan terpanjang di Indonesia dengan masa pakai minimum 75 tahun.<br /><br />"Di samping masalah konstruksi tiang itu sendiri, kesulitan yang dialami adalah akses menuju daerah pelaksanaan pembangunan. Setelah dirundingkan, jembatan yang sesuai haruslah sederhana dengan menggunakan I-girder (balok beton berbentuk huruf I) yang di-prestress," kata Dradjat.<br /><br />Antisipasi untuk kendala pembangunan tiang Jembatan Cikubang yang tinggi dilakukan dengan mendatangkan alat launcher. Alat dari Italia itu baru pertama kali dipakai di Indonesia karena crane yang sebelumnya dipakai hanya mampu mencapai ketinggian sekitar 40 meter.<br /><br />KESULITAN lain adalah berlakunya Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai bangunan tahan gempa yang ditetapkan tahun 2003. Dalam SNI itu disebutkan, desain bangunan harus didasarkan pada beban gempa yang periode ulangnya mencapai 500 tahun. Pada tahun-tahun sebelumnya, periode ulang gempa yang ditetapkan hanya 200 tahun.<br /><br />Selain itu, Dradjat merekomendasikan agar standar American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO) tahun 2004 diberlakukan. Standar dari Amerika Serikat tentang pembangunan jembatan itu merefleksikan studi-studi terakhir berdasarkan kerusakan jembatan akibat gempa di kota Northridge, Amerika Serikat, tahun 1994 dan Kobe, Jepang, tahun 1995. Setelah dua bencana besar itu terjadi, kata Dradjat, banyak perubahan standar gempa di dunia.<br /><br />Beratnya pekerjaan itu membuat Dradjat membentuk satu tim yang terdiri dari sembilan insinyur teknik sipil bagian struktur dan lebih kurang enam insinyur dari departemen teknik lain. Tim yang seluruh anggotanya berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok struktur yang menangani jembatan dan kelompok geoteknik yang mengawasi serta memberi masukan terhadap pekerjaan timbunan dan galian.<br /><br />Pekerjaan itu dianggap sulit karena selain timbunan dan galian di sebagian proyek yang cukup tinggi atau dalam- masing-masing mencapai 30 meter-faktor cuaca dan lingkungan juga sangat memengaruhi. Hujan deras yang turun terus-menerus, misalnya, mengakibatkan timbunan di daerah Pasir Honje dan Cikarentong, Kabupaten Bandung, menjadi longsor.<br /><br />Standar SNI dan AASHTO yang direkomendasikan itu membuat keterlibatan Dradjat dan rekan-rekannya semakin jauh ketika mereka akhirnya menjadi bagian dari perencana Tol Cipularang. Pasalnya, kontraktor merasa kesulitan apabila harus menerapkan kedua standar itu sehingga Dradjat dan timnya harus ikut berpartisipasi sebagai perencana.<br /><br />KETERBATASAN waktu memaksa tim itu harus merencanakan sambil membangun secara paralel dengan sistem simultan. Artinya, pekerjaan dibagi-bagi kepada setiap orang yang berkompeten dan bagian yang selesai direncanakan langsung dikerjakan sambil terus merencanakan bagian akhir yang belum selesai.<br /><br />Oleh karena itu, jangan harapkan jembatan tersebut merupakan suatu bangunan yang berseni. Dradjat mengakui, empat jembatan dalam proyek Cipularang, yaitu Cikubang, Cipada, Ciujung, dan Cisomang, merupakan jembatan yang biasa-biasa saja dari segi keindahan desain. Proyek tersebut lebih memprioritaskan faktor keamanan ketimbang soal keindahan dari segi desain.<br /><br />Dradjat pertama kali dihubungi pihak PT Jasa Marga untuk membantu proses lelang jembatan yang akan dibangun di proyek Tol Cipularang pada tahun 2004. Ada beberapa tipe jembatan yang diusulkan kontraktor dan bentuk bangunan itu diputuskan setelah mendapat masukan dari Dradjat.<br /><br />"Jadi pada waktu itu saya diminta menentukan konsep tipe jembatannya agar dalam waktu terbatas dapat sekaligus memenuhi persyaratan teknis dan waktu dengan biaya seefisien mungkin," katanya.<br /><br />Dradjat sehari-hari bekerja sebagai Kepala Laboratorium Struktur dan Material serta pengajar di Departemen Teknik Sipil ITB. Dia mengenyam pendidikan sarjananya di ITB dari tahun 1962 sampai 1971.<br /><br />Masa pendidikan yang lama itu, diakui Dradjat, tidak terlepas dari suasana politik yang tengah memanas karena peristiwa Gerakan 30 September. Kegiatan kuliah di ITB pada waktu itu sempat diliburkan selama lebih dari satu tahun.<br /><br />Setahun setelah itu, orangtua Dradjat memutuskan pensiun sehingga dia harus bekerja dan itu mengganggu proses perkuliahannya. Setelah lulus sarjana, Dradjat langsung bekerja sebagai dosen di almamaternya sendiri.<br /><br />Dibiayai ITB, Dradjat memperoleh gelar master dalam bidang struktur di Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand, tahun 1974. Gelar doktor di bidang civil engineering diraihnya di University of Illinois, Amerika Serikat, tahun 1983.<br /><br />"Memilih teknik sipil itu keputusan setelah saya lulus SMA. Tapi, kalau ditanya kenapa memilih teknik sipil, saya sendiri juga sudah lupa," kata Dradjat yang lahir pada 14 Desember 1944 di Kediri, Jawa Timur.<br /><br />BAPAK dari Wahyuning Hoedayanti, Arya Kurniawan Hoedayanto, dan Satria Kurniawan Hoedayanto ini mengakui tidak ada dukungan yang istimewa selama mengerjakan Tol Cipularang karena itu merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari. "Kalau ada kesibukan yang membuat saya bekerja sampai larut malam, itu adalah hal yang biasa," ujarnya.<br /><br />Sumber : Kompas, Rabu, 20 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-46201487205477948912009-06-28T17:55:00.000+07:002009-06-28T17:56:38.773+07:00Johannes Maria Härmmerle, Dengan Museum Lestarikan Budaya NiasJohannes Maria Härmmerle, Dengan Museum Lestarikan Budaya Nias<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Neli Triana</span><br /><br />Awal April 2005, masyarakat Nias masih pada masa puncak kekhawatiran dan ketakutan akibat bencana gempa yang melanda 28 Maret lalu. Lebih dari 600 warga Nias meninggal dan ratusan lainnya luka-luka, kehilangan sanak keluarga serta pekerjaan.<br /><br />Warga yang selamat sibuk dengan diri sendiri berusaha untuk tetap hidup. Mereka mengungsi di berbagai tempat, berusaha terus menjaga jarak dari rumah atau bangunan tertentu agar tak tertimbun jika sewaktu-waktu gempa mengguncang kembali. Namun, tidak demikian dengan sedikit pengurus Museum Pusaka Nias (MPN), Gunung Sitoli, Kabupaten Nias.<><br /><br />Dikomandoi oleh Johannes Maria Härmmerle, pengurus MPN berusaha mengamankan koleksi dan bangunan museum sejak hari pertama pascabencana. Sosok bule ini tampak menonjol di antara orang-orang yang sore itu pada pekan pertama bulan April berkumpul di halaman Kantor Museum Pusaka Nias. Mereka baru saja membersihkan paviliun tempat pajang koleksi yang porak-poranda akibat gempa.<br /><br />Ketegasan dan keriangan yang selalu menyertai setiap tindakan serta ucapan pastor asal Jerman itu tidak mampu menutupi kesedihan akibat rusaknya koleksi museum. Dalam bahasa Indonesia yang lancar ia menceritakan nasib malang yang menimpa koleksi benda-benda tinggalan budaya Nias yang berumur ratusan tahun itu.<br /><br />"Kami baru saja membersihkan bangunan utama museum tempat koleksi dipamerkan. Banyak sekali pecahan kaca menghampar di lantai. Beberapa patung kuno dari kayu dan juga dari batu patah, bahkan ada yang pecah berhamburan. Rusaknya koleksi menyebabkan hilangnya nilai historis, seni, dan budaya Nias yang tak tergantikan," kata Johannes Maria Härmmerle.<br /><br />PRIA yang lahir 9 Juli 1941 dan masih tampak bugar ini menceritakan berbagai jenis tinggalan budaya berusia ratusan tahun yang tersimpan di Museum Pusaka Nias. Museum ini memiliki sekitar 6.500 koleksi tinggalan budaya Nias.<br /><br />Memang secara umum masih dapat diselamatkan dari bencana gempa, tetapi tak urung terdapat ratusan koleksi yang rusak. Total kerugian materi mencapai puluhan miliar, tetapi diyakini kerugian akibat hilangnya nilai-nilai historis dan budaya tak terhitung.<br /><br />Jenis-jenis koleksi MPN, antara lain, tinggalan megalitik berupa arca menhir, menhir, dan altar batu. Tinggalan megalitik tertua diperkirakan berasal dari 500-600 tahun lalu. Koleksi lainnya yang berusia sekitar 100 tahun lalu meliputi pahatan patung kayu, alat musik, peralatan dapur dari kayu maupun dari gerabah, pakaian dari anyaman rerumputan, kulit kayu, dan sejumlah barang berfungsi religius maupun peralatan sehari-hari lainnya.<br /><br />Museum yang dikelola yayasan swasta terlepas dari pemerintah setempat ini didirikan tahun 1991. Johannes Maria Härmmerle, seorang pastor warga negara Jerman, merintis berdirinya museum ini sejak tahun 1972, berbarengan dengan kegiatannya sebagai misionaris yang mengharuskannya memasuki daerah-daerah terpencil di Nias.<br /><br />Ia mengumpulkan benda-benda peninggalan budaya Nias, yang kemudian menjadi koleksi museum. Benda-benda itu didapatkannya dari berbagai pelosok Nias, termasuk dari daerah Nias Selatan, Nias Tengah, dan Kabupaten Nias.<br /><br />Lebih dari 30 tahun lalu Johannes Maria Härmmerle muda baru saja menapakkan kakinya di Nias. Sebagai orang baru, ia cepat menemukan fakta perubahan drastis dalam pola pikir masyarakat Nias.<br /><br />Masuknya agama baru membuat masyarakat berpandangan, berhubungan dengan apa pun yang terkait dengan kepercayaan lama yang pernah dianutnya adalah dosa. Kala itu, usaha penghancuran tinggalan budaya berupa patung atau alat-alat pemujaan marak dilakukan warga sendiri.<br /><br />Seniman-seniman Nias yang melahirkan karya-karya patung kayu, baik untuk sarana pemujaan nenek moyang maupun sekadar hiasan rumah adat, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Pemeliharaan terdapat peninggalan megalitik yang pernah dianggap sebagai penghubung antara manusia dan dunia roh serta-merta terhenti. Hanya rumah-rumah adat saja yang tetap dipertahankan sebagaimana fungsinya sebagai tempat tinggal.<br /><br />Härmmerle juga melihat situasi ini dimanfaatkan orang-orang luar Nias untuk mengeruk keuntungan berlipat. Calo-calo benda antik dari dalam dan luar negeri berdatangan ke Nias dan membeli murah peninggalan budaya yang sebenarnya bernilai material amat tinggi itu.<br /><br />PRIHATIN melihat Nias yang semakin kosong dari benda-benda bernilai seni tinggi hasil karya sendiri dan pemiskinan kreativitas masyarakat akibat pemahaman agama baru yang masih minim, memicu Härmmerle untuk mencegahnya.<br /><br />Mula-mula ia meminta warga yang ingin membuang benda-benda pemujaan agar memberikan saja kepadanya. Awalnya warga memberikan secara cuma-cuma. Tetapi, dengan maraknya jual-beli benda antik di Nias, warga mulai pasang harga. Härmmerle kelimpungan menghadapi kenyataan ini karena uang bukanlah hal yang banyak dimiliki seorang pastor seperti dirinya.<br /><br />Melihat kenyataan makin tak terbendungnya perdagangan ilegal peninggalan budaya Nias, akhirnya Härmmerle sekuat tenaga berusaha membeli barang-barang sarat nilai itu. Ia pun mulai menghimpun bantuan dari sana-sini, khususnya dari relasinya sesama pemerhati budaya asal Jerman.<br /><br />Dua puluh tahun kemudian, hasil jerih payahnya terkumpul amat beragam dan berjumlah ribuan. Muncullah masalah penyimpanan, yang kemudian mengilhaminya membuka sebuah museum. Realisasi ide ini bukanlah hal mudah karena mewujudkan museum berisi benda-benda yang dianggap bertentangan dengan agama banyak ditentang sesama rekan dalam kegiatan keagamaannya.<br /><br />Hanya didukung segelintir sahabat, Härmmerle berkeras membuka museum. Ia mengawasi sendiri pembangunan lahan milik gereja dari Ordo Kapusin. Dari sekadar ruang sempit untuk menyimpan koleksi, keuletan Johannes dari tahun ke tahun membuahkan hasil. Museum yang dirintisnya kini menempati bangunan permanen terdiri dari empat paviliun dan didukung fasilitas lain, seperti taman dengan koleksi tanaman langka dan burung beo khas Nias, taman laut, dan tempat sederhana yang menyediakan makanan bagi pengunjung.<br /><br />Di usianya yang hampir 65 tahun, Härmmerle tetap bersemangat dan yakin MPN tidak akan tutup. "Sulit memang mempertahankan museum, yang juga berarti mempertahankan kelestarian budaya Nias. Namun, kami tetap yakin usaha kami tidak sia-sia dan bantuan akan datang. Museum ini adalah milik warga Nias yang menelurkan karya-karya seni hebat. Tentunya, dukungan warga Nias sendiri dan para pemerhati budaya asli Indonesia akan amat berarti bagi kelangsungan museum ini," kata Härmmerle.<br /><br />Sumber : Kompas, Kamis, 21 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-57564781476259186942009-06-28T17:53:00.000+07:002009-06-28T17:54:58.426+07:00Paul Tedjasurya, Kenangan Memotret KAAPaul Tedjasurya, Kenangan Memotret KAA<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Y09<br /><br /></span>BERBEKAL sebuah emblem segitiga bertulisan Asia Africa Conference dan emblem bulat bertulisan 18/4 55 yang tertempel pada kemeja, Paul Tedjasurya yang berdandan rapi lengkap dengan dasi bisa bergerak bebas mendekati 29 kepala negara dari Asia Afrika serta ribuan tamu negara saat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Kota Bandung.<br /><br />KETIKA itu Paul tidak menghiraukan beratnya beban kamera dan aki blitz sebesar 10 kilogram yang ia pikul seharian di pundaknya. Hari-harinya ia isi untuk mengabadikan berbagai adegan penting yang terjadi pada peristiwa Konferensi Asia-Afrika (KAA) 50 tahun lalu.<br /><br />"Tidak banyak orang bisa memiliki kesempatan berdekatan dengan para kepala negara meskipun saat itu pengawalan untuk mereka tidak ketat seperti sekarang," kenang Paul Tedjasurya (75), fotografer senior Indonesia yang karya-karya fotonya terus dipakai untuk menceritakan sejarah dunia yang pernah terjadi di Indonesia.<br /><br />"Saya sangat bersyukur bisa ikut mengalami 50 tahun KAA meskipun itu tidak pernah saya bayangkan sebelumnya," kata Paul yang saat KAA tahun 1955 masih berusia 25 tahun. KAA bukan hanya sejarah besar untuk dunia, tetapi juga untuk Paul Tedjasurya.<br /><br />Lelaki asal Surabaya itu mengenal fotografi dari teman mainnya. Waktu itu ia masih murid MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs-setingkat sekolah menengah pertama.<br /><br />Paul kagum melihat sebuah adegan bisa terekam dan tercetak dalam sebuah kertas. Setelah melihat temannya memotret, Paul pun mulai mencoba melakukannya dengan kamera pinjaman dari temannya.<br /><br />PAUL hidup dalam keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Ibunya bekerja sebagai penjahit untuk menghidupi keluarga. Sejak Paul berusia 14 tahun, ayahnya dipenjara oleh tentara Jepang karena tertangkap sedang mendengarkan siaran radio dari luar negeri. Saat itu Jepang melarang hal tersebut.<br /><br />Lulus dari MULO, Paul segera bekerja di Kantor Sosial. Tetapi keinginannya mendalami fotografi membuatnya melepaskan pekerjaan yang baru digelutinya beberapa bulan. Seorang pamannya di Surabaya menyarankan Paul agar mendatangi seorang kerabat jauh di Bandung yang masih pamannya bernama Oom Nyoo. Anak sulung dari dua bersaudara itu pun berangkat ke Bandung pada tahun 1951.<br /><br />Oom Nyoo bekerja sebagai pegawai di Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, tetapi ia memiliki sebuah studio foto di Jalan Naripan, Bandung. Kini bangunan bekas studio itu ditempati Bank Jabar. Di Bandung, Paul Tedjasurya belajar tentang fotografi secara otodidak dengan kamera Leica III F pemberian Oom Nyoo.<br /><br />Studio pamannya itu berfungsi seperti agensi foto. Sewaktu itu sangat jarang ada orang memotret dirinya ke studio, tetapi fotograferlah yang rajin mendatangi acara-acara untuk mengabadikan peristiwa dan orang-orang dalam sebuah acara.<br /><br />Paul biasanya memotret acara pemerintahan di Bandung lalu mengirimkan foto-fotonya itu ke media massa di kota tersebut, seperti Pikiran Rakjat, Bandung Pos, dan Warta Bandung. Saat itu media massa belum memiliki fotografer. "Biasanya mereka mengandalkan foto-foto dari kantor berita Antara atau Indonesian Press Photo Service," ujar Paul.<br /><br />Ketika peristiwa internasional KAA terjadi di Bandung tahun 1955, Paul segera mendaftar untuk meliput dan mendapat dua emblem tanda pengenal wartawan. Sebelum KAA dilangsungkan pada tanggal 18 April hingga 24 April 1955, Paul sudah mengabadikan persiapan yang dilakukan panitia di Bandung, seperti perbaikan Gedung Merdeka.<br /><br />SAAT KAA berlangsung, Paul memotret para kepala negara, baik saat berjalan dari Hotel Savoy Homann ke Gedung Merdeka maupun saat mereka bersidang, dan ikut resepsi makan malam. Kesempatan yang tidak dimiliki banyak orang. Apalagi, saat itu fotografer masih sangat langka.<br /><br />Selain dirinya, fotografer-fotografer yang ikut meliput KAA tahun 1955 adalah fotografer lepas, Nico Nurya dan AS James, serta fotografer Antara Dr Koo, Jo Han Beng, dan Lan Ke Tung. Kelima fotografer itu sudah meninggal dunia.<br /><br />Setiap hari selama KAA, Paul berangkat dari rumah Oom Nyoo di Jalan Pasirkaliki dengan motor Jawa 250 cc menuju Jalan Raya Timur atau Jalan Asia Afrika. Biasanya, ia membawa tiga rol film. Paul harus memilih momen terbaik sebab harga film sangat mahal. Ia tidak bisa seenaknya menjepret objek.<br /><br />Ia berangkat pukul 07.00. Jika para kepala negara melakukan resepsi makan malam, pekerjaannya baru selesai pukul 21.00. Sebelum pulang ke rumah, Paul menyempatkan diri ke studio untuk mencuci filmnya di kamar gelap. Esoknya, jika ada kesempatan pulang sebentar ke studio, ia bisa sekalian mencetak filmnya.<br /><br />Selama KAA berlangsung, Paul mengaku jarang bergaul dengan fotografer dunia sebab ia masih merasa junior. Tetapi diam-diam ia sering memerhatikan para fotografer itu bekerja. Dari situlah ia selalu mendapat pengetahuan baru.<br /><br />"Tetapi meliput KAA membuat saya lebih percaya diri. Hal itu menjadi bekal bagi saya untuk bergaul dengan lebih banyak orang," tutur Paul. Setelah KAA, banyak kegiatan bertaraf internasional diselenggarakan di Bandung, antara lain Konferensi Mahasiswa Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, dan Konferensi Wartawan Asia Afrika.<br /><br />PAUL pun tidak hanya mengirim fotonya ke koran-koran di Bandung, tetapi juga ke media massa di Jakarta, seperti Pedoman, Indonesia Raya, dan Star Weekly. "Honor pertama dari Star Weekly saya belikan mesin tik," kenang Paul. Seorang temannya mengatakan, sebaiknya ia tidak hanya bisa memotret, tetapi juga menulis. Dengan mesin tik tersebut, aktivitas kewartawanannya pun semakin terbantu.<br /><br />Setelah menjadi fotografer lepas selama puluhan tahun, akhirnya Paul yang selalu membekali diri dengan biskuit karena kapok terkena mag itu menjadi karyawan tetap Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1981 dan pensiun pada tahun 2000.<br /><br />Di hari tuanya ia dan istrinya, Irawati (70), lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-cucunya di Jakarta. Irawati adalah anak dari Oom Nyoo. Mereka menikah tahun 1956 dan memiliki tiga anak.<br /><br />Sampai kini Paul masih aktif memotret. "Tapi sekarang lebih banyak memotret cucu," kata Paul sambil tertawa kecil. Paul mengaku lebih senang menggunakan kamera digital yang praktis, tidak seperti saat ia masih muda, untuk memotret repotnya bukan main.<br /><br />Kamera yang ia pakai saat KAA sudah ia jual. Ia hanya memiliki dua emblem sebagai tanda pengenal yang wajib dipakai para wartawan pada KAA tahun 1955 dan sebuah kesempatan langka merayakan ulang tahun emas KAA.<br /><br />Itu sebabnya, pekan lalu Paul Tedjasurya sengaja datang dari Jakarta ke Bandung untuk ikut mengenang peristiwa KAA. Merayakan 50 tahun KAA merupakan kesempatan langka yang tidak pernah ia bayangkan, sama langkanya saat ia mendapat kesempatan meliput KAA. (y09)<br /><br />Sumber : Kompas, Sabtu, 23 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-941980582270841242009-06-28T17:48:00.000+07:002009-06-28T17:52:53.704+07:00Rita WidagdoPersona : Rita Widagdo<br />Pewawancara : <span style="font-weight: bold;">Efix Mulyadi</span> dan <span style="font-weight: bold;">Putu Fajar Arcana</span><br /><br />NAMA Rita Widagdo tak bisa dilepaskan dari kehadiran patung-patung modern abstrak di Indonesia. Oleh kritikus Sanento Yuliman (alm), Rita "dinobatkan" sebagai pematung yang pertama kali membawa seni patung abstrak, dalam pengertian tidak representasional, masuk ke Indonesia. Pamerannya bersama para seniman Bandung tahun 1966 di Balai Budaya Jakarta dianggap sebagai "kelahiran" patung abstrak "murni" dan terpampangnya masa depan baru seni ini di Tanah Air.<br /><br />Selama kesibukannya sebagai akademisi di Institut Teknologi Bandung (ITB), nama Rita tak pernah dicatat secara gegap- gempita oleh media. Namanya hanya dikaitkan dengan sejumlah karya open space-nya di beberapa sudut Kota Jakarta. Pamerannya di Galeri Nasional Jakarta 15-25 April 2005 dalam judul Rita Widagdo Marking the 1965-2005 Journey menunjukkan bahwa ia tak pernah berhenti berkarya.<br /><br />Perempuan dengan nama asli Rita Wizemann ini lahir 26 November 1938 di Rottweil, Jerman. Setelah menikah dengan Profesor Widagdo yang belajar desain interior di Jerman, ia lebih populer dengan nama Rita Widagdo dan mengikuti suaminya yang pulang ke Indonesia. Keluarga ini dikaruniai dua anak lelaki, yaitu Marc Wasistha dan Paul Gunawan. Rita menempuh pendidikan di Sttatliche Akademie del Bildenden Kunste, Stuttgart, Jerman, sekolah seni yang dikenal dengan metode pendidikan membangun inisiatif para mahasiswanya.<br /><br />Berikut perbincangan dengan Rita Widagdo sesaat sebelum pembukaan pamerannya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Abstrak itu seperti apa?</span><br /><br />Abstrak selalu mulai dari sesuatu, mesti ada titik berangkat. Dan, titik berangkat ini sering sekali sesuatu yang nyata. Tetapi, dari sesuatu yang nyata ini, kita berusaha keras untuk lepaskan penampilan realistik ini dan maju ke sesuatu yang hanya asosiatif saja dengan asal- usulnya. Tidak meniru lagi, tetapi ambil beberapa sifat esensial saja.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Abstraksi itu mencari sari pati?</span><br /><br />Ya. Sifat khasnya. Sebenarnya begitu. Ada juga pengertian abstraksi yang memanfaatkan unsur geometrik, misalnya. Ada yang mulai dari bola yang dipotong atau piramid yang dibelah, dibuka. Itu juga abstrak, itu abstrak murni. Kalau saya, sebenarnya masih ada kaitan dengan sesuatu yang nyata. Tetapi, diolah, dibawa dalam renungan agak lama sampai yang tersisa yang paling tipikal.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Semacam "gen" makhluk hidup? Nanti wujudnya bisa macam-macam?</span><br /><br />Ya. Cukup bebas ya. Bisa saja asal-usulnya sama, tetapi yang keluar bisa begini atau begini, jadi satu tema, katakanlah soal famili ya nanti akan keluar beberapa varian, sama benar, sama juga ngambil intinya, tetapi mungkin hari ini dan esok beda.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apakah mungkin sebuah karya dengan ide yang sama oleh seniman yang sama menjadi karya-karya yang berbeda?</span><br /><br />Ehm, tidak bisa jauh sekali karena dalam hal patung untuk open space yang sangat ikut menentukan adalah lingkungan itu sendiri... patung ini (secara umum) harus bisa dilihat dari semua sudut. Dan, kalau patung yang bagus, dari setiap sudut dia lain. Tetapi, dalam keseluruhan, karakternya tetap sama.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Ide awal seperti apa lahirnya? Anda pernah mengikuti sayembara, itu kan dipicu orang lain?</span><br /><br />Ya, kalau yang ini (menunjuk salah satu karyanya yang dipamerkan di Galeri Nasional), semuanya dari diri sendiri. Tetapi, kalau saya masuk ke lingkungan arsitektur atau lingkungan kota, saya tidak bebas, saya malah mulai dari membaca lingkungan untuk menyesuaikan diri. Saya senang bahwa oleh karena situasinya tiap kali beda, saya juga diantar ke ide yang tadi saya belum punya. Saya suka sekali bikin karya open space karena banyak sekali tantangan. Kadang-kadang cahayanya jelek, kadang-kadang ini suka keramik, ini suka marmer....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Dalam sayembara Anda merasa didikte?</span><br /><br />Saya tidak pernah merasa terhalang, saya malah dipaksa untuk berpikir lain dari jalur sehari-hari. Saya keluar dari rel, saya senang sekali.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Kata kuncinya keluar dari rel?</span><br /><br />Ya, itu... (diam sejenak). Itu juga kadang-kadang terjadi karena ada bahan yang memaksa saya untuk berpikir lain. Pengalaman kemarin tidak berguna sama sekali untuk teknik itu. Saya bisa belajar sambil bekerja, bisa berubah, dan saya mengharapkan saya selalu berubah, tak pernah ulang.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Patung indoor lebih bebas?</span><br /><br />Ya. Yang masih menghalangi ya bahan dan tekniknya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apakah di sini jauh lebih puas?</span><br /><br />Sebetulnya saya jauh lebih puas kalau bekerja dalam lingkungan yang ditentukan oleh orang lain.... Saya ingin menemukan bentuk yang tadi saya tidak bisa bayangkan. Saya diantar ke sesuatu di luar saya. Saya bisa berubah, singkatnya.<br /><br />(Rita Widagdo beberapa kali memenangi sayembara pembangunan patung open space di beberapa kota. Tahun 1972 ia memenangi kompetisi perancangan monumen di Slipi, Jakarta; tahun 1973 monumen youth center di Kuningan, Jakarta. Bahkan, tahun 2001, ia memenangi kompetisi patung monumental di Ancol, Jakarta.)<br /><br /><span style="font-style: italic;">Dalam studi akademis ada pelajaran tentang teknik konstruksi?</span><br /><br />Waktu saya di sekolah sebenarnya tidak sejauh itu. Tetapi, saya dua kali membantu profesor saya waktu beliau bikin patung besar. Di situ saya belajar.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Anda selalu memakai maket?</span><br /><br />Ya. Saya tidak pernah datang dengan gambar. Dengan maket sebenarnya saya belajar sungguhan. Itu selalu saya bikin sendiri, saya tahu di mana harus dilas. Kalau maket selesai, saya siap untuk sebuah pekerjaan.... Prinsipnya, patung yang besar harus persis seperti maket, enggak ada kompromi. Paling bisa beda tiga sentimeter.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Untuk karya open space, kemampuan mematung itu hanya satu unsur saja?</span><br /><br />Ya, di situ ada arsitektur dan teknik konstruksi. Ini tidak mudah. Saya harus punya tukang juga. Tukang-tukang saya sudah ikut 10-20 tahun. Mereka sudah mengerti bahasa saya.... Tahun-tahun pertama saya bekerja sendirian.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Patung di Slipi itu juga pakai insinyur?</span><br /><br />Sudah. Saya pakai tukang, insinyur, kadang-kadang saya juga minta tolong kepada mahasiswa untuk kontrol bentuk. Sekarang saya sedang bikin karya yang cukup besar di tengah-tengah Jakarta..., sudah lima bulan kita kerja.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Di mana itu?</span><br /><br />Ah, itu masih rahasia. Abstrak juga.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Waktu patung air di Slipi itu dibongkar, gimana perasaan Anda?</span><br /><br />Saya tidak pernah mengatakan ini tidak boleh dipindahkan (Rita lalu minta ceritanya seputar pembongkaran patung Duta Wangsa di Slipi tidak ditulis. Patung berbahan aluminium setinggi delapan meter dengan aliran air itu mengolah bentuk-bentuk geometris yang mengesankan harmoni antara kelembutan dan ketegasan. Berdiri tahun 1973 dan dibongkar Pemda DKI Jakarta tahun 1987 dengan alasan pelebaran ruas jalan layang).<br /><br /><span style="font-style: italic;">Anda tentu concern...</span><br /><br />Saya hanya concern bahwa seni modern di Kota Jakarta belum diberi ruang yang layak. Saya setuju ada patung pahlawan, tetapi seharusnya juga ada yang modern. Saya punya satu di Semanggi, tetapi tertutup pohon-pohon. Itu aja enggak diurus. Ada punya Pak Sidharta.... Tetapi, kurang itu untuk kota sebesar ini.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Masih ada berapa titik yang bisa dipasangi patung?</span><br /><br />Banyak. Kira-kira ada 10 titik. Tetapi, no follow up....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apa yang diberikan patung (modern) kepada sebuah kota?</span><br /><br />Sebetulnya setiap orang suka dengan sesuatu yang indah ya, sampai orang yang sederhana orang kecil. Kalau ada yang bagus, mereka suka. Di Palembang, setiap malam ada orang foto di situ (di sekitar patung karyanya). Ada yang dagang... lingkungan sekitar sana jadi hidup setelah ada patung. Ada sesuatu yang bagus, mereka kira-kira bisa menangkap sesuatu dari sebuah patung.... Umumnya mereka mengerti, oh ya itu bunga... atau ekor ikan paus....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Selain keindahan?</span><br /><br />Tentu message, yang bisa ditangkap oleh siapa saja. Kalau ada patung kuda, ya semua orang bisa bilang itu kuda, tetapi berhenti sampai di situ. Kalau ada seperti sesuatu yang mekar, atau yang lain, orang merasakan ini, oh garis ini dinamis sekali, dan ini cukup sebagai message. Jadi di lingkungan ini ada tanda yang mewakili dinamika hidup. Nilai abstrak ini menjadi visual.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Studi sosial apa selalu dilakukan untuk meletakkan sebuah patung di sebuah kota tertentu?</span><br /><br />Dalam hal ini sebetulnya hanya sejauh optimisme bahwa mereka akan bisa maju, mereka bisa berharap hidup besok bisa lebih baik, bisa berkembang, lambang optimisme sebenarnya. Ini kan sambung dengan siapa saja yang ada di Palembang.<br /><br />(Patung di Palembang itu patung yang terbesar yang pernah dikerjakan Rita Widagdo. Diselesaikan di Bandung dengan sekitar 50 bagian dan disambung-sambung di Palembang. Patung itu tingginya 17,8 meter.)<br /><br /><span style="font-style: italic;">Abstrak Anda selalu berangkat dari sesuatu yang nyata. Apakah itu berarti kemungkinan kita untuk menemukan sebuah kejutan jadi semakin kecil?</span><br /><br />Ya ya.., tetapi acuan ini kan hanya menjadi titik berangkat. Kita justru berupaya keras dalam proses berkarya melepaskan diri dari wujud semula. Yang kita pertahankan karakternya. Katakanlah kita melihat buah mangga, bentuknya begitu perfect ada yang gendut, agak runcing, ada yang melengkung sedikit. Andai kata ada mahasiswa yang pegang mangga ini, dan dia ingin pindahkan mangga ini ke batu marmer, misalnya. Tetapi, dia tidak (boleh) bikin mangga besar dari batu, itu bodoh... dia harus cari akal lagi... apakah mangga ini dia ambil satu iris, ditambah daun, dia harus berupaya keras untuk menyembunyikan asal-usulnya. Dia harus tetap pertahankan plastisitasnya, kencengnya, dan lembutnya waktu dia mengecil menjadi runcing ya, sifat ini harus dipertahankan. Tetapi, bentuk akhir dari patung ini harus cukup jauh dari titik berangkat awalnya....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Faktor tak terduganya di mana?</span><br /><br />Itu harus ada, itu tuntutan, penemuan sesuatu yang inovatif. Inovasi menjadi unsur utama di dalam menilai sebuah karya, berhasil atau tidak, harus ada sesuatu yang surprising, aneh, asing, di situ kreativitas seniman kelihatan. Dia harus original, tidak saja dengan orang lain, tetapi beda dengan karya yang kemarin. Seniman tidak boleh ulang.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Anda menghindari duplikasi?</span><br /><br />Jangan sampai. Kita hanya tahu duplikasi dalam arti, satu patung dicor lima kali, tetapi itu harus selalu ditulis (misalnya) nomor dua dari seri lima. Kalau di perunggu memang agak biasa.... Kalau saya, umumnya single pieces....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apakah seni modern akan terus bertahan, karena selalu harus terjadi pembaruan?</span><br /><br />Seperti pendulum, dari abstrak kembali ke sekitar tahun 70-an, foto realisme. Kemungkinan besar 10 tahun (nanti) muncul lagi naturalisme. Sekarang lagi model instalasi...., tetapi nanti akan redup cari problem lagi....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Instalasi akan terus karena terkait problem sehari-hari?</span><br /><br />Seni lain juga selalu berkaitan dengan manusia. Seni mengolah dunia manusia, pikiran, perasaan. Tidak mungkin salah satu aliran akan bertahan selama-lamanya. Ada periodenya. Ada satu problem yang diolah dipikirkan sampai habis. Kalau habis, ya cari problem lain. Dalam seni, tidak ada yang usang. Pada teknik, yang usang ditinggalkan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Pendapat Anda tentang seni yang dimanfaatkan di luar konteks kesenian?</span><br /><br />Seni jangan dipakai untuk sesuatu yang bukan seni. Harusnya seni tetap bebas. Jangan terlalu dibebani dengan pesan yang sebetulnya bisa diurus orang lain... boleh menunjuk pada problem yang ada, tetapi jangan ikut teriak-teriak. Seni harus menghadirkan bentuk visual yang positif yang optimistis.... Kadang-kadang saya iri dengan musik. Mereka bisa bebas dari segalanya.... Kalau lagu cengeng jangan disebut ya, ini bukan musik lagi.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apa yang membuat sebuah karya dinilai baik?</span><br /><br />Ah, that’s a big question.... Kita sering mengatakan ada bobotnya. Karya ini memberikan bobot, strength, ada power, meaningfull. Sebelum mengerti (sebuah karya) sudah ada kesan yang kuat.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Sebelum nalar bekerja, dia sudah "sampai"?</span><br /><br />Ya, sudah ada itu. Ia komprehensif, sebelum kita menganalisa komprehensif, kita melihat ini oh... lalu kita analisa yang pertama ya bahannya, bentuknya, it’s mean atau meaning.... Ada orang yang macet hanya sampai di situ. Tetapi, umumnya justru di seni abstrak semua pengamat bisa bereaksi sendiri, justru tidak dibatasi. Dengan pengalaman batin mereka, mereka bisa artikan sendiri, ada freedom yang luar biasa dalam seni abstrak, ada celah... (untuk ditafsir).<br /><br /><span style="font-style: italic;">Semua karya Anda itu perfect sekali ya. Itu taste pribadi atau semacam keharusan di dalam seni abstrak?</span><br /><br />Ya, semua begitu. Tidak harus di dalam seni abstrak. Ini memang kepribadian saya. Saya ingin sekali paling sedikit di dalam setiap karya yang mendekati sempurna. Kalau di dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak mungkin, kita berusaha keras tetapi ternyata jarang dapat hasil yang utuh. Tetapi, dalam karya saya bisa pikir dan pikir lagi sampai....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Itu yang membuat Anda selalu ketagihan bekerja?</span><br /><br />Ehm, ya... kadang-kadang saya pikir apakah saya melarikan diri sesungguhnya di dalam seni, supaya dapat sesuatu yang lebih sempurna....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Boleh enggak disebutkan di dalam berkarya semua ada di tangan Anda, kalau hidup sehari-hari tidak?</span><br /><br />Oh ya betul. Saya bertanggung jawab penuh, kalau gagal ya.... Tetapi, di patung tidak boleh gagal. Materialnya terlalu mahal. Saya enggak boleh salah potong. Satu lembar kuningan itu Rp 800 ribu. (Rita menunjuk sebuah karyanya yang menghabiskan biaya untuk bahan senilai Rp 26 juta). Jadi enggak boleh gagal.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Selama 30-an tahun mengajar, bagaimana membagi waktu dengan jadi seniman?</span><br /><br />Saya berhasil karena pandai membagi waktu. Keluarga nomor satu, lalu karya saya, lalu mengajar. Saya berani mengajar karena saya berkarya. Kalau saya tidak berkarya, enggak boleh omong. Orang yang tidak berkarya mau bilang apa sama mahasiswanya. Pengalaman berkarya itu harus dibawa ke sekolah. Mahasiswa bisa tanya apa saja kepada saya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Dosen seni harus seniman?</span><br /><br />Saya kira ya, kecuali untuk sejarah seni, pengetahuan bahan.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apa yang Anda amati dari para mahasiswa di sini?</span><br /><br />Orang Indonesia terus terang pada umumnya lebih berbakat dibandingkan dengan orang lain. Kalau saya bayangkan dengan sekolah saya dulu (di Jerman), mahasiswa sini sangat berbakat. Tetapi, karena sangat berbakat, kadang-kadang terlalu easy going.... Itu masalah utama. Relatif mudah untuk mendapatkan yang baik, mereka tidak menuju ke yang lebih baik. Itu sering saya lihat dengan sedih hati (Rita bercerita ada lima orang mahasiswa yang sangat berbakat, tetapi akhirnya tidak jadi).<br /><br /><span style="font-style: italic;">Karena apa ini?</span><br /><br />Terlalu yakin. Yang lemah, yang susah, yang harus berjuang keras, kadang-kadang keluarkan ide yang jauh lebih istimewa. Jadi, kalau susah, malah bagus gitu ya. Nah, lalu kalau mereka sudah lulus umur 26 atau 27 mertua tanya, kamu bisa kasi makan anak saya? Mereka memilih untuk kerja apa saja. Lalu enggak pernah kembali lagi.<br /><br />Kalau pelukis hanya perlu satu kanvas, sedikit cat, ruang kecil bisa kerja. Kalau pematung perlu berbagai mesin, ruang cukup besar, untuk start pematung itu sangat mahal sangat berat. Karena itu, dari sekian banyak mahasiswa yang sangat berbakat, hasil nyatanya sedikit. Banyak yang hilang karena tidak kuat memikul beban finansialnya. Harusnya ada kesempatan, misalnya Kota Bandung menyediakan satu gudang untuk mereka kerja, kalau bisa ada orang atau pabrik sumbang mesin-mesin.... Jadi, kelompok- kelompok seniman bisa bersama-sama gunakan itu. Mungkin akan lain hasilnya. Tetapi, tidak ada dukungan apa-apa....<br /><br /><span style="font-style: italic;">Tetapi, jumlah anggota API (Asosiasi Pematung Indonesia) lebih dari seratus?</span><br /><br />Ya ya, tetapi yang benar-benar bisa hidup dari pekerjaannya berapa? Sedikit sekali. Mereka banyak bekerja di bidang lain. Kalau saya tidak bikin publik space, saya tidak bisa mengongkosi karya saya. Tabungan saya selalu untuk patung, jarang saya bisa jual.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Apa selama ini Anda hidup dari mengajar?</span><br /><br />Oh enggak, (dari) mengajar hanya untuk bayar sopir... he-he-he... (Rita lalu cerita beberapa kali ia mengerjakan patung public space yang sama sekali tidak mempertimbangkan fee. Ia bahkan beberapa kali harus mengeluarkan uang dari kantong pribadinya).<br /><br />Tetapi, saya bekerja dengan sungguh-sungguh. Untuk saya, saya mau berkarya. Kalau ada uang, ya senang ya.... Selama tukang-tukang saya dibayar it’s okay... saya berusaha keras supaya tukang-tukang dapat kerjaan. Ada beberapa orang di belakang mereka. Saya punya tukang kira-kira 35 orang. Ini harus diurus duluan, baru saya memikirkan diri sendiri.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Artinya selalu harus ada proyek?</span><br /><br />Seharusnya begitu. Kalau sampai satu bulan mereka menganggur, itu sudah susah.<br /><br />Sumber : Kompas, Minggu, 24 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-85415449603533309482009-06-28T17:45:00.000+07:002009-06-28T17:46:48.846+07:00Dina Astita, Daya Hidup Perempuan AcehDina Astita, Daya Hidup Perempuan Aceh<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Evy Rachmawati</span><br /><br />SEORANG perempuan dari Tanah Rencong baru-baru ini masuk dalam daftar seratus tokoh paling berpengaruh di dunia versi majalah Time. Dina Astita (33)-perempuan ini-kini disejajarkan dengan deretan tokoh berpengaruh di dunia. Ia dianggap berhasil menggalang dukungan dari kalangan masyarakat internasional untuk membangkitkan dunia pendidikan di Calang, pusat kota Kabupaten Aceh Jaya yang luluh lantak diterjang tsunami.<br /><br />SAYA tidak pernah mengira bakal dapat penghargaan seperti ini. Itu merupakan rahmat yang besar. Saya ini kan hanya seorang guru bantu Bahasa Inggris," tutur lulusan Institut Agama Islam Negeri Ar Raniri ini saat ditemui di kediamannya di Calang. Namun ia mengaku merasa jengah dan khawatir ada yang merasa tersinggung dengan penghargaan itu.<br /><br />Terpilihnya Dina sebagai salah seorang tokoh berpengaruh di dunia mengundang beragam reaksi dari kalangan masyarakat. Sejumlah murid sekolah darurat tempat dia mengajar menyatakan bangga dengan prestasi yang diraih gurunya itu dan bercita-cita menjadi guru. "Saya ingin jadi guru seperti Ibu Dina," tutur beberapa murid perempuan.<br /><br />Namun, sejumlah pihak menilai pemberitaan tentang istri dari Usman Ahmady ini terlampau berlebihan. Pimpinan SMP Darurat Calang yang baru ditunjuk dinas pendidikan setempat, misalnya, menyatakan Dina sekarang tidak lagi berperan dalam mengelola sekolah itu lantaran hanya berstatus sebagai guru bantu.<br /><br />Kendati demikian, Dina menyatakan tidak bakal surut langkah dalam membangkitkan dunia pendidikan di daerah yang telah hancur itu. Saat ditemui di sekolah darurat, ia terlihat sibuk mengajar ratusan murid SMP di dalam tenda. Karena saat itu hanya ada dua guru, ia merangkap mengajar dua kelas dan harus berpindah-pindah tenda. "Saya tidak akan pernah berhenti mengajar," ujarnya.<br /><br />KETIKA bencana tsunami menghancurkan Kabupaten Aceh Jaya, baru ada sekolah darurat yang hanya diisi kegiatan bermain sambil bernyanyi. Beberapa pekan kemudian Dina bergabung menjadi pengajar di sekolah itu dan mengajak para guru membentuk manajemen sekolah untuk membangkitkan kembali kegiatan belajar-mengajar. "Jangan sampai masa depan anak-anak korban tsunami hilang," ungkapnya.<br /><br />Dalam kondisi berduka lantaran kehilangan tiga anaknya dalam tsunami, Dina mulai mengumpulkan anak-anak yang ada di beberapa tempat pengungsian bersama dengan sejumlah guru lainnya. Semula baru sekitar 20 anak yang ikut dan belajar di dalam tenda beralaskan terpal. Lambat laun jumlah murid yang datang terus bertambah hingga mencapai ratusan siswa.<br /><br />Berbekal kemampuan berbahasa Inggris, ia berjalan kaki mendatangi sejumlah sekretariat organisasi nonpemerintah internasional di Calang. Ia meminta berbagai bantuan bagi anak-anak korban tsunami, mulai dari buku-buku tulis, buku paket pelajaran, bangku, dan pakaian seragam. "Saya hanya mau bantuan barang. Kalau dikasih uang, ke mana kami harus membelinya. Jalur darat menuju Calang terputus," tuturnya.<br /><br />Perempuan kelahiran Lamno, Aceh Jaya, 6 Juni 1971, ini mengaku hanya meminta bantuan barang sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak ada bantuan yang tertimbun. Setelah melihat penyaluran bantuan itu tepat sasaran, bantuan pun mengalir dari sejumlah organisasi nonpemerintah asing. "Saya mencatat semua bantuan yang masuk. LSM asing itu mengutamakan kejujuran, jangan sampai kita menyalahgunakan kepercayaan mereka," kata Dina.<br /><br />Ketika banyak murid tidak masuk sekolah karena mahalnya biaya transportasi, ia pun meminta berbagai pihak untuk menyediakan sarana transportasi gratis dan membangun asrama bagi para murid yang jadi korban tsunami dan tinggal di luar Calang. "Kami berusaha memenuhi semua kebutuhan siswa seperti seragam, pembalut bagi siswi, dan makanan untuk anak-anak yang terpisah dari orang tua," ungkapnya.<br /><br />Kini aktivitas belajar-mengajar makin berdenyut. Para murid SD sudah ditempatkan di bangunan semipermanen. Sementara sebagian siswa SLTP dan SLTA mendapat meja dan kursi meskipun masih belajar di bawah tenda. Padahal, semula sejumlah tenda yang dijadikan ruang kelas kerap ambruk ketika hujan deras maupun saat helikopter lewat.<br /><br />"Kami sekarang sedang mendata para janda dan anak-anak yatim piatu korban tsunami di beberapa tempat pengungsian di wilayah Aceh Jaya untuk memudahkan penyaluran bantuan," ujar Dina. Karena banyak lokasi pengungsian yang terpencil, ia kadangkala naik truk maupun naik kendaraan milik organisasi nirlaba asing.<br /><br />DI balik kegigihannya memperjuangkan pengembangan pendidikan di Tanah Rencong, hingga kini ia masih menyimpan duka yang mendalam. Dalam bencana gempa dan tsunami, ia kehilangan tiga anak lelakinya, yakni Almanda (7), Aldius (6), dan Al Tausal (4).<br /><br />Pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004, ia dan suaminya berangkat ke Banda Aceh untuk menghadiri pesta pernikahan kerabatnya. Sementara ketiga anaknya ditinggal di rumah ditemani seorang anak angkatnya. "Karena anak-anak mau ujian, kami tidak mengajak mereka pergi," tutur Dina.<br /><br />Saat bencana terjadi, berulang kali Dina menelepon rumahnya di Calang untuk menanyakan keadaan keluarganya, tetapi saluran telepon tidak tersambung. Dalam kondisi panik, ia dan suaminya berniat kembali ke rumah pada malam harinya, tetapi jalur transportasi Banda Aceh-Calang terputus. "Kami sempat nekat mau pulang dengan berjalan kaki, tetapi dilarang orang tua," tuturnya.<br /><br />Ketika Bupati Aceh Jaya menginstruksikan seluruh pegawai negeri untuk kembali ke Calang, mereka berdua ikut pemberangkatan pertama kapal penumpang menuju ke lokasi bencana itu dan tiba pada tengah malam. Mereka tinggal dalam tenda bersama pegawai lainnya. "Saya satu-satunya perempuan yang ada di tenda itu, sedangkan yang lain masih di Banda Aceh," kata Dina.<br /><br />Keesokan harinya Dina dan suaminya mendatangi lokasi rumah mereka, tetapi yang tersisa hanya puing-puing. Ia pun mengais-ngais reruntuhan rumahnya. "Saya hanya mengambil baju dan mainan ketiga anak saya agar bisa dipakai kalau mereka ditemukan," tuturnya sambil berlinang air mata ketika suaminya membacakan catatan harian saat tsunami.<br /><br />Ia terus menyimpan harapan suatu saat kelak ia dan suaminya dipertemukan kembali dengan ketiga anak mereka. Asa itu pula yang dapat membuatnya tetap bertahan dan hanya tersenyum menghadapi berbagai tantangan yang ada. "Kalau ada informasi tentang anak-anak kami, tolong kabari ya," demikian pesan yang dititipkan Dina dan suaminya. (EVY RACHMAWATI)<br /><br />Sumber : Kompas, Senin, 25 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6873537594881533844.post-38201756369465560642009-06-28T17:43:00.000+07:002009-06-28T17:45:14.031+07:00Nane Annan-Lagergren : Nane Annan dan Dukungan Hadapi AIDSNane Annan dan Dukungan Hadapi AIDS<br />Oleh : <span style="font-weight: bold;">Agnes Aristiarini</span><br /><br />KONFERENSI Asia-Afrika (KAA) baru saja usai. Tak ada perubahan berarti dalam pertemuan para pemimpin dunia yang kebanyakan dari negara berkembang itu karena bahasan utamanya tak jauh dari politik dan ekonomi. Nyaris tak terdengar adanya upaya kerja sama di bidang pendidikan, kesehatan, apalagi pemberdayaan perempuan.<br /><br />PADAHAL, Human Development Index (HDI) yang mengukur keberhasilan suatu negara menyejahterakan rakyatnya justru menggunakan tingkat pendidikan, kesehatan, maupun kesetaraan jender sebagai bagian dari parameter utamanya. Lebih ironis lagi, banyak negara Afrika dan Asia yang peringkat HDI-nya rendah, termasuk Indonesia.<br /><br />Kalaupun ada perhatian ke bidang-bidang yang masih marjinal tersebut, itu lebih ke minat pribadi yang belum dikaitkan dengan agenda KAA secara keseluruhan. Demikian pulalah yang terjadi dengan kunjungan Nane Annan, istri Sekjen PBB Kofi Annan, yang Sabtu (23/4/2005) siang sempat menengok Spiritia. Ini suatu lembaga nonpemerintah yang memberi dukungan kepada mereka yang hidup dengan HIV/AIDS secara luas, termasuk keluarga, pasangan, maupun teman-temannya.<br /><br />Kunjungannya sungguh singkat karena harus diselipkan di antara acara protokoler, termasuk jamuan makan siang yang molor hingga dua jam. Dalam pertemuan yang "sepi"-jauh dari sorotan media dan hanya didampingi lembaga PBB untuk menanggulangi AIDS (UNAIDS)-Nane menyebut Spiritia sebagai rumah yang sarat warna dan spirit dalam perjuangan antidiskriminasi.<br /><br />Lalu matanya mendadak berkaca-kaca dan suaranya tersekat ketika menceritakan pertemuannya dengan orangtua Suzana Murni, pendiri Spiritia yang menutup mata tahun 2002 pada usia 30 tahun. "Sungguh mengagumkan melihat bagaimana mereka mendukung penuh putrinya, termasuk saat Suzana membuka status dirinya di depan publik. Saya selalu terharu kalau ingat mereka bilang bahwa putrinya selalu bisa pulang ke rumah setiap saat, apa pun yang terjadi," katanya.<br /><br />NANE Annan-Lagergren, yang menikah dengan Kofi Annan tahun 1984, memang tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama perempuan, anak-anak, dan HIV/AIDS. Perempuan Swedia yang tadinya adalah pengacara komisi tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) ini hidupnya berubah drastis sejak suaminya diangkat menjadi Sekjen PBB tahun 1996.<br /><br />Ia berhenti dari pekerjaannya dan melupakan hobi melukisnya karena sering bepergian mendampingi Annan dan mengunjungi proyek-proyek PBB di berbagai negara. Namun, semua tak sia-sia.<br /><br />Pertemuannya dengan berbagai kegiatan kemanusiaan membuka matanya akan berbagai ketimpangan yang masih terjadi, dari kemiskinan hingga ketidakadilan terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak. Ketika mengunjungi rumah sakit yang merawat pasien HIV/AIDS dan bertemu dengan mereka yang terinfeksi, ia menyadari bahwa masalah kesehatan pun bisa memicu stigmatisasi dan diskriminasi.<br /><br />Maka Nane pun belajar mengupayakan berbagai cara untuk mendukung perjuangan mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. "Saya sadar posisi saya sebagai istri Sekjen PBB. Mungkin saya bisa membantu dengan memberi perhatian, bertemu dengan para istri pemimpin negara yang saya temui untuk mengingatkan masalah itu," kata ibu tiga anak ini.<br /><br />Sabtu sore, dalam pertemuannya dengan media yang terbatas, ia menceritakan keprihatinannya atas meningkatnya kasus-kasus HIV/AIDS pada perempuan, terutama di kawasan Asia dan Afrika. "Saya memahami bahwa perempuan terinfeksi karena posisi mereka yang belum setara. Perempuan belum dilihat sebagai orang yang paling rentan di seluruh dunia," jelasnya.<br /><br />Karena itu, Nane senang sekali ketika berbincang dengan Ny Kristiani Yudhoyono dan menemukan bahwa istri Presiden Indonesia itu menyadari adanya permasalahan serupa di negerinya. Ia berharap kesadaran ini bisa memicu berbagai implementasi yang mempercepat penghapusan stigma dan diskriminasi bagi yang terinfeksi HIV/AIDS.<br /><br />"Perempuan juga manusia, baik yang tertular maupun tidak. Adalah tugas kita bersama untuk mendukung mereka mendapatkan hak-haknya dan menanggulangi masalahnya. Mengutip ucapan suami saya, maka pemberdayaan perempuan adalah strategi terbaik untuk memperbaiki masa depan dunia," tegas Nane yang didampingi penasihat program UNAIDS untuk Indonesia Jane S Wilson PhD dan Frika Iskandar dari Asia Pacific Network of People Living with HIV/AIDS.<br /><br />DATA UNAIDS menunjukkan, jumlah perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS terus meningkat di berbagai kawasan. Kalau pada awal epidemi ini jumlah laki- laki yang terinfeksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, maka sejak tahun 1998 proporsi perempuan dengan HIV/AIDS meningkat menjadi 41 persen.<br /><br />Sejak tahun 2002, peningkatan paling tajam terjadi di kawasan Asia Timur yang selama dua tahun telah naik 56 persen, diikuti kawasan Eropa Timur dan Asia Tengah dengan 48 persen. Kini perempuan dewasa yang terinfeksi HIV/AIDS hampir 50 persen, bahkan di Sub-Sahara Afrika mendekati 60 persen.<br /><br />Masalah ini masih ditambah lagi dengan jutaan kaum muda yang masuk periode seksual aktif namun tidak memiliki akses untuk upaya pencegahannya. Tidaklah mengherankan bila di kawasan Sub-Sahara Afrika saja, 76 persen remaja perempuan berusia 15-24 tahun yang terinfeksi HIV/AIDS. Penelitian sudah membuktikan bahwa remaja perempuan tiga kali lebih rentan tertular HIV/AIDS dibandingkan dengan remaja laki-laki pasangannya.<br /><br />Maka Nane terus mengajak para perempuan di seluruh dunia untuk memberdayakan kaumnya. "Tidak ada jalan lain. Anak perempuan harus terus bersekolah, mampu memutuskan sendiri apa yang mereka inginkan, bisa mengatakan tidak bila diperlukan, dan tahu cara menyiasati lingkungan yang belum mendukung," tuturnya.<br /><br />Sebagai istri Kofi Annan, barangkali dalam pertemuan-pertemuan internasional selanjutnya Nane juga bisa menyarankan kepada pihak protokoler untuk memasukkan kunjungan ke berbagai kegiatan kemanusiaan dalam "ladies program" para istri pemimpin negara-yang lebih sering diisi acara belanja. Sebagai ahli hukum yang biasa bernegosiasi, ini tentu bukan tugas sulit baginya. (Agnes Aristiarini)<br /><br />Sumber : Kompas, Selasa, 26 April 2005Unknownnoreply@blogger.com0