Jun 19, 2009

Jeno Harumbrojo : Empu Keris Ki Jeno Harumbrojo

Empu Keris Ki Jeno Harumbrojo
Oleh : Djoko Poernomo

Cuaca di atas Kota Yogyakarta dan sekitarnya yang sering mendung membuat hati Ki Empu Jeno Harumbrojo galau. Pasalnya, pekerjaan menjamasi (membersihkan) tosan aji, utamanya keris dan tombak, menjadi terbengkalai.

Jika mendung datang di luar bulan (Jawa) Suro sesuai dengan kalender Masehi jatuh antara 31 Januari dan 1 Maret kegalauan Jeno tentu tak seperti sekarang. ”Mendung membuat penjamasan tak bisa sempurna,” tegas Jeno (77), empu terakhir dari zaman Kerajaan Majapahit, pekan lalu. Empu artinya orang yang sangat ahli, terutama membuat keris (Kamus Besar Bahasa Indonesia/2002).

Sesuai dengan tradisi Jawa, pemilik keris umumnya memilih bulan Suro sebagai bulan penjamasan. Karena pekerjaan ini harus dilakukan seorang ahli, sebagian menyerahkan kepada Ki Empu Jeno Harumbrojo dari Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Sleman, 12 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta. Selama Suro, tak kurang dari 60 keris biasa dijamas Jeno. Sebegitu jauh ia tak bersedia menyebut biaya penjamasan.

Yang banyak dijamas adalah keris koleksi pribadi. ”Proses penjamasan diawali pembersihan karat dan kerak. Setelah itu, keris dicelupkan ke air bercampur perasan jeruk nipis ditambah warangan, dan diakhiri pengeringan,” tuturnya.

Maksud pemberian warangan, kata Jeno, untuk mengeluarkan pamor atau motif logam pada keris. Namun, jika cuaca mendung, penjamasan bakal gagal atau biasa disebut kluron.

”Bilah keris berwarna hitam. Pamor-nya pun tak tampak. Padahal, indahnya keris bisa dilihat dari rumitnya pamor,” tutur Jeno. Hingga kini dikenal 200-an pamor.

Keturunan empu

Keahlian membuat keris yang otomatis juga menjamas diwarisi dari Empu Supodriyo, empu ternama dari zaman Majapahit. Empu Jeno merupakan urutan ke-16, sedangkan bapaknya, Empu Supowinangun, urutan ke-15. Jeno termasuk empu yang berasal dari Jenggalan/Yogyakarta, begitu pula sang bapak dan sang kakek, Empu Joiruno. Satu empu lagi yang berasal dari wilayah sama adalah Empu Joyosemito, orangtua Joiruno.

Sebagaimana orang yang bergulat di dunia yang agak berbau mistis, Jeno gemar olah keprihatinan, sebuah upaya membersihkan jiwa. ”Ya, beginilah saya...,” ujarnya.

Jeno bertutur, keterlibatannya dalam pembuatan keris merupakan dawuh atau tanggung jawab moral guna menguri-uri (melestarikan) budaya adiluhung. ”Sebagai anak empu, saya wajib meneruskan titah…,” katanya. Tentu saja pekerjaan ini semakin penting setelah pada tahun 2005 >small 2small 0< memasukkan keris sebagai warisan budaya dunia.

Sejak berusia 15 tahun, Jeno kecil bayak membantu Empu Supowinangun di besalen (bengkel kerja). Ini yang kemudian membuatnya mampu membuat tosan aji, utamanya keris. Jeno memiliki tiga kakak laki-laki. Namun, dalam perkembangan, hanya Jeno yang menekuni pekerjaan tersebut.

Salah satu keponakannya, Sungkowo (50), kini mengikuti jejak Jeno. ”Ini calon pengganti saya,” kata Jeno. Sungkowo, karyawan Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, setelah berdinas biasanya langsung ke besalen bersama Jeno guna menyelesaikan pesanan. Seandainya ada yang memesan sekarang, menurut Jeno, baru bisa diambil empat tahun mendatang atau tahun 2010.

”Selain harus telaten, laku-nya itu lho yang berat. Laku di sini termasuk puasa pada hari-hari tertentu serta mematuhi berbagai pantangan...,” ungkap Jeno, pemegang tanda kehormatan Bintang Budaya Parama yang diterima pada 12 Agustus 2003.

Keprihatinan

Memang benar apa yang dikatakan Jeno. Untuk membuat sebilah keris, selain butuh ketelitian dan keprihatinan, juga waktu lama. Ini tergantung pula pada jenis keris sebagai cendera mata atau tayuhan.

Keris tayuhan adalah keris yang proses pembuatannya didahului tapabrata sang empu. Jika seseorang telah membicarakan pesanan, termasuk menyetujui tangguh (asal), pamor (gambaran), luk (keluk), dan mahar (biaya), sang empu mulai melakukan tapabrata menyucikan diri sambil mohon daya yoni kepada Yang Maha Kuasa. (Citra Yogya, No 20-21/1991).

Secara umum, ada empat jenis bahan baku keris, yakni batu meteorit, besi, baja, dan nikel. Bahan-bahan ini ditempa di atas arang kayu jati pada suhu 1.300 derajat Celsius sambil dipuntir serta dibuat berlapis antara delapan hingga 4.096. Masih ada proses lain sebelum keris diserahkan kepada pemesan.

”Mungkin banyak yang tidak percaya setelah jadi keris hanya memiliki berat 2 ons,” ungkap Jeno. Padahal, berat bahan baku bisa mencapai 16 kilogram. Selama berkarier, Jeno telah memproduksi puluhan keris tayuhan dan 300-an keris cendera mata. Keris tayuhan terakhir dikoleksi seorang mantan menteri pada Kabinet Persatuan Nasional dengan mahar puluhan juta rupiah.

Menurut Jeno, usahanya mulai mapan tahun 1974 setelah mendapat hadiah dari FA Moel (warga Belanda) berupa 14 kilogram nikel, menyusul penyebarluasan karyanya ke 13 negara di Eropa.

Merupakan berkah ketika tahun 1984 dan 1985 Sri Sultan Hamengku Buwono IX memesan dua bilah keris: Jangkung Mengku Negoro dan Sinom Jalak Tuding. Satu lagi: Tombak Cokronegoro, tetapi keburu ditinggal wafat sang pemesan.

Sumber : Kompas, Selasa, 7 Februari 2006

1 comments:

Unknown said...

Terima kasih ulasannya ....menambah pengetahuan saya ... tentang keris dan empu jheno yg turunan empu supo

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks